Sorotan   2022/08/23 16:3 WIB

Jangkrik dan Belalang Bagaikan Daging Sapi, 'Camilan Populer Bersarat Gizi Tinggi'

Jangkrik dan Belalang Bagaikan Daging Sapi, 'Camilan Populer Bersarat Gizi Tinggi'

"Bagi banyak orang di Eropa dan Amerika Serikat, jangkrik dan belalang bukanlah santapan, namun serangga itu bagaikan daging sapi yang populer bersarat gizi tinggi"

erangga (jangkrik dan belalang) adalah camilan yang populer di sebagian wilayah Afrika dan Asia. Serangga tidak hanya sarat gizi, tapi juga minim risiko terhadap iklim.  

Udara di dalam rumah keluarga saya di Uganda penuh dengan aroma khas, mirip bau daging sapi panggang. Di dapur, kakak saya, Maggie, sibuk menyiapkan hidangan untuk dinikmati bersama. Tapi bukan daging sapi yang dia panggang, melainkan belalang.

Semakin lama dia membakar serangga hijau itu, semakin kuat aromanya. Bunyi kulit belalang yang mendesis pada wajan membuat air liur saya terkumpul penuh di dalam mulut. Rasanya tidak sabar menunggu untuk menyantap camilan lezat itu.

Aroma serangga bakar selalu membangkitkan kenangan saya pada saat Natal, khususnya kejadian Desember 2000 itu.

Sebab pada masa itulah waktu yang cocok untuk mengonsumsi belalang mengingat belalang mudah didapat selagi musim hujan pada November beralih ke musim kemarau pada Januari.

Bersama teman-teman, saya menghabiskan waktu seharian untuk mengambil serangga tersebut di bukit dekat rumah di Hoima, Uganda barat. Kumpulan serangga tersebut biasa berkembang biak di sekitar Danau Victoria di kawasan timur Afrika dan bergerombol di rerumputan berembun.

Saya pulang dengan rasa bangga setelah membawa satu kantong besar penuh belalang.

Tentu kejadian pada Desember 2000 itu bukan pengalaman perdana saya makan dan menangkap belalang. Saya rutin menyantapnya sejak masa kanak-kanak. Di Uganda, belalang adalah sajian bergizi dan camilan yang banyak diminati orang.

Kangen belalang

Selang 22 tahun kemudian, pada Juni 2022, rasa kangen terhadap kampung halaman begitu kuat terasa. Untuk mengobatinya, saya memutuskan untuk mengolah camilan favorit saya: belalang bakar.

Tapi kemudian saya terpikir untuk membuat eksperimen—bisakah saya mengganti daging dengan serangga renyah dalam menu makanan saya sehari-hari?

Saya telah mendengar manfaat kesinambungan dari menyantap serangga dan tertarik untuk mencari tahu seberapa besar saya dapat menurunkan jejak karbon saya jika saya menjadikan belalang sebagai sumber utama protein. 

Saya kini tinggal di Kampala. Ibu kota Uganda—kota padat penduduk tanpa ladang terbuka, tempat belalang bisa berkembang biak. Selama dua musim belalang di Uganda, Mei-Juni dan Desember-Januari, warga Kampala mengandalkan pedagang untuk memasok serangga.

Para pedagang menggunakan lampu listrik nan terang untuk memikat belalang dan menjebak mereka. Caranya dengan membakar rumput dan memakai asap agar serangga-serangga pusing sehingga mereka terbang ke jaring lalu jatuh ke dalam drum kosong.

Perdagangan belalang adalah bisnis besar. Setiap musim, jalanan Kota Kampala dipenuhi pedagang serangga yang dapat meraup sekitar 760.000 Shilling Uganda atau sekitar Rp3 juta per musim.

Untuk satu gelas plastik penuh belalang hidup, tanpa kaki dan sayap, saya membayar 20.000 Shilling Uganda atau sekitar Rp78.000.

Sesampainya di rumah, saya mencuci serangga-serangga tersebut di dalam wadah dan menaruhnya pada penggorengan tanpa minyak di atas kompor. Penggorengan lantas ditutup dan api dinyalakan pada tingkat rendah selama sekitar 20 menit sambil sesekali diaduk guna memastikan serangga tidak gosong.

Selang satu jam kemudian, belalang-belalang itu mulai mendesis dan warna mereka berubah dari hijau ke kuning. Pada momen inilah, aroma mirip daging sapi panggang mulai menguar dan semakin kuat selagi saya mengaduknya setiap lima menit sampai warnanya menjadi cokelat keemasan. Saya lalu menambah bawang bombay, cabai, dan merica.

Kumpulan serangga tersebut terus ditumis sampai lemaknya lenyap dan bunyi renyah terdengar. Setelah sekitar 30 menit, belalang-belalang itu menjadi ‘kriuk‘ dan siap disantap.

