INDONESIA berulang kali mengalami kelangkaan beras, masyarakat adat Cireundeu di Jawa Barat tak terdampak karena mereka mengonsumsi rasi – beras singkong – sebagai makanan pokok sejak seabad silam. Apakah rasi bisa jadi solusi krisis pangan?
Di dapur sebuah rumah yang terletak di Kampung Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Neneng Suminar tampak sibuk menyerok butiran putih yang terbuat dari olahan singkong dari sebuah ember plastik menggunakan piring berbahan seng.
Ia lantas menampungnya dalam baskom berbahan stainless steel dan menyiramnya dengan air.
Setelah memastikan semua butiran putih itu basah, perempuan berusia 43 tahun tersebut mengukusnya dalam sebuah se’eng – alat pengukus tradisional Jawa Barat.
Sekitar 15 menit setelah dimasak, butiran yang sebelumnya berwarna putih itu berubah kecoklatan.
Makanan itu adalah rasi – singkatan dari beras singkong – yang disantap Neneng dan keluarganya sebagai asupan karbohidrat pengganti nasi.
Berbeda dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras, Neneng dan masyarakat adat Cireundeu lainnya memilih rasi sebagai makanan pokok, sesuai tradisi yang berlaku turun temurun.
Bahkan, sepanjang hidupnya, Neneng sama sekali belum pernah mencicipi olahan beras.
Baru-baru ini, ketika sebagian besar penduduk Indonesia resah dengan beras yang langka di pasaran dan harganya yang melonjak, ibu dua anak itu tak merasakan dampak kelangkaan beras.
“Kasihan juga sama yang makan beras, terus langka juga. Kalau kita sih di sini enggak terpengaruh, aman-aman saja,” ungkap Neneng, Kamis (25/04).
Rasi diciptakan satu abad lalu, tepatnya pada 1924, oleh tokoh adat perempuan Kampung Cireundeu, Omah Asnamah – juga dikenal dengan nama Abu Sepuh.
Kala itu, rasi menjadi simbol perlawanan warga Cireundeu terhadap pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Indonesia.
Kelahiran rasi diawali pada 1918, ketika para sesepuh Cireundeu menyerukan kepada warganya untuk mencari alternatif pangan pengganti beras di tengah krisis pangan yang melanda.
Seruan itu dipicu aksi Belanda yang merampas beras, hasil bumi utama masyarakat Cireundeu.
Dituturkan oleh wakil sesepuh lembaga adat kampung Cireundeu, Abah Widia, tujuan pemerintah kolonial Belanda mengambil hasil bumi rakyat Indonesia agar pribumi kelaparan sehingga tak mampu berjuang melawan penjajah.
“Tujuan penjajah supaya masyarakat perutnya kosong tidak bisa makan, kecuali kalau kita mau jadi antek-antek Belanda,” tutur pria 64 tahun ini.
Langkah itu tak menyurutkan semangat warga Cireundeu untuk terus melawan Belanda. Mereka kemudian mencari alternatif demi mencukupi kebutuhan pangan warganya.
“Yang penting satu hal, masyarakatnya bisa makan, bisa tetap berjuang,” ujar Abah Widia kemudian.
Selain aksi merampas beras yang dilakukan Belanda, ramalan leluhur juga melatari pencarian pangan pengganti beras.
Leluhur masyarakat adat Cireundeu meramalkan suatu saat bumi akan penuh dengan tangtungan – sesuatu yang berdiri, yakni bangunan yang semakin padat dan manusia yang semakin banyak.
“Tangtungan di situ ada dua. Satu, tangtungan fisik bangunan yang mengganggu lahan pertanian. Kedua, tangtungan wujud manusia yang butuh alam dan butuh di dalamnya hasil bumi,” ungkap Abah Widia.
Penerawangan itu memicu para sesepuh meminta warga Cireundeu beralih ke umbi-umbian dan hasil bumi lainnya.
Abah Widia mengatakan, beragam sumber karbohidrat yang ditanam di Cireundeu – seperti talas, jagung, biji hanjeuli, singkong dan ubi – dapat menggantikan beras.
