Internasional   2020/11/01 21:44 WIB

Kalah atau Menang, Trump Telah Mengubah Dunia 

Kalah atau Menang, Trump Telah Mengubah Dunia 
Presiden AS Donald Trump

INTERNASIONAL - Presiden AS Donald Trump berulang kali mengklaim AS sebagai "negara terhebat di seluruh dunia". Namun menurut survei baru-baru ini yang dilakukan Pew Research Center, citranya di luar negeri tak begitu baik. Di banyak negara Eropa, persentase publik yang berpandangan positif tentang Amerika menyentuh angka paling rendah selama hampir 20 tahun terakhir.

Seperti dirilis BBC News, di Inggris, 41% berpendapat baik tentang Trump, sementara di Prancis hanya 31%, atau angka terendah sejak 2003, dan di Jerman hanya 26%. Respons Amerika terhadap pandemi virus corona menjadi faktor utama sentimen negatif negara-negara lain terhadap AS - hanya 15% responden yang merasa AS telah menangani virus dengan baik, menurut data periode Juli hingga Agustus.

Mundur dari kesepakatan iklim

Sulit untuk menjelaskan apa yang diyakini Trump tentang perubahan iklim, namun dia menyebutnya dengan berbagai istilah, mulai dari "hoaks yang mahal", hingga "subyek serius" yang "sangat penting bagi saya". Yang jelas adalah bahwa dalam enam bulan setelah menjabat, dia mengecewakan para ilmuwan dengan mengumumkan penarikan mundur AS dari kesepakatan iklim Paris, yang berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius.

AS adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di belakang China, dan para peneliti telah memperingatkan bahwa jika Trump terpilih kembali, mungkin mustahil untuk mengendalikan pemanasan global. Trump menolak kesepakatan iklim Paris karena itu "akan membuat produsen Amerika gulung tikar dengan pembatasan peraturan yang berlebihan".

Kalimat itu menjadi seperti tema utama bagi Trump, yang telah menghapus serangkaian peraturan tentang polusi untuk memotong biaya produksi batu bara, minyak dan gas. Bagaimanapun, banyak tambang batu bara AS masih tutup, dipicu oleh kompetisi dengan gas alam yang lebih murah dan upaya pemerintah untuk menyokong energi terbarukan. Data pemerintah AS menunjukkan energi terbarukan menghasilkan lebih banyak energi ketimbang batu bara pada 2019 untuk pertama kali sejak 130 tahun lalu. Mundurnya AS dari kesepakatan iklim Prancis mulai berlaku pada 4 November, sehari setelah pemilihan presiden. Pesaingnya, Joe Biden, berjanji akan bergabung kembali dengan kesepakatan itu jika dia menang.

Penutupan perbatasan

Presiden Trump menghentikan urusan imigrasi hanya seminggu setelah pelantikannya, menutup perbatasan AS untuk pelancong dari tujuh negara mayoritas Muslim. Saat ini 13 negara tunduk pada pembatasan perjalanan yang ketat. Jumlah orang kelahiran negara asing yang tinggal di AS sekitar 3% lebih tinggi pada 2019 dibandingkan pada 2016, tahun terakhir Presiden Obama menjabat. 

Namun, persentase penduduk AS yang berasal dari Meksiko telah menurun selama pemerintahan Trump, sementara jumlah penduduk AS yang berasal dari negara lain di Amerika Latin dan Karibia meningkat. Ada juga pengetatan umum jumlah visa yang memungkinkan orang untuk menetap secara permanen di AS - terutama bagi kerabat mereka yang sudah tinggal di sana.

Jika ada lambang yang menandakan kebijakan imigrasi Trump, itu adalah "tembok besar dan indah" yang dia bersumpah akan dibangun di perbatasan dengan Meksiko. Pada 19 Oktober, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mengatakan tembok sepanjang 371 mil telah dibangun - hampir semuanya menggantikan pagar perbatasan di mana penghalang sudah ada.

Tembok perbatasan itu tidak menghalangi mereka yang putus asa untuk mencapai Amerika. Jumlah migran yang ditahan di perbatasan AS-Meksiko mencapai level tertinggi selama 12 tahun pada 2019, didorong oleh puncak kedatangan selama musim semi. Lebih dari setengahnya adalah keluarga, kebanyakan dari Guatemala, Honduras, dan El Salvador, tempat kekerasan dan kemiskinan mendorong orang untuk mencari suaka dan kehidupan baru di tempat lain.

Trump juga telah melakukan pemotongan besar-besaran pada jumlah pencari suaka yang dapat dimukimkan di Amerika. AS menerima hampir 85.000 pengungsi pada tahun fiskal 2016, namun jumlah itu turun menjadi 54.000 orang pada tahun berikutnya. Pada 2021, maksimal 15.000 orang - jumlah paling sedikit sejak program pengungsi diluncurkan pada 1980.

