Headline Sorotan   2021/05/28 18:28 WIB

Kampong Lorong Buangkok Mencoba Bertahan, Ditengah 'Gencarnya Pembangunan dan Serangan Pandemi'

Kampong Lorong Buangkok Mencoba Bertahan, Ditengah 'Gencarnya Pembangunan dan Serangan Pandemi'
Sng Mui Hong berjanji pada ayahnya bahwa dia akan melestarikan Lorong Buangkok dan tidak menjual tanahnya.

"Ketika berbelok dari jalan Yio Chu Kang yang sibuk di timur laut Singapura dan mengikuti jalan panjang yang berkelok-kelok sekitar 300 meter akan menemukan kapsul waktu"

iatas tiga hektar tanah hijau, adalah Kampong Lorong Buangkok, desa terakhir Singapura yang masih hidup hingga ditengah pandemi corona ini, di mana sisa-sisa kehidupan tahun 1960-an masih dapat dilihat. Tak ada panorama gedung pencakar langit yang tampak dimana-mana di Singapura. Alih-alih, yang ada adalah bungalow yang tampak seperti kartu pos kuno. Kampung - yang dalam bahasa Melayu berarti "desa" - adalah gambaran pedesaan di negara-kota yang identik dengan kehidupan urbannya.

Seperti dirilis BBC News Indonesia, ada sekitar 25 rumah kayu berlantai satu dengan atap seng tersebar di sekitar surau. Tanaman yang sebelumnya menutupi Singapura, sebelum pembangunan dengan beton yang masif, seperti ketapang, tumbuh dengan bebas. Di dekatnya, kabel listrik tergantung di atas kepala, pemandangan yang langka karena sebagian besar kabel listrik di Singapura kini berada di bawah tanah.

Penghuni lansia duduk di beranda mereka dan paduan suara kicau jangkrik dan ayam berkokok - suara zaman dulu - menghilangkan polusi suara kota dan memberikan musik pedesaan yang menenangkan. Pemandangan pedesaan bukanlah apa yang biasanya terlintas dalam pikiran kebanyakan orang saat memikirkan Singapura saat ini. Sebaliknya, yang diingat adalah menara Marina Bay Sands yang berbentuk perahu, gedung yang menjulang tinggi, atau Gardens by the Bay yang penuh warna dan futuristik.

Namun, hingga awal tahun 1970-an, kampung-kampung seperti Lorong Buangkok ada di mana-mana di seluruh Singapura. Peneliti dari National University of Singapore,  memperkirakan ada sebanyak 220 kampung yang tersebar di sana. Saat ini, meski hanya sedikit yang masih ada di pulau-pulau sekitarnya, Lorong Buangkok adalah desa terakhir di daratan Singapura.

Urbanisasi cepat

Sebagai negara muda dengan aspirasi internasional, Singapura mengalami urbanisasi dengan cepat pada 1980-an dan dengan cepat beralih dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri. Ruko yang penuh sesak diganti dengan flat bertingkat tinggi dan gedung pencakar langit yang luas, mengantarkan apa yang disebut "era jalan tol" dengan jalan-jalan kecil diganti dengan jalan raya multi-lajur di seluruh negara.

Dengan harga tanah premium di pulau itu, kampung-kampung pedesaan harus mengalah. Ratusan desa tradisional dibuldoser, tanaman asli dilucuti, jalur tanah diratakan dan kehidupan asli pedesaan dihancurkan sebagai bagian dari program pemukiman kembali di seluruh pemerintah. Penduduk desa - beberapa enggan menyerahkan rumah mereka yang berharga. Sementara, yang lainnya ingin menukar kehidupan pedesaan dengan toilet modern dan air yang mengalir.

Mereka digiring ke rumah susun bersubsidi yang dibangun pemerintah yang didirikan di atas rumah lama mereka. Saat ini, lebih dari 80% orang Singapura tinggal di bangunan ini. Dengan pembongkaran desa-desa, muncul pula istilah "semangat kampung" yang terkenal, yang digunakan oleh orang Singapura untuk menggambarkan budaya persahabatan, kepercayaan dan kemurahan hati yang ada di dalam diri mereka.

Kampong Lorong Buangkok, desa terakhir Singapura.