Pada 1924, tokoh adat perempuan Cireundeu, Abu Sepuh, menemukan teknik pengolahan singkong menjadi rasi yang disebut 7D, yaitu dikupas, dicuci, diparut, diperas, dijemur, ditumbuk, dan diayak.
Selain mampu menghilangkan racun sianida yang terkandung dalam singkong jenis karihil, teknik tersebut mengubah wujud singkong yang sebelumnya berupa batangan menjadi butiran layaknya beras.
Seabad berlalu dan zaman berganti, teknik pengolahan singkong menjadi rasi ini masih diteruskan oleh sekitar 60 keluarga di Kampung Cireundeu. Salah satunya adalah Neneng Suminar.
Neneng menuturkan, ia hanya membutuhkan setengah kilogram rasi untuk konsumsi empat orang anggota keluarganya dalam sehari. Jika diganti beras, konsumsi satu keluarga dengan jumlah orang yang sama bisa mencapai 1,5 kilogram.
Menurut Neneng, konsumsi harian rasi lebih sedikit dibanding beras sebab teksturnya yang padat dan mengandung banyak serat sehingga cepat mengenyangkan.
“Sedikit juga sudah kenyang, enggak kayak nasi beras. Kalau lihat yang makan nasi beras itu sampai sepiring penuh. Kalau kita makan rasi sepiring gitu kayaknya enggak bakalan kuat, karena rasi lebih padat,” ujar Neneng.
Selain itu, rasi lebih ekonomis dibanding beras lantaran dirinya menanam dan mengolah sendiri singkong menjadi rasi.
Harga per kilogram rasi dibanderol sekitar Rp12.000, sementara harga beras dipatok sekitar Rp14.900 per kg untuk beras premium dan sekitar Rp12.500 untuk beras medium.
Kendati harga rasi dan beras tak terpaut jauh, menurut Neneng, konsumsi harian rasi lebih irit ketimbang beras.
Bila dirupiahkan, rasi membutuhkan biaya senilai Rp6.0000 per hari untuk 0,5 kg yang dikonsumsi keluarganya, berbanding beras senilai Rp22.350 (untuk 1,5 kg beras) per hari.
Bermula dari simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda, rasi kini model ketahanan pangan yang menjadi daya tarik wisatawan.
Pada 2019 silam, Kampung Cireundeu yang didiami sekitar 800 jiwa ini dinobatkan sebagai kampung wisata.
Dua tahun kemudian, pada 2021, pemerintah pusat menetapkan rasi sebagai warisan budaya tak benda.
Penetapan sebagai kampung wisata juga menggerakkan roda ekonomi dengan dibukanya sentra oleh-oleh yang menjual berbagai produk olahan singkong.
Aktivitas ekonomi ini melibatkan warga lokal yang sebagian besar adalah perempuan.
Sekitar sepuluh perempuan Cireundeu, termasuk Neneng, terlibat dalam pembuatan aneka penganan berbahan dasar singkong.
Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan, semakin sibuk juga perempuan Cireundeu memproduksi aneka ragam oleh-oleh, berupa kuliner dan aksesoris.
Selain rasi, mereka membuat eggroll, dendeng kulit singkong, kue kering, dan ragam olahan lain yang semuanya berbahan dasar singkong.
Dari kegiatan tersebut, perempuan Cireundeu bisa memperoleh penghasilan sendiri.
“Kami mendapat penghasilan Rp40.000 per hari, kerja 4-5 hari per minggu. Kalau omzet penjualan kurang lebih Rp15 juta hingga Rp25 juta per bulan. Kami merasa terbantu secara ekonomi sejak Cireundeu dinyatakan sebagai kampung wisata,” ucap Neneng.
Pada Kamis 25 April 2024 silam, sekitar 50 pelajar SD Negeri 034 Patrokomala Bandung berkunjung ke Kampung Wisata Cireundeu.