Belalang bisa dinikmati sebagai sajian pelengkap sama seperti ketika Anda menyantap sayap ayam dengan kentang goreng. Selama empat hari bereksperimen, saya mengonsumsi belalang bersama singkong, kentang, nasi, dan kacang rebus.

Segelas belalang lebih mahal sedikit ketimbang satu kilogram daging sapi, yaitu sekitar 13.000 Shilling Uganda (Rp51.000). Tapi, dengan hanya segelas belalang, saya bisa membuat tiga porsi makanan.

Bagi saya, belalang seperti popcorn—camilan yang tidak henti dan tidak bosan saya kunyah.

Menurut saya pribadi, daging sapi mulai terasa hambar jika saya memakannya terlalu sering. Tapi tidak demikian dengan belalang, saya terus berselera menyantapnya dalam empat hari berturut-turut.

Kendala utama makan belalang, rahang saya mulai terasa sakit pada hari ketiga karena terlalu sering mengunyah serangga renyah. Kendala lainnya, belalang asin membuat saya luar biasa haus.

 Untuk menyiapkan belalang ternyata memerlukan waktu lebih lama dari yang saya antisipasi. Ini membuat saya sadar betapa gigih kakak saya ketika memasak belalang.

Namun, memasaknya bukan hal rumit—saya kerap membaca buku selagi menunggu sajian matang. Saya pribadi menggunakan bawang bombay dan cabai saat menggoreng belalang, tapi bumbu ekstra sejatinya tidak diperlukan karena belalang sudah renyah dari sananya.

Protein berkesinambungan

Belalang adalah protein berkesinambungan dan sarat protein. Mereka memainkan peranan penting dalam memperbaiki gizi, keamanan pangan, dan lapangan pekerjaan di Afrika timur, kata Leonard Alfonce selaku peneliti  entomologi di Universitas Tanzania.

Dia meyakini serangga semestinya bisa dipanen sebagai sumber pangan berkelanjutan sepanjang tahun.

"Serangga yang bisa dimakan dihargai tinggi dan penjualannya adalah sumber pemasukan di Uganda," kata Alfonce.

"Mengoptimalkan protokol untuk belalang yang bisa dimakan akan memastikan pasokan sepanjang tahun guna meningkatkan gizi, keamanan pangan, dan kesejahteraan di Afrika Timur," tambahnya.

Dalam konteks kandungan gizi, belalang tanduk panjang atau yang dikenal di Uganda dengan sebutan Nsenene, berisi 34-45% protein, 42-54% lemak, dan 4-6% serat. Pada umumnya serangga sarat vitamin dan asam amino.

Serangga juga punya manfaat berkelanjutan. Mengembakbiakkan serangga secara tradisional hanya perlu sedikit ruang, energi, dana ir sehingga jejak karbonnya jauh lebih rendah.

Peter Alexander, peneliti senior di bidang keamanan pangan global dari Universitas Edinburgh, memperkirakan bahwa menggantikan daging sapi dengan serangga sebagai sumber protein, saya mungkin telah mengurangi emisi karbon pribadi sebanyak 10 kali lipat.

"Apa yang kita pilih untuk makan benar-benar bermakna bagi emisi yang terkait dengan menu makanan kita," ujar Alexander.

Ketika setengah dari seluruh daging yang dikonsumsi di seluruh dunia digantikan dengan mealworm dan jangkrik, lahan pertanian dapat berkurang sepertiga sehingga 1.680 hektare tanah bisa dibebaskan dan emisi global bisa dikurangi, menurut kajian Alexander dan peneliti lainnya dari Universitas Edinburgh.

Serangga pun punya rata-rata timbal balik pakan yang tinggi. Ambil contoh, jangkrik. Untuk menghasilkan kadar protein yang sama, jangkrik memerlukan asupan pakan enam kali lebih sedikit ketimbang sapi, empat kali lebih sedikit dari domba, serta dua kali lebih sedikit ketimbang babi dan ayam. 

Mengembangbiakkan serangga berimbas pada emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit ketimbang ternak sapi, khususnya jika Anda memasukkan faktor transportasi ternak dan pakannya yang mencapai 18% dari emisi.

Jangkrik, misalnya, memproduksi kadar metana 80% lebih sedikit ketimbang sapi dan kadar ammonia yang 8-12 kali lebih rendah daripada babi, menurut kajian para peneliti dari Universitas Wageningen di Belanda.

Metana adalah gas yang menghasilkan dampak pemanasan global 84 kali lebih tinggi dari CO2 selama periode 20 tahun. Adapun polusi ammonia terkait dengan pengasaman tanah, polusi air tanah, serta kerusakan ekosistem.

