LINGKUNGAN - Sekitar 4.000 tahun yang lalu, kapur barus terselip dalam daftar bahan untuk proses pengawetan jenazah alias mumifikasi di Mesir.
Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa sebuah daerah di Sumatera Utara punya peranan krusial dalam sejarah Mesir Kuno tersebut. Barus, namanya.
Resep yang dipraktikkan di Mesir Kuno itu terdiri dari minyak kapur barus, getah mur, minyak juniper, lilin lebah, dan campuran-campuran lain.
Sementara Kota Barus, tercantum dalam peta masyhur abad kedua dan disebut sebagai daerah penghasil kapur atau kamper yang paling bagus kualitasnya.
Aroma dan agama-agama
Tradisi menghormati jenazah dengan cara membersihkan atau membalsem—salah satunya dengan menggunakan kapur barus, boleh jadi telah mengakar dalam peradaban-peradaban kuno seperti di Babilonia dan Sumeria.
Tradisi ini dilanjutkan bangsa Persia. Mereka, misalnya, melakukan tradisi pembalseman untuk para pahlawan dan tokoh-tokoh penting.
Di balik perkebunan sawit atau karet, menembus hutan-hutan inilah pohon kapur barus masih bisa dijumpai. Jumlahnya kini tak lebih dari lima batang.
Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad dalam hadisnya meminta umatnya untuk menggunakan kapur barus pada bilasan terakhir saat memandikan jenazah.
Di dalam tradisi Hindu, kapur barus bermutu tinggi sangat penting dalam melangsungkan puja atau ritual penyembahan. Kapur barus dibakar sebagai pemuncak puja dan melambangkan kehadiran roh dewata.
Tapi dari mana kapur barus berasal? Ini adalah kristal putih yang dihasilkan pohon bernama latin Dryobalanops aromatica —biasa disebut juga sebagai pohon kapur.
Pohon ini endemik di Sumatra, Semenanjung Malaysia, dan Kalimantan. Kristal inilah yang melanglang buana dan berharga melebihi permata. Diburu para pedagang Arab, Persia, India, dan China.
Sumber-sumber China pada abad keenam masehi menyebut nama Barus sebagai penghasil kapur atau kamper paling joss.
Dari tepian samudra menguar melanglang buana
Barus kini adalah sebuah kota kecamatan sederhana di Sumatra Utara. Tapi pada masanya, kota di tepian Samudra Hindia ini pernah mekar sebagai kota kosmopolitan.
Ilmuwan Romawi, Ptolemi, bahkan merasa perlu menggoreskan nama ini pada petanya yang terkenal, Geographia, yang dibuat pada abad kedua masehi.
Sebuah kitab dari abad kedua belas karangan Abu Salih Alarmani juga menyebut di Fansur, sebutan Barus dalam tradisi penulisan Arab, terdapat beberapa gereja Kristen Nestorian pada abad ketujuh masehi.
Dia menyebut tempat ini juga sebagai tempat dari mana kapur atau kamper berasal.
Temuan-temuan arkeologi di situs Lobu Tua juga mengkonfirmasi kawasan ini telah dihuni aneka bangsa sejak abad kesembilan.
Pada abad kesebelas, Barus juga jadi salah satu basis persekutuan dagang bangsa Tamil yang dibuktikan dengan penemuan prasasti Lobu Tua.
“Inilah Lobu Tua. [Dulu] ini kota nomor satu. Orang asing di sinilah perkumpulannya. Pelabuhan kota tertua di zaman dulu,” kata Boru Manullang, seorang warga Barus.
Beberapa lubang penggalian arkeologis di Lobu Tua berada tak jauh dari belakang rumah tinggalnya.
Mencari 'kapur barus terakhir'
Pohon kapur barus kini agak susah untuk ditemukan di Kota Barus. Untuk menemuinya kita harus melipir ke pinggiran kota.
Menyelinap ke kebun-kebun warga, menembus perkebunan karet atau sawit yang menyisakan genangan di kanal-kanalnya.
Ditemani Siska, penjual buah di kedai sederhana, keluar masuk hutan mencari pohon-pohon kapur yang tersisa.
Beberapa pohon kapur barus ditemui setelah menghabiskan hampir setengah hari, bertanya kepada siapa pun yang tampaknya tahu: pemilik warung, warga, petani, bahkan pejabat kecamatan.
“Ini pohon kapur,” kata Siska sembari menepuk-nepuk batang berusia sekira lima puluh tahun itu—menurut perkiraannya.
“Tingginya mungkin sekitar lima puluh meter,” katanya lagi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Ada tiga batang pohon yang tampaknya berusia sama.
Mereka berdiri tinggi di antara perkebunan karet yang disadap warga.
Seorang warga, yang tak bersedia disebut namanya, pemilik tempat makan yang ditemui setelahnya, menyebut pohon tersebut ada di kebun milik warga.
Jadi bebas saja jika pemiliknya mau menebang dan menjual kayunya, karena tak ada aturan apa pun yang melindungi keberadaannya.
Kata dia, beberapa pasak di rumahnya juga menggunakan kayu ini.
Satu pokok pohon, katanya, menghasilkan kira-kira tiga kubik kayu dan pada 2012 harganya mencapai Rp3,5 juta.
Berhari-hari pohon kapur yang segar ini akan menghasilkan cairan yang jernih dan wangi betul. Dari satu pohon, menurut dia lagi, cairan itu bisa ditampung oleh dua hingga tiga jerigen.
Warisan masa lalu di dalam botol plastik
Cairan dan getah yang berasal dari pohon inilah yang hingga sekarang masih dimanfaatkan warga.
Harganya tak begitu menggiurkan dibanding batang kayu yang dihasilkannya.
Dikemas dalam botol-botol plastik dan diecer dengan harga antara Rp50-60 ribu sebotol kecil.
Ajril Sambaton, penjaga Makam Mahligai yang bersejarah di Barus, menyimpan beberapa botol plastik yang tersedia untuk dibeli.
Makam Mahligai dan ratusan makam lainnya di kawasan perbukitan tak jauh dari Kota Barus sekarang dihubungkan dengan keberadaan empat puluh empat wali—begitu masyarakat lokal menyebutnya. Mereka dipercaya membawa Islam sejak abad ketujuh, meski ahli menyebut makam-makam ini berasal antara abad keempat belas hingga sebelum abad kesembilan belas.
“Di zaman nenek-nenek kita dulu atau opung-opung kita dulu. Opung-opung kita itu kan pergi dulu ke hutan. Bercocok tanam, mengambil kayu, macam-macam lah. Ini [minyak kapur barus] terus dibawa. Mana tahu dipatok ular. Ini saja dioleskan,” katanya sembari menerangkan aneka khasiat minyak kapur barus.
Di kompleks pemakaman ini juga terdapat beberapa batang pohon kapur barus. Tingginya tak lebih dari tiga meter dengan batang-batang yang kurus dan dedaunan yang jarang-jarang.
Di kompleks ini hampir seratusan batang bibit pohon kapur barus ditanam pada 2017, bertepatan dengan kehadiran presiden Joko Widodo.
“Tapi sekarang sisa empat batang saja,” kata Ajril.
Botol-botol minyak barus itu kemasannya sederhana. Cara pengolahannya mungkin tak rumit juga. Pasarnya, mungkin di situ-situ saja. Terpencil.
Persis seperti pohon kapur yang semakin menghilang, dan suara Kota Barus yang semakin lirih ditelan alun Samudra Hindia. (*)
Tags : Kapur Barus, Pengawetan Jenazah, Kapur Barus Mulai Punah, Lingkungan,