Salah satu guru, Arie Ramazansyah, beralasan dia ingin memperkenalkan pangan alternatif kepada siswanya, selain makanan yang dikonsumsi anak-anak tersebut tiap hari, seperti nasi, roti, dan makanan cepat saji.
“Kita mengajarkan anak-anak, ada loh makanan yang bisa kalian jadi bahan alternatif untuk dimakan, yaitu singkong dan juga bisa dibuat berbagai macam, ada rasi, eggroll,” ungkap Arie saat ditemui di lokasi.
Para siswa tampak antusias mempraktikkan cara membuat rasi dan eggroll atau kue semprong yang terbuat dari tepung singkong.
Mereka juga diajari membuat wayang dari batang dan daun singkong.
Saat makan siang, guru dan siswa disuguhi rasi yang diolah seperti nasi goreng.
Para pelajar secara langsung mendapat pengajaran soal alternatif pangan selain beras yang selama ini dikonsumsi masyarakat banyak.
Di sini saya bisa belajar bahwa singkong bisa jadi pengganti nasi karena katanya juga [tahun] 2050 bisa terjadi kehabisan beras.
Jadi bisa digantikan dengan singkong. Saya juga belajar banyak barang-barang yang bisa dibuat dari singkong,” ujar salah satu siswa, Naysha Putri Apriliani.
“Dengan singkong bisa jadi nasi, jadi enggak usah pakai beras lagi, bisa pakai singkong. Mungkin nanti di masa depan kita makan singkong juga.”
Kunjungan wisatawan ini menjadi salah satu cara memperkenalkan rasi sebagai pangan alternatif, yang disebut sebagai upaya ketuk tular oleh masyarakat adat Cireundeu.
Sesepuh Kampung Cireundeu, Abah Widia, menerangkan ketuk adalah mengetuk hati wisatawan atau masyarakat di luar Cireundeu untuk menularkan ilmu rasi ke khalayak umum.
“Tinggal mereka bisa enggak mengubah pola pikir dan pola makan. Sederhana sebetulnya, walaupun memang di era sekarang masih ada orang yang berbicara, kalau makan singkong [seperti] kembali ke zaman dulu,” tutur Abah Widia.
Dia melanjutkan, pilihan yang dimiliki saat ini hanya ada dua, “melangkah ke depan dengan bahaya atau mundur ke belakang dengan aman”.
Filosofi ketuk tular ini juga menyasar generasi muda masyarakat adat Cireundeu, seperti dituturkan oleh tokoh pemuda Cireundeu, Triana Santika, yang mengaku khawatir tradisi rasi perlahan-lahan akan terkikis karena tidak dilestarikan oleh generasi penerusnya.
“Para sepuh sudah bilang bahwa kudu diteraskan (harus diteruskan) kebiasaan ini karena zaman ke depan semakin susah, semakin berat,” ucap Triana.
Keresahan yang sama diungkapkan oleh petani singkong Cireundeu, Entis Sutisna, yang menekankan pentingnya regenerasi petani.
Namun, ada kekhawatiran yang lebih besar terselip dalam benak masyarakat Cireundeu, yakni tergusurnya lahan mereka akibat pembangunan di sekitar kampung mereka yang berlangsung cukup masif.
Mulut Entis Sutisna komat kamit melafalkan mipit amit ngala menta, jampi yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa, memohon izin menanam singkong di kebunnya yang berada di kaki Gunung Gajah Langu. Ritual tersebut telah berlangsung secara turun temurun.
“Kita cuma menancapkan di tanah dan kita hanya menanamnya, Tuhan yang menciptakan dan Tuhan yang menjadikan, menumbuhkan, membaguskan. Kita cuma menanam dan memupuknya supaya baik, tapi hasilnya diserahkan ke Tuhan,” kata Entis.
Lepas sekolah menengah pertama, Entis memilih menjadi petani singkong, profesi yang diturunkan dari nenek moyangnya. Pria berusia 46 tahun itu menggarap lahan seluas 1.400 meter persegi yang sebagian besar ditanami singkong jenis garnawis.
