Hukrim   2024/08/19 11:55 WIB

Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Sulit Diproses Hukum, 'Hanya Bisa Berujung Penghakiman di Media Sosial'

Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Sulit Diproses Hukum, 'Hanya Bisa Berujung Penghakiman di Media Sosial'
Ilustrasi. Foto perempuan dengan tagar #MeToo di telapak tangannya

JAKARTA - Sejumlah pihak teradu kasus dugaan kekerasan seksual [KS] mendorong kasus mereka dibuktikan kebenarannya “melalui proses hukum”.

Penegakan hukum di Indonesia “masih tidak ramah pada korban” dan kasus dugaan KS punya kompleksitas tersendiri, menurut pegiat perlindungan anak dan perempuan.

Pada awal Agustus lalu, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan [SP3] terhadap advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogjakarta, Meila Nurul Fajriah.

Meila, seorang advokat yang mendampingi korban kasus dugaan KS di Universitas Islam Indonesia [UII] Yogyakarta, sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “kriminalisasi” dan mendesak kepolisian menghentikan perkara tersebut.

Pihak pengacara sosok berinisial IM, pelapor Meila sekaligus orang yang dituduh melakukan dugaan pelecehan seksual, membantah tuduhan kriminalisasi.

Abdul Hamid, selaku pengacara IM, mendesak advokat dari LBH Yogyakarta mengajukan gugatan prapradilan.

Dengan begitu perkara ini menjadi terang, termasuk dugaan pelecehan seksual yang diarahkan kepada kliennya, kata pengacara IM, Abdul Hamid.

"Jika ada korbannya, silakan diproses hukum," sebutnya seperti dirilis BBC News Indonesia.

Dalam kasus terpisah, SM – orang yang diadukan ke salah satu universitas karena laporan “kasus dugaan kekerasan seksual“ – mengeklaim dirinya sebagai “korban penghakiman di media sosial”.

Akibatnya, ia mengeklaim kehilangan pekerjaan sehingga memilih menempuh proses hukum agar kasusnya bisa dibuktikan kebenarannya.

Di sisi lain, pegiat perlindungan perempuan dan anak, berpendapat tidak mudah bagi korban dugaan KS membawa kasusnya ke proses hukum sebab penegakan hukum di Indonesia masih tidak ramah terhadap korban dan perkara dugaan KS memiliki kompleksitasnya sendiri.

Kehebohan di media sosial tentang kasus dugaan KS, menurut pengamat media sosial, menandakan sistem hukum untuk korban dugaan KS masih belum optimal.

Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Indonesia, Siti Mazumah, mengatakan tidak mudah bagi korban dugaan KS untuk memproses kasusnya hingga ke pengadilan.

“Karena proses hukum itu sangat menyakitkan buat korban, dan bisa berkali-kali menyakitinya,” katanya.

  •  Beban pembuktian

Menurut Zumah – sapaan Siti Mazumah – tak jarang ia menemukan korban dugaan KS diminta untuk melakukan pembuktian sendiri oleh aparat penegak hukum.

Padahal, kata dia, aparat penegak hukum dapat melakukan penyelidikan tanpa membebani korban.

“Dia (aparat penegak hukum) bisa melakukan penyelidikan dan laporan berdasarkan temuan di masyaraka. Kenapa tidak berdasarkan itu dan melakukan penyelidikan?” tanyanya.

  • Stigma

Dalam proses pemeriksaan, terkadang korban dugaan KS disudutkan dan dipersalahkan. “Itu enggak mudah,” kata Zumah.

Selain itu, selama proses hukum berjalan, menurut Zumah, korban dugaan KS belum tentu mendapatkan hak-haknya berupa pemulihan, perlindungan, hingga restitusi.

“Kalkulasi-kalkulasi ini sangat realistis kemudian dilakukan oleh korban… Sementara stigma masyarakat itu masih sangat tinggi ketika menjadi korban kekerasan seksual, identitas menjadi terkuak, terus belum lagi soal proses hukum yang mahal biaya, dengan waktu yang sangat lama, yang belum menjamin keadilan,” jelasnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad ikut mengurai stigma korban dugaan KS ketika identitasnya terkuak secara tak sengaja saat mengikuti proses hukum.

“Jadi sebagian masyarakat kita itu masih punya pandangan bahwa jika ada perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dituduh perempuannya yang misalkan sebagai perempuan binal, perempuan nakal, dan lain sebagainya,” katanya seperti dirilis media.

