JAKARTA - Presiden Joko Widodo ingin harga tes PCR (polymerase chain reaction) diturunkan dan hasil uji deteksi Covid-19 tersebut bisa diketahui dalam jangka waktu 24 jam. Bagi Jokowi, salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR dan untuk itu dia sudah berbicara dengan menteri kesehatan mengenai hal ini.
"Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp450.000 sampai Rp550.000," ujar Jokowi dalam pernyataan pers singkat yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (15/08).
"Selain itu juga saya minta agar tes PCR bisa diketahui hasilnya maksimal dalam waktu 1 x 24 jam. Kita butuh kecepatan," lanjut Jokowi.
Menurut pantauan BBC Indonesia, selama ini harga tes PCR di rumah sakit maupun klinik di Indonesia dengan tanggungan pribadi paling murah sekitar Rp800 ribu. Sedangkan untuk mengenai hasil tes PCR, terutama di daerah, warga yang ikut serta mengaku perlu waktu berhari-hari untuk mengetahui hasilnya.
Sementara itu jumlah kasus infeksi harian Covid di Indonesia masih relatif tinggi walau belakangan ini terjadi tren penurunan. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, per 15 Agustus 2021, jumlah kasus baru penularan harian bertambah 20.813.
Sebelumnya pada 13 Juli lalu, Jokowi menyatakan agar tes PCR berada di angka 30.000 per hari. Namun epidemiolog, target itu masih jauh dari standar minimum dalam memetakan skala wabah virus corona di Indonesia. Jika mengikuti acuan Badan Kesehatan Dunia WHO, yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk, jumlah minimal tes Indonesia adalah 270.000 per minggu atau 54.000 orang per hari.
Berdasarkan data Senin (13/07), pemerintah melakukan tes PCR dengan 13.100 spesimen. Sementara Minggu (12/07), tes PCR dilakukan terhadap 22.379 spesimen. Angka tes ini masih jauh di bawah target acuan WHO. Hal ini terjadi di tengah posisi Indonesia yang berada dalam situasi yang disebut kolaborator saintis dan juga epidemiolog LaporCOVID-19 Iqbal Elyazar sebagai "kritis".
Indonesia mengalami pelonjakan kasus yang tajam dalam beberapa pekan terakhir dengan kenaikan dalam periode 24 jam di atas 1.000. Data pada Kamis (09/07) dalam sehari bahkan mencapai 2.657 kasus. "Sekarang Indonesia berada di situasi kritis, konsekuensi dari pergerakan orang yang bebas di luar, lalu tidak pakai masker. Peningkatan sekarang akibat dari penularan 2-3 minggu lalu. Dan dampak penularan saat ini akan kita lihat pada Agustus dan September bulan depan," kata Iqbal dirilis BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Senin (13/07).
Ditambah lagi, tes spesimen yang dilakukan, menurut Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 belum maksimal karena tidak 100% dilakukan untuk penelusuran orang baru namun juga untuk pemeriksaan ulang pasien. Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan akan menjadikan tes PCR prioritas utama dalam melakukan pemeriksaan.
Namun selama kapasitas untuk menunjang tes PCR belum terpenuhi maka pemerintah tetap akan melaksanakan rapid test. Presiden Jokowi meminta para pembantunya untuk meningkatkan jumlah tes PCR mencapai hingga 30.000 per hari khususnya di delapan provinsi yang menjadi prioritas. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meralat puncak pandemi yang sebelumnya diprediksi terjadi pada bulan Juli. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan puncak pandemi kini tidak bisa diprediksi karena kasusnya sangat dinamis dengan perilaku masyarakat. Namun, ia menjelaskan kondisi ini justru mencerminkan penanganan yang efektif, karena tingkat peningkatan masih terkendali.
Namun epidemiolog Iqbal Elyazar mengatakan Indonesia saat ini berada dalam situasi yang kritis dalam penyebaran virus corona karena kebijakan pemerintah yang melonggarkan pembatasan sosial sehingga banyak masyarakat yang kembali berinteraksi di luar rumah. Iqbal mengatakan prevalensi penyebaran virus corona di Indonesia saat ini berada di angka 12-15% yang artinya sangat mudah menemukan orang positif corona di luar. "Berdasarkan data kemarin, dari 10.995 orang diperiksa, ditemukan 1.681 positif. Itu sekitar 12%. Digabungkan dengan yang lalu berarti ada di kisaran 12-15%. Artinya masih banyak orang di luar yang terinfeksi dan meneruskan penularan ke orang lain," kata Iqbal.
Jumlah positif tersebut berpotensi akan semakin besar jika tes PCR semakin marak dilakukan. Namun, realisasi bahkan target pemerintah dalam melakukan tes PCR masih jauh dari standar minimum yang ditetapkan WHO. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono menilai dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 260 juta orang. Maka total tes harian yang harus dilakukan berjumlah 50.000. "Kalau sehari 10.000 sampai 20.000, berarti sebulan 600.000, belum satu juta, sementara penduduk Indonesia 260 juta. Artinya masih jauh dari cukup," kata Yunis.