Serangga juga bisa memakan limbah organik sehingga membantu mengurangi emisi ketika limbah itu membusuk serta mengurangi keseluruhan emisi per kilogram makanan.

"Saya sepakat intensitas emisi bagi banyak serangga sarat protein jauh lebih rendah daripada makanan berbasis hewan," kata Atul Jain, peneliti yang khusus mengkaji dampak perubahan iklim pada pertanian dan pasokan makanan di Universitas Illinois Urbana-Champaign, AS.

"Namun, serangga tidak diproduksi pada taraf industri seperti sapi atau komoditas pangan lainnya. Jadi, perbandingan emisi gas rumah kaca tidak akan adil antara yang berbasis tanaman atau berbasis hewan," sambungnya.

Nah sekarang pertanyannya, apakah serangga bisa diternakkan secara besar-besaran mengingat beragam manfaat yang mereka miliki?

"Serangga lebih mudah dikembangbiakkan ketimbang hewan [mamalia]. Anda bisa membuat pembudidayaan serangga di ruang bawah tanah rumah dan Anda akan memiliki sejuta serangga dalam beberapa hari," kata Bill Broadbent, direktur Entosense—perusahaan AS yang bertujuan agar serangga bisa menjadi menu makanan warga AS.

Serangga memang tidak akan bisa benar-benar menggantikan daging sapi, tapi serangga bisa menjadi sumber protein alternatif yang signifikan ketika dunia bakal kewalahan menangani kelangkaan pangan dalam beberapa tahun mendatang lantaran populasi dunia terus bertambah, menurut Broadbent.

Sebagai gambaran, untuk setiap kilogram protein hewani berkualitas tinggi yang diproduksi, sapi diberi pakan sekitar 6kg protein nabati. Diperkirakan peningkatan ongkos-ongkos pertanian, seperti pupuk dan pakan ternak, akan menyebabkan  harga daging sapi, babi, dan unggas akan mengalami kenaikan 30% pada 2050.

Kenaikan harga tambahan sebesar 18%-21% juga diperkirakan bakal terjadi akibat perubahan iklim serta merosotnya produktivitas pertanian, yang mendorong ongkos pakan serta menggaruisbawahi pentingnya mencari sumber protein alternatif. 

Permintaan serangga untuk dikonsumsi semakin meningkat

Sekitar 2.000 spesies serangga dikonsumsi di berbagai negara di kawasan Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.

Thailand, khususnya, punya industri serangga yang sangat berkembang. Sebanyak 20.000 peternakan memproduksi 7.500 ton serangga per tahun.

Namun, banyak orang di Eropa dan AS masih enggan menyantap serangga, meski rasanya enak, bergizi, dan berkontribusi positif pada lingkungan.

Ketika bermukim di Inggris antara 2019 hingga 2021, saya kesulitan membeli belalang untuk dikonsumsi. Pada Desember 2021, saya mengidam belalang setelah melihat foto camilan ini yang dibagikan teman-teman di Uganda melalui media sosial untuk merayakan awal musim penangkapan belalang.

Pencarian belalang membawa saya ke bagian barat dan timur London hingga Leeds, tapi saya tidak bisa menemukan serangga itu.

Indroneel Chatterjee, seorang periset di bidang psikologi konsumen dan pemasaran di Universitas Oxford Brookes, Inggris, mengatakan orang-orang yang mencari serangga untuk dikonsumsi di Inggris semestinya memulai dengan jangkrik dan mealworm karena lebih mudah ditemukan.

“Kemungkinan ada masalah rantai pasokan yang membuat [belalang] tidak tersedia karena mereka tidak diproduksi massa di Inggris sehingga sulit didapat,” kata Chatterjee.

Ada pula kerisauan bahwa menangkap serangga secara besar-besaran di sejumlah negara bisa menyebabkan populasi serangga makin menurun, setelah terancam perubahan iklim, penyakit, dan pestisida. 

Meski demikian, ternyata ada beberapa perusahaan di Eropa dan AS yang khusus mengembangbiakkan serangga untuk dikonsumsi.

Bug Farm, misalnya, adalah perusahaan pertama di Inggris Raya yang mengembangbiakkan serangga untuk disantap dan menjual beragam camilan yang terbuat dari serangga, termasuk kue cokelat berbahan jangkrik.

Perusahaan itu juga menjual bubuk jangkrik serta jangkrik utuh untuk dimasak di rumah.

Bug Farm meyakini dengan mendorong anak-anak untuk mencoba memakan serangga, selera mereka bisa dibangkitkan.

"Anak-anak khususnya punya pikiran sangat terbuka, jadi kami percaya bekerja sama dengan mereka adalah cara kita bisa mengubah perilaku dalam jangka panjang. Sebab mereka adalah pembeli di masa depan," kata Elinor Philp yang bekerja untuk Bug Farm.