Hasil panen kebun Entis dipakai untuk memenuhi kebutuhan rasi keluarga dan masyarakat Cireundeu yang tidak pernah menggunakan singkong dari luar untuk membuat rasi. Hanya saja, Entis merasa waswas lahannya akan tergusur pembangunan di sekitar Kampung Cireundeu.
“Kekhawatiran pasti ada karena sekarang wilayah sudah alih fungsi, tapi saya tetap bertekad terus melanjutkan kebiasaan menanam singkong sampai kapan pun,” tegasnya.
Diakui tokoh pemuda Cireundeu, Triana Santika, lahan di sekitar Kampung Cireundeu kini mulai terancam pembangunan permukiman penduduk.
Di kampung tetangga Cibogo, misalnya, telah dibangun sebuah kompleks perumahan. Demikian halnya di Kampung Cibungur, wilayag Bandung Barat yang berbatasan dengan Cireundeu.
Untuk menekan maraknya ahli fungsi lahan di sekitar kampung Cireundeu, Triana telah mengajukan permohonan diterbitkannya peraturan tentang hak ulayat masyarakat adat Cireundeu ke Pemerintah Kota Cimahi, sejak tahun lalu.
“Tapi sampai sekarang masih belum ada angin segar,” kata pria 40 tahun itu.
Ditemui secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kota Cimahi, Achmad Nuryana, mengatakan pihaknya masih menyusun peraturan tersebut, seraya menjelaskan bahwa kawasan Kampung Wisata Cireundeu telah dilindungi oleh Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan Kampung Cireundeu sebagai kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Jadi di RTRW kita itu yang termasuk wilayah Cimahi itu menjadi sebuah kawasan hijau yang tidak boleh dibangun, sebagai RTH dan diharapkan RTH ini digunakan untuk menanam singkong untuk bisa dipertahankan,” papar Achmad.
“Kalaupun nanti ada penguatan dengan perwal (peraturan wali kota) ya tentu saja nanti kita akan sarankan kepada pihak berwenang di pemkot (pemerintah kota) ini biar lebih terproteksi kawasan-kawasan yang memang menjadi lahan tanaman singkong,” ujarnya kemudian.
Kampung Adat Cireundeu memiliki luas lahan 64 hektar, terdiri 60 hektar lahan pertanian dan empat hektar permukiman.
Kawasan Kampung Cireundeu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Hutan Larangan – hutan yang terlarang dimasuki, ditebang pepohonannya, dan diambil hasil buminya – demi menjaga sumber air; Hutan Tutupan – kawasan reboisasi yang boleh ditebang pohonnya, tapi wajib ditanami kembali; serta Hutan Baladahan yang boleh ditanami atau dijadikan lahan perkebunan.
Solusi krisis pangan?
Organisasi pangan dunia (FAO) memperkirakan dunia akan menghadapi ancaman krisis pangan pada 2050 sebagai dampak perubahan iklim yang mempengaruhi hasil panen.
Prediksi tersebut dikuatkan hasil pemantauan World Meteorological Organization pada akhir 2022 yang melaporkan kencangnya laju perubahan iklim.
Pada tahun yang sama, Presiden Joko Widodo telah menyerukan diversifikasi pangan agar masyarakat tidak tergantung pada beras untuk menghadapi krisis pangan. Lantas, apakah rasi memenuhi syarat sebagai pengganti beras?
Pakar pertanian Universitas Padjadjaran di Bandung, Adi Nugraha, memaparkan World Bank menetapkan empat komponen utama terkait isu ketahanan pangan, yakni ketersediaan, akses secara fisikal atau ekonomi, kecukupan nutrisi dan gizi, serta stabilitas produksi.
“Jadi, kalau beras singkong, menurut saya, secara konsep ketahanan pangan sangat memenuhi untuk dijadikan alternatif atau sumber karbohidrat alternatif bagi masyarakat Indonesia,” ujar Adi.
Kendati begitu, Adi berpendapat bahwa rasi sulit menggantikan beras sebagai makanan pokok. Sebab, menurutnya, peralihan itu tidak bisa dilakukan secara instan, tapi membutuhkan proses yang relatif lama, seperti yang dialami warga Cireundeu.