Iqbal Elyazar menambahkan minimnya jumlah tes PCR di Indonesia berakibat pada sulitnya untuk melakukan pemetaan untuk memotong penularan Covid-19 di Indonesia. Tri Yunis menjelaskan minimnya tes PCR yang dilakukan pemerintah disebabkan oleh keterbatasan fasilitas laboratorium dalam menguji hasil tes. "Tes harus dilakukan di laboratorium dengan standar Biosafety Level 2 dan itu jumlahnya terbatas. Lalu mesinnya juga khusus dan jumlahnya terbatas, dan media transport atau perlengkapan pengiriman sampel yang mencapai ratusan juta," katanya.
Faktor lainnya menurut Iqbal Elyazar adalah dikarenakan alat dan penguji PCR yang masih impor dan harus bersaing dengan negara besar lainnya. "Belum ada produk dalam negeri yang bisa langsung digunakan di lab Covid di Indonesia, sehingga harganya menjadi mahal," katanya.
Alasan lain menurut Iqbal adalah keterbatasan jumlah ahli laboratorium yang melakukan tes. Sehingga banyak sampel yang menunggu untuk dilakukan uji lab. "Adanya penundaan pemeriksaan. Ada lab yang melakukan pemeriksaan ribuan ada yang juga hanya belasan per hari akibat dari terbatasnya alat uji dan SDM. Jumlah 11-12 ribu itu belum cukup mengambarkan dan menangkap situasi Covid sesungguhnya. Belum cukup mengendalikan kasus Covid terutama untuk melakukan upaya penemuan orang-orang terinfeksi," kata Iqbal.
Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 meminta pemerintah untuk membuka data penyebaran Covid-19, seperti berapa yang positif, berapa yang meninggal dengan mengikuti standar pelaporan WHO. Pemerintah Indonesia menghitung korban meninggal akibat corona jika terbukti positif. Namun, berdasarkan acuan WHO, jumlah meninggal dihitung bukan hanya yang positif namun juga bagi mereka yang meninggal dengan gejala Covid namun belum terkonfirmasi positif.
Sehingga masyarakat mengetahui seberapa besar atau kecil wabah corona yang dihadapi Indonesia. "Buka data yang sebenarnya sehingga masyarakat, supaya setiap kali memutuskan beraktifitas keluar rumah mereka sadar seberapa tinggi resiko kegiatan itu. Saat ini kita tidak tahu apa-apa akibatnya banyak yang beraktifitas tidak pakai masker dan biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, dan ini berbahaya," kata Elina.
"Kalau sekarangkan yang terlihat seakan-akan pemerintah mengecilkan skala wabah dengan dasar tidak mau membuat masyarakat panik. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak peduli dan tidak bisa diajak bersama untuk waspada akan virus ini," katanya.
Jokowi targetkan 30.000 tes PCR
Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas dengan para menteri Senin (13/07) menyoroti peningkatan kasus positif Covid yang mencapai hingga 1.681 kasus dan 2.657 kasus dalam sehari.
Ia pun meminta untuk dilakukan peningkatan terhadap pengetesen, penelusuran, dan perawatan, khususnya di delapan provinsi yang menjadi prioritas yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Papua. "Untuk tes harus ditingkatkan jumlah PCR test dengan menambah jumlah lab-lab yang ada di daerah plus mobile lab PCR yang kita harapkan nantinya target sesuai yang saya sampaikan bisa tercapai 30.000.
"Dan penelusuran untuk ODP maupun PDP kemudian memberikan isolasi mandiri dan treatment, ini peningkatan fasilitas rumah sakit khususnya kasur, APD, pengobataan, ventilator. Kalau memang kekurangan agar Kemenkes bisa menyampaikan ke Menteri PU untuk segera diselesaikan," kata Jokowi.
Terhadap instruksi presiden tersebut Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo akan menjadikan tes PCR prioritas utama dalam melakukan pemeriksaan karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Namun selama kapasitas tes PCR belum terpenuhi maka pemerintah tetap akan melaksanakan rapid test, tambah Doni.
Sementara itu, juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan, peningkatan kasus positif dalam beberapa minggu terakhir adalah hasil pelacakan dan pemeriksaan laboratorium secara masif. "Sebagian besar kasus yang kita dapatkan adalah kasus-kasus yang tidak ada indikasi untuk dirawat di rumah sakit," ujar Yurianto saat konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta (13/7).
Data Covid-19 per Senin (13/07) mencatat jumlah pemeriksaan spesimen mencapai 13.100 spesimen. Dari pemeriksaan spesimen tersebut, jumlah terkonfirmasi positif 1.282 orang, sehingga total kasus positif Covid-19 menjadi 76.981 kasus. Total kasus sembuh adalah 1.051 orang sehingga akumulasi totalnya menjadi 36.689 orang. Sedangkan kasus meninggal dunia, Yurianto menyampaikan, 50 orang dilaporkan meninggal hari ini sehingga totalnya menjadi 3.656 orang. (*)
Tags : Joko Widodo, Virus Corona, Indonesia,