Bug Farm telah mengembangkan VEXo, yaitu tipe makanan baru yang terbuat dari serangga dan protein nabati. Produk itu disajikan dalam wujud spaghetti Bolognese kepada 200 pelajar di Wales, 2019 lalu.

Sebelum mencoba VEXo, 27% murid mengatakan mereka akan mengambilnya saat makan siang. Namun setelah merasakannya, 56% mengatakan akan memilihnya. 

"Kami punya keyakinan kuat bahwa jika anak-anak muda telah belajar soal serangga yang bisa dimakan serta VEXo, saat mereka mulai membeli makanan untuk keluarga mereka di masa depan, mereka akan berkata: ‘Oh serangga, hanyalah tipe makanan lainnya," ujar Philp.

Bug Farm mengatakan menggiling serangga kering menjadi bubuk dan memasukkannya ke dalam sajian makanan adalah cara terbaik memikat orang yang ragu menyantap serangga. 

Aly Moore, selaku orang yang mempopulerkan serangga sebagai makanan melalui blog Bugible, mengaku menggunakan bubuk jangkrik dalam minuman sarat protein untuk sarapan setiap pagi.

"Ini adalah protein terbaik yang tersedia di alam, punya banyak gizi, berkesinambungan, dan tidak membuat kembung. Saya sangat merekomendasikannya."

Moore, yang merupakan kepala komunikasi untuk Chapul Farms – sebuah perusahaan yang terlibat dalam pembangunan dan pengoperasian peternakan serangga di AS, mencoba belalang untuk pertama kalinya dalam perjalanan ke Meksiko pada 2012.

"Saya penasaran dan memutuskan untuk mencobanya. Ternyata rasanya enak dan itu mengubah hidup saya selamanya," katanya. "Saya [sekarang] bekerja penuh waktu dengan serangga."

Dia berharap bahwa menyantap serangga akan menyebar di Eropa dan AS. "Ada banyak penelitian yang sedang berlangsung dan industri serangga mengalami pertumbuhan pesat," katanya.

Pandangan soal menyantap serangga perlahan berubah dan permintaan akan serangga yang dapat dimakan meningkat – pada tahun 2027, pasar serangga yang dapat dimakan diproyeksikan mencapai US$4,63 miliar

Serangga yang dapat dimakan tidak lagi hanya dijual oleh toko-toko khusus, tetapi juga dijajakan oleh jaringan supermarket Eropa termasuk Carrefour dan Sainsbury's.

Adapun milkshake jangkrik ditawarkan oleh restoran cepat saji AS, Wayback Burgers.

Tetapi kalaupun jika Anda tidak berencana segera membeli serangga yang dapat dimakan, Anda mungkin sudah memakannya.

Mereka dapat secara tidak sengaja masuk ke dalam makanan, entah karena terjebak di dalam produk segar yang kita makan atau secara tidak sengaja dicampur ke dalam produk seperti pasta, kue, dan roti.

Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) bahkan memiliki batasan kontaminasi serangga yang diperbolehkan dalam makanan sebelum harus ditarik.

Sebatang coklat 100g, misalnya, dapat berisi hingga 60 serpihan serangga (bagian dari serangga dan bukan seluruh tubuh). Tepung terigu dapat memiliki hingga 75 bagian serangga dalam setiap 50g, sedangkan makaroni dan mie dapat memiliki hingga 225 bagian serangga untuk setiap 225g.

"Menghilangkan setiap serpihan serangga saat memanen tanaman tidaklah sepadan dengan energi yang dikeluarkan," kata Philp.

Perlu juga dicatat bahwa beberapa spesies buah ara bergantung pada penyerbukan oleh tawon ara, yang bertelur di dalam buah dan mati di dalam buah. Tetapi tubuh tawon dengan cepat dicerna oleh enzim ficin yang dihasilkan oleh buah ara, namun meninggalkan sedikit serpihan tawon.

Hal ini masih menimbulkan perdebatan di antara beberapa kaum vegan tentang apakah mereka boleh makan buah tersebut.

Bagaimanapun, tekstur renyah di dalam buah ara tidak disebabkan oleh bagian tubuh tawon melainkan oleh biji.

Kebanyakan buah ara yang dijual di supermarket modern diserbuki tanpa tawon sama sekali.

Terlepas dari memakan serangga secara kebetulan ini, banyak ilmuwan percaya bahwa rasa mual saat membayangkan menyantap serangga mungkin perlu diubah jika dunia berharap untuk memenuhi tujuan kembarnya, yakni menyediakan makanan bergizi untuk semua orang dengan dampak lingkungan yang lebih rendah. (*)

Tags : Pangan, Asia, Hewan-hewan, Perubahan iklim, Lingkungan, Alam, Keamanan pangan, Pelestarian,