Headline Sorotan   2025/01/03 11:15 WIB

Kampanye Anti Penanaman Kelapa Sawit Terus Mencuat dan Dikhawatirkan, Pegiat Lingkungan: 'Bisa Perluas Deforestasi dan Konflik Agraria'

Kampanye Anti Penanaman Kelapa Sawit Terus Mencuat dan Dikhawatirkan, Pegiat Lingkungan: 'Bisa Perluas Deforestasi dan Konflik Agraria'

"Penambah penanaman kelapa sawit di daerah-daerah terus dikhawatirkan yang bisa memperluas deforestasi dan konflik agraria"

ernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit dikhawatirkan akan memperluas deforestasi dan konflik agraria, kata para pegiat lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga pernyataan Prabowo berkaitan dengan ambisi pemerintah menggencarkan produksi biodiesel yang telah digaungkan sejak kampanye Pilpres 2024 silam.

"Tetapi pernyataan bahwa sawit tidak terhubung langsung dengan deforestasi itu keluar dari mulut seorang presiden, itu mengejutkan," kata pengkampanye hutan dan kebun Walhi, Uli Arta Siagian.

Sebab, menurut Uli, sejumlah penelitan dan riset menyimpulkan "ada kaitan langsung dari perluasan sawit terhadap deforestasi". 

Sementara, Konsorsium Pembaruan Agraria mengeklaim "setiap perluasan atau ekspansi sawit selalu muncul konflik". 

Sementara dari sisi bisnis, serikat petani sawit menilai arah kebijakan ini justru akan membuat produk sawit Indonesia tak bisa bersaing di pasar global—khususnya Eropa—karena dianggap "tidak berkelanjutan".

BBC News Indonesia telah menghubungi Kantor Komunikasi Kepresidenan dan Kementerian Kehutanan untuk meminta konfirmasi, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.

Dalam pidatonya pada Senin (30/12), Prabowo mengatakan "tak perlu takut" dianggap melakukan deforestasi karena menanam sawit. Dia kemudian meminta pemerintah daerah dan aparat TNI-Polri untuk menjaga kebun-kebun sawit.

'Enggak usah takut deforestasi'

Saat memberikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Jakarta pada Senin (30/12), Prabowo mengeklaim "kelapa sawit jadi bahan strategis" dan "banyak negara takut tidak dapat kelapa sawit".

Dia kemudian mengatakan bahwa Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit.

Menurutnya, lahan sawit menyebabkan deforestasi adalah tuduhan yang keliru.

"Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" tutur Prabowo.

"Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu," sambungnya.

Prabowo kemudian berpesan kepada kepala daerah dan aparat TNI-Polri untuk menjaga kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia.

"Jadi jagalah para bupati, gubernur, tentara, polisi, jagalah kebun kelapa sawit kita. Itu aset negara," kata Prabowo.

Selain itu, Prabowo mengaku tidak khawatir kalau Eropa membatasi impor produk terkait kelapa sawit Indonesia.

"Saya bilang, terima kasih karena kita tidak jual ke Anda, mereka panik sendiri," ujar Prabowo.

Sejauh ini, ucapan Prabowo telah disambut oleh TNI yang menyatakan siap menjaga kebun-kebun sawit.

"Kami siap mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga keamanan aset negara demi kepentingan nasional," kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Hariyanto dikutip dari Detik.com.

Benarkah sawit tak sebabkan deforestasi?

Sejumlah pegiat lingkungan pun meluruskan pernyataan Prabowo soal sawit dan deforestasi.

Direktur Sawit Watch Achmad Surambo tak sepakat kalau kemampuan pohon sawit menyerap karbon menjadi pembenaran untuk melakukan deforestasi demi ekspansi.

Pasalnya, hutan memiliki keanekaragaman hayati yang punya kemampuan menyerap karbon lebih baik dibandingkan perkebunan monokultural seperti sawit.

Oleh karena itu, menanam sawit dengan cara membuka hutan justru memperburuk keadaan.

Sawit juga bukan tanaman hutan berdasarkan Peraturan Menteri LHK P.23/2021 dan Undang-Undang Cipta Kerja.

"Kami pernah riset bahwa ternyata sawit baru bisa menambah menyerap karbondioksida di wilayah yang kritis saja," kata Surambo.

"Banjir, bencana ekologis, kebakaran dan macam-macam itu akan sering terjadi," ujarnya.