“Pasokan mereka atau akses mereka terhadap beras terputus. Waktu itu karena situasi perang pada saat zaman penjajahan Belanda sehingga mereka terpaksa berinovasi mencari alternatif pangan selain beras. Terciptalah beras singkong. Mereka mulai membudidayakan dan mengkonsumsi singkong.”
“Tapi mereka juga kan berproses. Itu juga berat bagi mereka waktu itu, sehingga harus membuat bagaimana biar enak mengonsumsi singkong, dan dibuatlah dalam bentuk beras,” papar Adi.
Bicara soal ancaman krisis pangan, Adi bilang ada solusi yang lebih baik dibanding diversifikasi pangan, yaitu mengurangi konsumsi beras atau karbohidrat.
Apalagi, sebagai negara pengonsumsi beras terbesar di Asia Tenggara dan salah satu terbesar di dunia, sekitar 128 kilogram per kapita, Indonesia menghadapi ancaman penyakit diabetes.
“Inti dari diversifikasi pangan itu kan ke pengurangan konsumsi beras. Artinya, tidak hanya diversifikasi dalam artian mencari alternatif sumber karbohidrat, tapi juga meragamkan piring kita.”
“Karbohidratnya tidak bergantung hanya pada nasi atau pati, tapi beragam saja dan nasinya dikurangi. Jadi satunya, diversifikasi karbohidrat, yang satunya lagi diversifikasi menunya,” jelas Adi yang mengambil spesialisasi Sosiologi dan Transformasi Pembangunan ini.
Senada, dokter spesialis gizi klinik, Gaga Irawan Nugraha menegaskan yang terpenting dalam pemenuhan kebutuhan gizi adalah keragaman nutrisi.
“Saya sangat setuju kita harus melakukan diversifikasi pangan. Jangan hanya tergantung beras, mungkin bisa singkong, jagung, kentang, sorgum. Tetapi yang jadi masalah jangan hanya itu,” kata Gaga.
“Setiap makan kita butuh protein hewani, [protein] nabati dan sayuran, dan juga harus ada buah-buahan untuk melengkapi vitamin mineral dan serat larut airnya.”
Diakui Gaga, rasi atau singkong memiliki beberapa keunggulan dibanding nasi. Per 100 gram singkong mengandung lebih banyak vitamin C, Vitamin A, asam folat, kalium, dan serat daripada nasi.
Rasi dan nasi memiliki kandungan zat besi, sodium, dan zinc yang hampir sama. Akan tetapi, dibanding nasi, singkong lebih banyak mengandung karbohidrat dan lebih sedikit protein.
Singkong juga mengandung lebih banyak serat sehingga memiliki indeks glikemik – nilai yang menunjukkan seberapa cepat bahan makanan meningkatkan gula darah – lebih rendah dibanding nasi.
“Tapi saya enggak melarang nasi juga buat yang diabetes, yang penting makannya harus ada seratnya dari sayur,” ungkap dosen Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran tersebut seperti dirilis BBC News Indonesia.
Dijelaskan Gaga, ada pangan alternatif yang lebih baik ketimbang singkong dan beras, yakni sorgum yang penanamannya membutuhkan air lebih sedikit ketimbang beras, namun memiliki kandungan protein yang tinggi.
“Proteinnya tinggi sekali, per 100 gram bisa sampai delapan gram, sangat baik untuk pertumbuhan anak. Hanya yang jadi masalah sorgum itu pengolahannya belum bisa ditanak seperti beras.”
Kembali ke rasi dan nasi, Gaga menegaskan keduanya berguna untuk menunjang pertumbuhan dan mencegah stunting pada anak, serta memperlambat peningkatan gula darah bagi pengidap diabetes, selama dikonsumsi dalam komposisi gizi yang layak. (*)
Tags : kelangkaan beras, krisis beras, indonesia berulang kali kelangkaan beras, singkong jadi solusi krisis pangan, pertanian, Artikel,