Di kampung, warga tidak perlu mengunci pintu dan warga selalu menyambut tetangga, yang sering mampir tanpa pemberitahuan untuk meminjam apa pun yang mereka butuhkan. Ini adalah cara hidup yang coba diciptakan kembali oleh pemerintah di blok-blok apartemen dengan meningkatkan jumlah ruang komunal untuk mendorong interaksi sosial. Pada 2017, Dewan Perumahan & Pengembangan Singapura bermitra dengan Universitas Teknologi dan Desain Singapura untuk mengembangkan kerangka kerja untuk membangun kampung perkotaan, dengan pendekatan teknologi tinggi, yakni sensor gerak dan ruang Wi-Fi bersama, untuk mendorong persahabatan di antara tetangga.

Lawrence Wong, menteri pembangunan nasional saat itu mengatakan salah satu tujuannya adalah untuk "memperkuat semangat kampung di apartemen bertingkat tinggi kami". Tetapi kehidupan komunal bukanlah satu-satunya hal untuk menumbuhkan semangat ini; lingkungan juga penting.

Bagaimana Lorong Buangkok bisa bertahan?

Salah satu alasan Lorong Buangkok berhasil lolos dari nasib yang menimpa kampung-kampung lain adalah karena kawasan sekitarnya tidak begitu diminati untuk pengembangan komersial, industri, dan pemukiman seperti di tempat lain di Singapura - meski perlahan hal itu berubah.

Dulunya desa ini dikelilingi oleh pembukaan hutan dan pertanian, sekarang diapit oleh perumahan dan sejumlah flat. Alasan lain menjadi jelas, warga desa yang menyewakan beberapa rumah di sana seperti seorang perempuan yang bersikeras memegang teguh komitmen untuk melestarikan satu-satunya kampung yang masih hidup di Singapura.

Sng Mui Hong (70 tahun), mengaku telah menjalani hampir seluruh hidupnya di desa. Dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara dan dia adalah satu-satunya anak yang tinggal desa itu. Almarhum ayahnya, seorang penjual obat tradisional Tiongkok, membeli tanah itu pada 1956, tahun yang sama dengan desa itu didirikan dan sembilan tahun sebelum Singapura merdeka.

Menurut pemandu lokal Kyanta Yap, yang memimpin tur melalui kampung, sebagian besar plot tanah disewakan kepada pekerja dari rumah sakit terdekat dan perkebunan karet - banyak dari mereka keturunannya masih tinggal di sana. Saat itu, sewa bulanan untuk setiap rumah berkisar antara S$ 4,50 dan S$ 30 (Rp48.500-Rp323.000). Saat ini, Sng masih menerapkan tarif yang kurang lebih sama kepada 25 keluarga Lorong Buangkok.

Sebaliknya, menyewa kamar yang ukurannya kira-kira sepersepuluh dari rumah kampung, di blok bangunan pemerintah yang berdekatan, mungkin membutuhkan biaya sekitar 20 kali lipat dari harga itu. Dan rumah-rumah di seberang kanal pemisah bisa dijual hingga beberapa juta dolar Singapura. Meskipun desa ini bisa dibilang perumahan paling terjangkau di Singapura, tidak ada penghuni baru yang pindah ke sana sejak tahun 1990-an, dan kecil kemungkinannya akan ada warga baru dalam waktu dekat.

Seperti yang dikatakan Yap, seseorang pada umumnya harus pindah atau meninggal dunia agar sebuah rumah tersedia dan hanya mereka yang memiliki koneksi ke penyewa masa lalu dan sekarang atau keluarga Sng yang bisa dipertimbangkan sebagai penghuni baru.

Digemari wisatawan

Sejak Singapura keluar dari lockdown pada Juni lalu, Yap melihat Lorong Buangkok makin populer. Tur akhir pekannya juga laris di kalangan wisatawan. Tidak mengherankan karena tidak ada yang bisa bepergian dan ini tempat wisata lokal "yang unik," katanya.

Banyak juga yang berkunjung sendiri; masyarakat umum, pengendara sepeda motor, orang yang tengah berolahraga, dan bahkan grup-grup yang dipertemukan di aplikasi Meetup. Yap mengatakan sebagian besar datang untuk berjalan-jalan dengan tenang di kampung dan mengambil foto oasis hijau langka yang terletak di salah satu negara terpadat dan paling urban di dunia itu.

