Headline Nasional   2021/08/19 14:4 WIB

Covid Menyebar di Pabrik, Buruh Enggan Melapor: 'Perusahaan Mengakali Aturan Prokes dan PPKM'

Covid Menyebar di Pabrik, Buruh Enggan Melapor: 'Perusahaan Mengakali Aturan Prokes dan PPKM'
Sejumlah buruh mengantre untuk mengikuti vaksinasi COVID-19

JAKARTA - Gabungan serikat pekerja di Indonesia memperkirakan ribuan pekerja pabrik sektor tekstil, garmen, sepatu dan kulit terinfeksi virus corona ketika Jawa dan Bali mengalami puncak Covid-19, Juli lalu.

Seorang buruh garmen merek ternama dunia Express menuturkan perusahaan mengabaikan protokol kesehatan dan mengakali aturan di PPKM Darurat yang membatasi kapasitas produksi hanya 50% demi mengejar target pasar. Tapi kalangan pengusaha membantah temuan itu dan mengeklaim perusahaan telah mengeluarkan ongkos miliaran rupiah untuk memenuhi hak kesehatan para buruh.

Sementara Kementerian Tenaga Kerja mengancam para pengusaha nakal dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan jika terbukti melanggar prokes. "Teman-teman buruh yang bergejala [Covid-19] memaksakan diri tetap masuk kerja karena mereka khawatir di kemudian hari tidak diperpanjang kontraknya dan takut dikucilkan teman-temannya," ungkap Sri Rahmawati, pekerja di PT Amos Indah Indonesia tentang kondisi para buruh beberapa waktu lalu.

PT Amos Indah Indonesia adalah perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta, yang memproduksi pakaian jadi merek Express untuk diekspor ke luar negeri. Kata Rahma, saat puncak Covid-19 di bulan Juni dan Juli lalu ada lebih dari 10 buruh yang menutup-nutupi gejalanya, bahkan merahasiakan hasil tes Covid. Salah satu kasus yang akhirnya terbongkar berawal dari kecurigaan seorang kepala tim produksi ke salah satu anggotanya. "Pas disamperin badannya panas, tapi tetap dia [buruh] itu enggak mau mengaku. Sampai personalia turun ke ruang produksi dan pegang badan anak itu panas, akhirnya dipulangkan," katanya dirilis BBC News Indonesia, Selasa (10/08).

Kejadian lain, ada juga seorang buruh tiba-tiba pingsan saat bekerja. "Setelah istirahat di rumah pun enggak langsung tes karena takut kena Covid. Setelah seminggu baru tes, hasilnya reaktif. Awalnya dia menutupi sakit [Covid] itu dan sedang masa pengobatan, tapi tiba-tiba pingsan. Setelah itu kami tanya sakit apa, dia masih menutupi hasil tes swab positif. Dia baru terbuka saat saya juga terinfeksi."

Rahma mengatakan, kondisi temannya itu cukup parah sehingga harus istirahat hampir satu bulan. PT Amos Indah Indonesia mempekerjakan 1.300 lebih buruh baik berstatus kontrak maupun karyawan tetap. Upah para pekerja berpatokan pada UMP Provinsi dan tak pernah ada kenaikan, "Mau sudah bekerja 20 tahun atau baru masuk, upahnya sama. Enggak pernah naik. Sejak dulu seperti itu," kata Rahma.

Pasca Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, posisi buruh kian sulit. Perusahaan, imbuhnya, tidak lagi mau menerapkan kontrak panjang hingga satu tahun. Saat pertama kali masuk, buruh dikontrak tiga atau enam bulan. Kalau selama bekerja sering tidak masuk meski alasan sakit, besar kemungkinan kontraknya tak berlanjut, kata Rahma. 

Persoalan infeksi Covid di dalam pabrik tidak pernah diketahui Satgas Covid-19 Provinsi DKI Jakarta. Sebab jika melapor maka sudah pasti bakal disalahkan oleh pihak perusahaan dan sesama buruh lantaran pabrik dikenakan sanksi penutupan. "Kalau pekerja diliburkan, perusahaan tidak mau bayar upah," imbuh Rahma.

Catatan Rahma yang juga Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) PT Amos Indah Indonesia, sepanjang Juni-Juli ada 27 pekerja yang positif Covid-19. "Sementara pekerja harus memenuhi kebutuhan harian. Dari situ dilema bagi kami sebagai pekerja."

Kepala Personalia PT Amos Indah Indonesia, Engkus Suhendar, membantah kasus tersebut. Kalaupun ada yang terinfeksi Covid-19 atau memiliki gejala, pekerja wajib melakukan isolasi mandiri. Upah juga dibayarkan penuh. "Itu tidak benar karena kami sudah menjalankan 5M [mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas]," jelas Engkus Suhendar.

Tapi tak cuma persoalan itu yang mencuat. Rahma berkata pihak perusahaan tak benar-benar memenuhi hak kesehatan buruh. "Kalau masker, pernah dibagikan beberapa bulan lalu, tapi belakangan ini tidak. Jadi kami beli sendiri. Serikat pernah minta agar disediakan masker medis, tapi tidak direspon. Vitamin pun sudah 1,5 tahun kami ajukan tapi sampai hari ini tidak pernah dikasih vitamin."

Bahkan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 Juni lalu yang mengatur bahwa industri orientasi ekspor dibolehkan beroperasi dengan kapasitas maksimal 50% staf di fasilitas produksi, juga dilanggar. Perusahaan, sambung Rahma, mengakali aturan itu dengan memberlakukan dua shift kerja. "Seharusnya di dalam pabrik itu hanya 50%, tapi disiasati menjadi 50% di pagi hari, dan 50% di siang hari."