Sebuah kajian dari koalisi masyarakat sipil menunjukkan bahwa lahan sawit sebaiknya dibatasi seluas maksimal 18,15 juta hektare demi meminimalisir dampak ekologisnya.

Surambo mengatakan jumlah lahan sawit yang ada saat ini sudah mendekati batas itu.

Kajian itu bahkan juga mengungkap bahwa sawit di Pulau Sumatra dan Kalimantan dinilai sudah melampaui batas.

Hingga 2022, luas sawit di Sumatra mencapai 10,7 juta hektare. Padahal daya dukung lingkungannya hanya 10,69 juta hektare.

Di Kalimantan, luas lahan sawit mencapai 6,68 juta hektare, sementara daya dukungnya hanya 6,61 juta hektare.

Hutan di pulau-pulau lain juga terancam. Di Sulawesi misalnya, belakangan muncul megaproyek sejuta hektare kebun sawit atau "Palm Oil Belt".

"Pemerintah harus arif ya, karena kalau daya dukung, daya tampung itu sudah dilewati, itu pasti akan berdampak negatif banyak hal," kata Surambo.

Dihubungi terpisah, Uli Arta Siagian dari Walhi menyebut ada beragam riset dan penelitian yang mengaitkan langsung ekspansi sawit dengan deforestasi.

Data yang dihimpun oleh TreeMap menunjukkan bahwa ekspansi lahan sawit telah menghilangkan puluhan ribu hingga ratusan ribu hektare hutan setiap tahunnya selama dua dekade terakhir.

Tren deforestasi sempat menurun sejak 2012, namun mulai meningkat lagi pada 2023, ketika sebanyak 30.000 hektare hutan hilang akibat ekspansi sawit.

"Ketika presiden mendorong perluasan sawit dalam skala besar di Indonesia, maka kawasan penting dan genting seperti hutan dan gambut akan terancam," kata Uli.

Dampaknya, kata Uli, luas hutan yang berfungsi menyerap emisi karbon akan berkurang. Lahan gambut yang terdampak akan rentan kebakaran dan justru menghasilkan emisi.

"Belum lagi misalnya dampak ikutannya seperti sungai yang akan tercemar, sungai yang kering, banjir longsor, dan lain sebagainya," kata Uli.

"Itu adalah cerita yang akan masif kita dengar ke depan kalau kemudian memang benar-benar ekspansi sawit ini akan terus dilakukan oleh pemerintah."

Daripada memperluas kebun sawit, Uli mengatakan pemerintah semestinya fokus membenahi tata kelola sawit yang dianggap masih carut marut. Salah satunya, dengan melanjutkan moratorium sawit.

Sejauh ini, belum jelas apakah pernyataan Prabowo itu berarti pemerintah tak akan melanjutkan moratorium sawit.

Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) tak merespons permintaan tanggapan soal pernyataan presiden tersebut.

BBC News Indonesia juga telah menghubungi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, tapi tak ada tanggapan.
Menambah lahan berpotensi menambah konflik

Pada 7 Mei 2024, tiga petani plasma di Desa Balau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah mengaku mengalami kekerasan di wilayah perkebunan plasma.

Itu bermula ketika sejumlah petani plasma mencoba mengadang pengangkutan tandan buah sawit yang dipanen oleh buruh sebuah perusahaan sawit.

Saat itulah, petani plasma mengaku ada yang didorong jatuh dari truk, ditonjok, hingga dilempar buah sawit.

Koordinator Forum Petani Plasma Buol, Fatrisia Ain, mengatakan kekerasan yang dialami oleh ketiga petani plasma itu adalah bagian dari konflik panjang yang berlarut-larut selama belasan tahun dengan perusahaan.

Para petani plasma ini telah menyerahkan lahannya ke perusahaan untuk dikelelola lewat skema kemitraan.

Saat itu, mereka diiming-imingi bahwa kemitraan itu akan menyejahterakan.

"Satu hektare lahan akan membuat mereka tidak perlu bekerja, dua hektare lahan akan membuat mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai universitas, tiga hektare akan membuat mereka punya mobil dan rumah yang layak jika diplasmakan," tutur Fatrisia mengulangi iming-iming itu.

Namun setelah belasan tahun bekerja sama, mereka mengaku tidak permah menerima bagi hasil penjualan tandan buah sawit atau sisa hasil usaha selama belasan tahun bekerja sama.

"Padahal mereka adalah pemilik lahan. Ada yang dulu lahannya sangat produktif: sawah, kebun cengkeh, kebun kelapa, durian, coklat."