Kebangkitan 'berita bohong'

"Saya pikir salah satu istilah terbesar yang saya temukan adalah 'palsu'," kata Donald Trump dalam sebuah wawancara pada 2017. Meskipun Trump tidak menciptakan istilah 'berita bohong', sudah jelas bahwa dia turut mempopulerkan istilah itu. Menurut unggahan media sosial dan transkripsi audio yang dimonitor oleh Factbase, dia telah menggunakan frasa itu sebanyak 2.000 kali sejak pertama kali menuliskannya dalam unggahan di Twitter pada Desember 2016.

Telusuri Google untuk mencari "berita bohong" hari ini dan Anda akan mendapatkan lebih dari 1,1 miliar hasil dari seluruh dunia. Dipetakan dari waktu ke waktu, Anda dapat melihat bagaimana minat AS meningkat pada musim dingin 2016-2017, dan melonjak pada minggu presiden meluncurkan apa yang disebutnya "Fake News Awards", daftar berita yang dianggapnya salah.

Selama pemilu 2016, "berita bohong" berarti laporan yang tidak benar seperti tentang Paus Fransiskus yang mendukung Trump sebagai presiden. Tapi saat istilah itu meresap ke dalam penggunaan populer, makna itu bergeser dari sekedar informasi yang salah. Presiden sering menggunakan "berita bohong" untuk menyerang berita yang tidak dia setujui. Pada Februari 2017, ia melangkah lebih jauh, mencap beberapa media sebagai "musuh rakyat Amerika".

Istilah itu kemudian digunakan oleh para pemimpin di Thailand, Filipina, Arab Saudi dan Bahrain, yang menuding laporan media sebagai "berita bohong" untuk membenarkan penindasan dan persekusi terhadap aktivis oposisi dan jurnalis. Kelompok masyarakat sipil mengatakan bahwa dengan menggunakan istilah yang menentang berita kredibel, politisi pada dasarnya merongrong demokrasi, yang bergantung pada apa yang disetujui masyarakat sebagai fakta dasar.

'Perang tanpa akhir' Amerika dan kesepakatan di Timur Tengah

Dalam pidato kenegaraan pada Februari 2019, Presiden Trump berjanji untuk menarik pasukan AS dari Suriah, dengan menyatakan: "Negara-negara besar tidak berperang dalam perang tanpa akhir". Angka-angka melukiskan cerita yang lebih bernuansa. Paling tidak karena berbulan-bulan kemudian, Trump memutuskan untuk mempertahankan sekitar 500 tentara di Suriah untuk melindungi sumur minyak.

Trump telah mengurangi kehadiran pasukan AS di Afghanistan, Irak dan Suriah. Tapi pasukan Amerika masih ada di mana-mana sama seperti saat dia pertama kali menjabat. Ada cara untuk mempengaruhi Timur Tengah tanpa pasukan, tentunya. Trump menentang keberatan presiden-presiden AS sebelumnya dengan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 2018, dan mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Bulan lalu dia memuji "fajar Timur Tengah baru" ketika Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel - sebuah langkah yang ditengahi AS.

Ini mungkin pencapaian diplomatik paling signifikan dari pemerintahan Trump. Kedua negara Teluk tersebut adalah negara Arab ketiga dan keempat di Timur Tengah yang mengakui Israel sejak negara itu mendeklarasikan kemerdekaan pada 1948.

Seni perundingan dagang

Presiden Trump tampaknya mencemooh kesepakatan yang tidak dia perantarai. Pada hari pertamanya menjabat, dia membatalkan Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP), kesepakatan perdagangan antara 12 negara yang disetujui oleh Presiden Obama, setelah mencap kesepakatan itu "mengerikan". Penarikan mundur AS sebagian besar menguntungkan China, yang memandang kesepakatan itu sebagai upaya untuk mengekang pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik. Namun di AS, kritikus yang merasa perjanjian perdagangan itu akan membahayakan tenaga kerja Amerika, menyambut baik keputusan Trump.

Trump juga merundingkan kembali Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara dengan Kanada dan Meksiko, yang disebutnya "mungkin kesepakatan perdagangan terburuk yang pernah dibuat". Kesepakatan baru dari perjanjian itu tidak banyak berubah, hanya memperketat ketentuan tentang ketenagakerjaan dan pengadaan suku cadang mobil.

Fokus utama presiden adalah bagaimana Amerika mendapat manfaat dari perdagangan dunia. Hasilnya adalah perang perdagangan yang sengit dengan China, ketika dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia memberlakukan bea masuk terhadap barang-barang satu sama lain. Ini membuat petani kedelai AS, industri teknologi, dan otomotif sakit kepala. China juga terdampak, lantaran sejumlah pelaku usaha memindahkan pabrik mereka ke negara-negara seperti Vietnam dan Kamboja untuk menurunkan biaya. Pada 2019, defisit perdagangan AS dengan China sedikit lebih rendah ketimbang 2016. Perusahaan Amerika mengimpor lebih sedikit karena mereka berusaha menghindari tarif Trump.