'Ribuan buruh terinfeksi virus corona'

Kepala Divisi Anak dan Perempuan DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sumiyati, menemukan kejadian serupa. Kala ia sedang mengumpulkan informasi tentang kondisi buruh di pabrik-pabrik di Provinsi Banten dan Jawa Barat, ia mendengar cerita sejumlah pekerja yang memaksakan diri tetap masuk kerja meski bergejala Covid-19. "Jadi kalau mereka demam, enggak kerja. Kalau kondisinya agak membaik, mereka kerja. Di antara mereka tuh tahu sama tahu dan mereka saling berbagi obat," tutur Sumiyati.

Para buruh, katanya, tidak ada yang melakukan tes Covid-19 lantaran biayanya tak ditanggung perusahaan. Bagi mereka, uang untuk tes virus corona lebih baik dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Soal protokol kesehatan bagi pekerja pabrik, juga minim menurut pengakuan para buruh kepada Sumiyati. "Dulu awal-awal pandemi memang perusahaan sediakan masker, vitamin. Tapi kemudian berkurang. Masker tidak disediakan lagi jadi buruh beli sendiri. Hand sanitizer mulai dikurangi. Vitamin malah sudah hilang duluan."

Sumiyati meyakini kasus positif Covid-19 di empat pabrik yang ia kunjungi sangat banyak. Sebab setelah selesai mengumpulkan informasi dari lapangan, ia terinfeksi virus corona. "Tiga hari setelahnya saya positif [Covid-19]."

Ia juga pernah minta data kasus positif Covid ke serikat pekerja dan manajemen perusahaan, tapi ditolak dengan alasan "convidential". "Saat saya minta data, mereka keberatan. Obrolan serikat pekerja yang saya dengar, 'jangan kata bapak ini convidential'. Berarti kan ada pihak yang keberatan kalau pihak luar tahu data yang terpapar."

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti, memperkirakan ada ribuan anggota yang terinfeksi Covid-19 di pabrik sepanjang dua pekan awal penerapan PPKM Darurat. Ribuan buruh itu berada di wilayah Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, dan Solo. Karena itulah ia mendorong adanya sanksi dari pemerintah kepada perusahaan yang membiarkan pekerjanya bekerja tanpa penyediaan fasilitas kesehatan.

Ketua bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial di Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harianto, yakin tidak ada industri berorientasi ekspor yang melanggar protokol kesehatan ataupun membiarkan pekerjanya masuk kerja saat terinfeksi virus corona. Pasalnya satu perusahaan bisa menghabiskan uang hingga miliaran rupiah untuk pencegahan klaster Covid-19 di dalam pabrik.

Mulai dari membayar tes Covid bagi pekerja yang terinfeksi dan pelacakan kontak erat, termasuk ongkos membeli vitamin maupun obat-obatan. "Kalau orientasi ekspor, pabrik-pabrik itu enggak akan berani melanggar. Tidak usah ada Covid, audit oleh buyer aja setengah mati. Kalau melanggar dikasih kesempatan tiga kali. Sampai ada declare red, goodbye sudah," kata Harianto.

Dia juga menjelaskan pabrik dengan produksi ekspor mustahil berhenti beroperasi lantaran menopang devisa negara. Kalaupun hanya mempekerjakan 50% buruh sesuai aturan dalam PPKM Darurat, sama saja menghambat produksi. "50% karyawan, itu enggak mungkin untuk industri garmen atau sepatu. Karena prosesnya dari titik A sampai Z, tangan demi tangan mengerjakan semua."

Ia justru menuding pemerintah yang tidak jelas membuat aturan sehingga disalahtafsirkan oleh kepala daerah. Dalam Instruksi Mendagri tertera; industri orientasi ekspor dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal sebesar 50% staf yang bekerja di fasilitas produksi/pabrik. Sementara untuk wilayah perkantoran pendukung operasional hanya diperbolehkan maksimal 10% staf. "Ini menimbulkan debat kusir agak lama. Ada yang 50% itu staf administrasi, tapi produksi enggak penuh 50%. Ada yang boleh 100%, ada yang tidak."

Belakangan dalam PPKM Darurat perpanjangan, pemerintah merevisi aturan dengan membolehkan pabrik tujuan ekspor beroperasi dua shift dengan kapasitas maksimal masing-masing shift 50%. Harianto meminta para serikat pekerja maupun buruh untuk melapor ke Satgas Covid-19 daerah masing-masing jika menemukan pelanggaran.

Kepala Biro Humas Kemnaker, Chairul Fadly Harahap, mengaku belum menerima laporan soal pelanggaran protokol kesehatan ataupun klaster Covid di pabrik. Ia juga mengeklaim pihaknya telah mewanti-wanti perusahaan agar patuh pada aturan keselamatan kerja maupun memenuhi hak kesehatan pekerja. Sebab jika melanggar bakal dikenakan aturan di Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dengan ancaman tidak boleh beroperasi. "Itu sesuatu hal yang tidak boleh dan bisa kena pasal Kekarantinaan Kesehatan karena penyebaran virus. Kami akan komunikasi dengan Satgas daerah, kami harus lebih keras lagi nampaknya". (*)

Tags : Covid Menyebar di Pabrik, Buruh Enggan Melapor, Perusahaan Mengakali Aturan Prokes dan PPKM,