Hal ini, sambungnya, “berpengaruh juga terhadap keberanian korban” untuk melapor ke polisi.

  • Dukungan lingkungan

Selain itu, tidak semua lingkungan mendukung korban dugaan KS, kata Fuad.

“Dan sedihnya lagi juga kasus-kasus korban kekerasan seksual itu tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang dekatnya. Dari keluarga, dari teman, saudara, itu sangat sedikit. Bahkan mereka cenderung untuk mendorong korban untuk tidak mengadukan karena itu dianggap sebagai aib misalkan begitu,” tambahnya.

  • Ancaman

Ini terkait dengan relasi kuasa, menurut Fuad. Pelaku, kata Fuad, biasanya memiliki jabatan atau posisi lebih tinggi dari korbannya. Hal ini membuat korban “tidak berani” membawa kasusnya ke ranah hukum atau pidana.

“Kalau itu pelakunya dosen misalkan diancam untuk tidak diluluskan. Kalau pelakunya itu adalah kepalanya di perusahaan maka dia bisa dimutasi atau diberhentikan,” paparnya.

"Kalau pelakunya adalah keluarga atau orang kuat di sebuah komunitas maka keluarga lain yang diancam dan sebagainya," sambungnya.

Tapi, Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS] sejauh ini sudah memberikan tempat lebih baik bagi korban KS saat berhadapan dengan hukum, kata Fuad.

“Pengakuan atau kesaksian korban sebagai dia mengalami kekerasan seksual itu sudah cukup menjadi satu alat bukti ditambah dengan bukti-bukti lain,” katanya.

Zumah menambahkan, bukti kekerasan seksual Visum et Repertum [fisik] juga sekarang bisa digantikan dengan Visum et Repertum Psikiatrikum [kejiwaan].

“Yang itu dari psikologi, [mengukur] tingkat trauma korban, dan dampak lain yang dialami oleh korban kekerasan seksual,” katanya.

“Sistem hukum kita yang terlalu patriarki dan menyalahkan korban, itu adalah salah satu penyebab kenapa korban enggak mau speak up,” ujar Zumah.

Mengadu ke media sosial

Dalam sejumlah kasus dugaan kekerasan seksual, jika saluran pengaduan hukum tersumbat, tak jarang saksi atau korban mengambil langkah bercerita di media sosial.

Sejumlah kasus dugaan KS yang pernah ramai menjadi perbincangan di media sosial adalah penggunaan tagar #metoo, dan juga #percumalaporpolisi.

Bagaimanapun, Komnas Perempuan berharap media sosial tidak dijadikan ruang melaporkan atau menceritakan kasus dugaan KS.

“Komnas Perempuan tidak merekomendasikan korban curhat di media sosial. Atau temannya itu kemudian melaporkan di media sosial. Karena itu ada unsur merisikokan terhadap korban maupun saksi,” kata Bahrul Fuad.

Idealnya, pengaduan itu dilaporkan ke kanal lembaga-lembaga resmi, seperti Komnas Perempuan, LBH Apik atau perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK].

“Tapi memang itu melalui proses… Memang dari beberapa bantuan Komnas Perempuan itu melihat bahwa seringkali korban mengalami kriminalisasi.”

“Baik korban maupun pembela korban, pendamping korban itu mengalami kriminalisasi yang dilakukan oleh pelaku. Karena karena menyebarkan informasi melalui media sosial dan didakwa dengan Undang Undang ITE,” kata Fuad.

Berikut sejumlah kanal resmi untuk laporan KS:

Komnas Perempuan:

Email: pdp@komnasperempuan.go.id atau laporan bisa disampaikan via via WhatsApp · Ketikkan 08111129129 di menu dial Anda

LBH Apik:

Hubungi hotline: 0813888226699 (WA) dan/atau email pengaduan LBHAPIK@gmail.com

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak:

Layanan SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129

LPSK:

Hotline 1500-148, email lpsk_ri@lpsk.go.id https://linktr.ee/infolpsk

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI):

Pengaduan: (+62) 021 31901556. Fax: (+62) 021 3900833. Email: info@kpai.go.id humas@kpai.go.id pengaduan@kpai.go.id
Pihak teradu mengeklaim jadi ‘korban cancel culture’

SM adalah mantan dosen yang mengeklaim diberhentikan sementara pihak kampus setelah diadukan ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual [Satgas PPKS] kampus.