Namun, meski pandemi virus corona sangat memengaruhi tren untuk tahun 2020, Amerika masih mengimpor lebih banyak barang daripada mengekspor.
Perselisihan dengan China Cuitan Trump yang mengacu pada perubahan kebijakan ini sedemikian dahsyat, sampai percakapan melalui telepon tersebut punya halaman Wikipedia sendiri. Pada 2 Desember 201, Trump (yang saat itu baru saja terpilih menjadi presiden) mengambil langkah yang sangat tidak biasa untuk berbicara langsung dengan presiden Taiwan - melanggar preseden yang ditetapkan pada 1979, ketika kedua negara memutus hubungan formal.

Carrie Gracie, yang saat itu menjadi editor BBC untuk China, meramalkan langkah tersebut akan memicu "kekhawatiran dan kemarahan" di Beijing, yang melihat Taiwan sebagai provinsi China, bukan negara merdeka. Aksi perdana Trump ini adalah yang pertama dalam kontestasi multi-bidang antara rival geopolitik besar, yang telah menenggelamkan hubungan keduanya ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir. AS telah membuat kesal China dengan beragam langkah. Mulai dari menyatakan klaim teritorialnya di Laut China Selatan adalah ilegal, menaikkan tarif pada barang-barangnya, melarang pengunduhan aplikasi populer TikTok dan WeChat, serta menempatkan raksasa telekomunikasi China Huawei - yang diklaim sebagai ancaman bagi keamanan nasional - ke dalam daftar hitam.

Tetapi ketegangan tidak hanya dimulai oleh pemerintahan Trump, sebagianjustru didorong oleh tindakan China sendiri. Presiden Xi Jinping, yang berkuasa sejak 2013, telah mendorong undang-undang keamanan nasional yang sangat kontroversial di Hong Kong, serta pemenjaraan massal terhadap minoritas Muslim Uighur di China. Presiden Trump telah mengganti nama Covid-19 menjadi "virus China", dan meski dia mungkin hendak mengalihkan isu dari penanganannya terhadap pandemi di AS, perubahan kepemimpinan AS tidak selalu bernada lebih damai.

Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, menyebut Presiden Xi seorang preman, dan mengklaim pemimpin China itu "tidak memiliki tulang [demokratis] di tubuhnya".
Hampir perang dengan Iran. "Iran akan bertanggung jawab penuh atas nyawa yang hilang, atau kerusakan yang terjadi, di salah satu fasilitas kami. Mereka akan membayar HARGA yang sangat BESAR! Ini bukan Peringatan, ini Ancaman," cuit Trump pada malam Tahun Baru 2019 . "Selamat Tahun Baru!"

Beberapa hari kemudian, yang mengejutkan dunia global, AS membunuh Qasem Suleimani, jendera Iran paling kuat sekaligus sosok yang mempelopori operasi militer Iran di Timur Tengah. Iran membalas dengan menembakkan lebih dari selusin rudal balistik ke dua pangkalan Amerika di Irak. Lebih dari 100 tentara AS terluka, dan analis menganggap kedua negara itu berada di ambang perang. Perang tidak terjadi, tetapi warga sipil yang tidak bersalah menjadi korban: hanya beberapa jam setelah serangan rudal Iran, militer Iran keliru menembak jatuh sebuah jet penumpang Ukraina, menewaskan 176 orang di dalamnya.

Bagaimana bisa jadi seperti ini? Serangkaian kesalahan perhitungan yang dilakukan dengan latar belakang ketidakpercayaan. AS dan Iran telah berselisih sejak 1979, ketika pemimpin yang didukung AS digulingkan, dan 52 orang Amerika disandera di dalam kedutaan AS. Pada Mei 2018, Trump meningkatkan ketegangan dengan membatalkan kesepakatan nuklir 2015, yang sempat membuat Iran setuju membatasi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Dia kemudian memberlakukan apa yang disebut Gedung Putih sebagai "sanksi paling keras yang pernah diberlakukan oleh rezim" - yang dirancang untuk memaksa para pemimpin Iran membuat kesepakatan yang lebih sesuai dengan keinginannya. Teheran menolak untuk tunduk. Sanksi itu menyebabkan ekonomi Iran mengalami resesi. Pada Oktober 2019 harga makanan melonjak 61% dibanding tahun sebelumnya dan harga tembakau melonjak 80%. Warga Iran melakukan unjuk rasa sebulan kemudian. Walau krisis virus corona telah mengalihkan perhatian politik di kedua negara, saluran diplomatik mereka tetap sedikit dan titik api yang bisa memicu konflik antara keduanya masih banyak. (*)


 

Tags : Presiden AS Donald Trump, Kalah atau Menang Trump Telah Mengubah Dunia ,