"Hasil kebun mereka bahkan sebelum ada kemitraan itu bisa mencapai Rp2 juta sampai Rp7 juta dalam sebulan," kata Fatrisia.

"Sekarang mereka tidak menerima apa-apa ketika kebun mereka berubah menjadi kebun sawit," sambungnya.

Jadi sejak Januari 2024, mereka berupaya menghentikan operasional kebun plasma dengan harapan perusahaan mau bernegosiasi. Namun yang didapat, klaim Fatrisia, justru kekerasan dan intimidasi.

Hingga September lalu, sudah ada lebih dari 20 petani dan aktivis yang dipanggil polisi atas tuduhan menduduki lahan dan menghasut petani. Itu termasuk Fatrisia, yang memperjuangkan lahan milik orang tuanya.

Beragam cara mereka lakukan untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk mengadu ke DPRD dan pemerintah daerah. Namun tak ada hasilnya.

Belakangan, Fatrisia menyebut para petani tak bisa mengakses lahan mereka sendiri karena aktivitas perusahaan dijaga oleh aparat.

"Sebelumnya, walaupun kami bisa lewat leluasa, tapi kami tidak berani menyentuh walau hanya daun pohon sawit karena takut dituduh mencuri, padahal itu lahan kami," ujarnya.

Menurut Fatrisia, masyarakat "sangat trauma" dengan kemitraan yang dijalankan dengan penuh teror, intimidasi, dan kriminalisasi.

Dia menuntut pemerintah untuk membenahi masalah-masalah ini dulu sebelum memperluas lahan. Menurutnya, ekspansi lahan hanya akan memperluas masalah yang dihadapi petani kecil seperti mereka.

"Yang kami lihat justru perluasan pembangunan perkebunan sawit dengan merusak hutan dan tanah milik masyarakat", ujar Fitraini.

"Apa yang terjadi di Buol kami bisa lihat, dibanding melakukan penanaman kembali di lokasi HGU yang sudah tidak produktif, yang berusia di atas 25 tahun, mereka justru mencari izin-izin baru lagi untuk memperluas penguasaan tanah."

Realita yang dihadapi para petani plasma di Buol juga dialami oleh banyak petani lainnya di berbagai daerah di Indonesia.

Konflik serupa juga terjadi di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.

Pada Oktober 2023, warga berunjuk rasa menuntut perusahaan memenuhi janji memberikan lahan plasma sawit pada mereka setelah satu dekade tidak direalisasikan.

Aksi itu malah berujung penembakan satu orang warga yang tewas.

Salah satu warga Desa Bangkal, James Watt, mengatakan bahwa mereka masih memperjuangkan hak-hak mereka sampai saat ini.

James mengaku khawatir akan semakin terancam kalau pemerintah malah memperluas lahan sawit.

Dia mengatakan bahwa ruang hidup komunitasnya "sudah menyempit" akibat pemberian izin yang "tidak dibatasi".

"Mau bertani, berburu, mencari peralatan untuk ritual sudah susah. Seharusnya pemerintah menghentikan deforestasi," kata James.

"Yang dihadapi masyarakat sekarang saja pemerintah dan perusahaan belum bisa menyelesaikan dan memenuhi kewajibannya."

"Kalau pemerintah tetap menindas, kami mungkin tidak tunduk lagi dengan aturan daripada mati kelaparan," tuturnya.

BBC Indonesia juga pernah mempublikasikan liputan investigasi kolaboratif tentang kebun plasma pada Mei 2022 yang menggambarkan konflik serupa.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 1.131 konflik agraria di sektor perkebunan yang terjadi sepanjang 2015 hingga 2023, mayoritas terkait dengan sawit.

Konflik-konflik itu di antaranya terkait dengan hak guna usaha (HGU) yang tumpang tindih dengan area kelola masyarakat hingga dipicu kemitraan plasma sawit yang tidak direalisasikan.

"Seharusnya pemerintah menyelesaikan dulu konflik di sektor perkebunan," ujar Kepala Departemen Kampanye KPA Benni Wijaya. 

"Jangan sampai menggantung konfliknya, tapi sudah menambah masalah baru. Faktanya, setiap perluasan atau ekspansi sawit selalu muncul konflik," lanjutnya.

Menurut Benni, pernyataan Prabowo yang meminta aparat TNI-Polri menjaga kebun sawit juga akan memperburuk kekerasan dan intimidasi yang dihadapi masyarakat.