Yap menambahkan bahwa komunitas 25 keluarga yang terpencil dan terjalin erat yang tinggal di kampung sekarang ini telah terbiasa dengan pejalan kaki yang penasaran. Meskipun Lorong Buangkok mungkin merupakan kapsul waktu yang menarik bagi banyak orang Singapura, namun Lorong Buangkok mewakili sesuatu yang lebih bagi Sng. Dia ingat bagaimana saat sebagai anak kecil ia melihat ayahnya menggunakan tumbuhan sebagai obat. Dari dialah Sng mengambil pengetahuan tentang pengobatan tradisional Tiongkok yang sekarang dia bagikan dengan tetangganya.

Daun dari tanaman henna, misalnya, dapat digunakan untuk meredakan luka terbuka dan luka bakar dan juga dipercaya dapat melindungi diri dari tukak saluran pencernaan. Meski demikian, Sng tahu dia duduk di properti panas. Di negara yang sangat kekurangan ruang, banyak pengembang yang berharap untuk membeli desa tersebut. Tetapi tidak ada tawaran yang cukup menarik baginya untuk menarik kembali janjinya kepada ayahnya sebelum ia meninggal dunia- yakni untuk melestarikan Lorong Buangkok.

Selama dia bisa berbuat sesuatu, tanah itu tidak untuk dijual. Pada 2014, ada usulan untuk merobohkan desa itu dan menggantinya dengan jalan raya, dua sekolah, dan taman umum. Meski pemerintah masih mempertimbangkan rencana tersebut, Menteri Pembangunan Nasional, Desmond Lee, menyatakan bahwa "tidak ada niat untuk melaksanakan pembangunan ini dalam waktu dekat". Banyak warga Singapura telah menyuarakan keberatan mereka terhadap rencana yang diusulkan tersebut.

Yang lain bahkan mendorong desa itu untuk dimasukkan sebagai situs Warisan Dunia Unesco. Namun, meskipun kampung-kampung dulunya dianggap "menyedihkan" oleh pemerintah Singapura, kini ada apresiasi baru atas desa itu. "Lorong Buangkok dapat dipertahankan sebagai bagian dari sekolah untuk kegiatan pembelajaran di luar ruangan misalnya atau diintegrasikan ke dalam taman atau taman bermain di masa depan," kata Dr Intan Mokhtar, mantan politisi dan asisten profesor kebijakan dan kepemimpinan di Institut Teknologi Singapura. "Sebagian besar [penduduk] telah tinggal di sana selama lebih dari separuh hidup mereka dan mereka memperlakukan satu sama lain sebagai keluarga."

Paling tidak, warga Singapura memegang janji pemerintah bahwa mereka akan menangani masalah ini dengan serius. "Ketika saatnya tiba bagi kami untuk menyelesaikan rencana untuk seluruh wilayah, pemerintah harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait untuk memastikan pembangunan dilakukan secara holistik dan koheren," kata Lee.

"Ini harus melibatkan keluarga kampung yang tinggal di sana pada saat itu untuk memahami dan mempertimbangkan kebutuhan dan minat mereka."

Salah satu warga kampung, Nassim, mengatakan, "untungnya pemerintah sekarang melihat pentingnya kampung kami. Kita harus meninggalkan sesuatu yang mengingatkan anak-anak kita tentang bagaimana negara ini muncul. Kita berasal dari gubuk sederhana ini".

Nassim menambahkan bahwa hal yang baik juga bahwa Sng, yang dulu jauh lebih tertutup, sekarang menyambut warga di desanya. "Ini membantu mereka memahami kami dan memahami mengapa Lorong Buangkok perlu dilestarikan."

Di Singapura, di mana tanah merupakan komoditas yang berharga, akan selalu ada ketegangan antara mempertahankan desa yang lama dan mengembangkan properti yang baru. Meskipun masa depan Lorong Buangkok masih belum pasti, melestarikannya berarti menjaga akar, budaya, dan warisan bangsa untuk generasi mendatang - sesuatu yang diperlukan bahkan untuk negara semuda Singapura. (*)

Tags : Kampong Lorong Buangkok, Kampung Terakhir di Singapura, Kampong Lorong Buangkok Mencoba Bertahan, Ditengah Gencarnya Pembangunan dan Pandemi Kampong Lorong Buangkok Bertahan,