"Kalau berkaca ke pengalaman yang sudah ada, pengamanan aset di perkebunan itu sering diturunkan aparat TNI-Polri," klaim Benni.

"Kawasan HGU milik swasta pun dianggap sebagai milik negara. Ini akan memicu kasus-kasus kekerasan di perkebunan lagi," ujarnya kemudian.
Produk sawit Indonesia dikhawatirkan tak bisa bersaing

Kritik juga datang dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang khawatir arah kebijakan pemerintah justru membuat produk sawit Indonesia sulit bersaing di pasar global.

Dewan Nasional SPKS, Mansuestus Darto, mengatakan pernyataan Prabowo itu malah mendegradasi inisiatif pemerintah untuk membuat sawit Indonesia lebih kompetitif dengan pendekatan berkelanjutan.

Pendekatan yang dimaksud adalah Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang salah satunya mengatur standar anti-deforestasi.

"Pernyataan itu sama saja dengan menghendaki ISPO dibubarkan," kata Darto.

Dari perspektif pasar pun, SPKS berpendapat pernyataan Prabowo justru merugikan.

Menurutnya, pelaku sawit tengah berupaya mengejar standar anti-deforestasi atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang akan berlaku pada 2026.

Arah kebijakan Prabowo dikhawatirkan akan mengacaukan upaya itu.

Dalam pidatonya, Prabowo percaya diri bahwa negara-negara Eropa pun membutuhkan sawit Indonesia. Namun Darto mengatakan realitanya tidak sesederhana itu.

"Masih ada Malaysia dan negara lain yang siap menggantikan Indonesia."

"Sementara pengusaha sawit bersiap untuk Uni Eropa karena itu pasar potensial dan harganya lebih baik," kata Darto
Evaluasi produktivitas lahan yang ada

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Rajo Johan juga menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi dan mendorong produktivitas 16,8 juta hektare lahan sawit yang sudah ada ketimbang membuka lahan baru.

"Perlu ada kajian komprehensif apakah lahan 16,8 juta itu sudah cukup," tegasnya"

"Jangan-jangan banyak yang terlantar dan tidak dioperasikan dengan baik. Kalau kami cek, lahan PTPN saja banyak yang tidak diusahakan," ujar Benni.

KPA juga meminta pemerintah menyelesaikan konflik-konflik agraria antara masyarakat dan korporasi.

"Jalankan dulu reforma agrarianya. Ketika itu nanti sudah beres, terjadi perluasan, sudah enak."

"Masyarakat punya posisi hukum yang kuat juga. Kalau sekarang kan, pemerintah menganggap [masyarakat] tidak punya dasar hukum," kata dia.

Sementara itu, Uli Arta Siagian dari Walhi mengatakan pemerintah semestinya melakukan moratorium permanen.

Pemerintah sebelumnya sempat menerapkan moratorium sawit hingga 2021. Namun pada masa moratorium itu, ekspansi lahan sawit ternyata tetap terjadi.

"Yang paling penting adalah bagaimana melakukan moratorium permanen sawit skala besar untuk perusahaan," kata Uli.

Uli mengatakan jika pemerintah memang berorientasi mengejar pendapatan, alih-alih memperluas kebun sawit, sebaiknya pemerintah memperbaiki tata kelola perizinannya.

Ini berkaca dari catatan pemerintah soal jutaan hektar kawasan sawit dengan izin usaha perkebunan (IUP), namun tidak memiliki hak guna usaha (HGU).

Padahal, menurut Uli seharusnya dari HGU ini negara bisa mendapat pendapatan.

"Kalau memang orientasinya adalah peningkatan pemasukan negara. Kenapa enggak menindak tegas itu, melakukan penegakan hukum, memastikan bahwa entitas perusahaan yang memegang izin itu memang adalah perusahaan yang layak memegang izin," kata Uli.

Selain itu, ia mendorong pemerintah fokus pada perkebunan sawit rakyat.

"Kalau kemudian masyarakat itu bisa memiliki akses dan aset terhadap produksi pengelolaan sawit menjadi minyak dan lain sebagainya, itu membuat masyarakat kita itu enggak akan membuka sawit skala besar lagi. Karena nilainya bertambah," kata Uli. (*)

Tags : kampanye anti kelapa sawit, perluasan penanaman kelapa sawit, kebunsawit, perluasan kelapa sawit dikhawatirkan, deforestasi dan konflik agraria, ekonomi, pertanian, sawit, lingkungan, pelestarian,