SM mengaku dirinya sebagai korban cancel culture (budaya pembatalan) dalam kasus dugaan KS.

Dia mengeklaim telah kehilangan pekerjaan sebagai dosen, penulis buku, pembicara kegiatan hingga pertemanan karena tuduhan kekerasan seksual.

“Nama saya di Google jadi buruk, saya cari kerja susah banget, karena orang otomatis memeriksa di Google. Dan, nama saya sudah otomatis jelek di Google.”

Dia meyakini bahwa proses hukum yang adil dan transparan adalah cara terbaik untuk membuktikan tuduhan yang telah dilayangkan padanya.

“Pembuktian hukum itu masih lebih baik dalam kondisi ini, ketimbang menyerahkan pada penghakiman massa,” kata SM yang mengimbau kepada semua pihak yang merasa dirugikan oleh perilakunya untuk menyelesaikan kasusnya lewat proses hukum.

Dalam kasus ini, SM mengeklaim tidak mengetahui persis tentang tuduhan yang dialamatkan padanya.

“Saya adalah korban dari cancel culture atas sesuatu tuduhan yang belum terbukti. Mungkin orang bisa di-cancel karena dia terbukti narapidana, terbukti korupsi, itu bisa. Kalau saya belum terbukti.”

Kuasa hukum SM, Harjo Winoto, ikut menimpali bahwa kliennya “Bukan hanya dituduh melakukan kekerasan seksual, tapi sanksinya sudah diterapkan, yaitu pemberhentian.”

Klien tersebut “sudah diberhentikan berdasarkan desas-desus,” katanya.

Harjo berpendapat, proses pengadilan saat ini sudah bergeser dari “trial by court” [pengadilan oleh pengadilan] menjadi “trial by mob” [pengadilan oleh massa].

“Pengadilan oleh pendapat paling banyak di sosial media,” kata Harjo.

Meskipun diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “budaya pembatalan”, makna cancel culture lebih dalam dari itu.

Budaya pembatalan adalah sebuah konsep yang masih diperdebatkan sampai kini.

Menurut Babak Zafari dari Universitas Georgetown di Amerika Serikat, istilah “pembatalan” telah teridentifikasi di media sosial sejak 2010 dengan lirik musik yang mengacu pada “pembatalan orang”.

“Pada tahun 2014, acara terkenal VH1, Love & Hip Hop New York, membuat para pemerannya ‘membatalkan’ satu sama lain, yang mengarah ke momen #cancelling di X (secara resmi Twitter -karena data ini dikumpulkan saat X masih bernama Twitter, kami akan melanjutkan dengan bahasa sehari-hari Twitter/tweet),” kata Babak dalam studi yang dirilis Researchgate pada 2024.

Namun, menurut data Google Trends, hanya ada sedikit pencarian untuk budaya membatalkan hingga akhir tahun 2018.

Berdasarkan riset Babak, sejumlah praktisi berpendapat bahwa budaya pembatalan benar-benar tersulut dengan dimulainya gerakan #MeToo, yang memberikan suara kepada jutaan perempuan saat mereka mengungkap kasus kekerasan seksual yang mereka alami dan menuduh para pelaku pelecehan.

“Dengan demikian, pembatalan merupakan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk menyuarakan komentar dan perilaku rasis dan fanatik, dan hal ini memungkinkan masyarakat umum untuk menuntut lebih banyak pertanggungjawaban dan standar yang lebih tinggi terhadap tokoh-tokoh publik, pejabat terpilih, dan merek,” kata Babak.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan PEW Research Center terhadap 10.093 orang dewasa di AS menunjukkan, 44% orang Amerika mengatakan bahwa mereka telah mendengar setidaknya cukup banyak tentang frasa “cancel culture” tersebut.

Namun, sebagian besar yaitu 56% mengatakan bahwa mereka tidak mendengar apa pun atau tidak terlalu banyak tahu tentang budaya pembatalan.

Dari mereka yang pernah mendengar, hampir setengahnya mengatakan, bahwa istilah cancel culture menggambarkan tindakan yang dilakukan orang untuk meminta pertanggungjawaban orang lain.

Sebagian lainnya mengatakan ini sebagai strategi menghukum orang lain secara tidak adil, dan beberapa pendapat lain mengungkapkan bahwa cancel culture bahkan tidak ada.

“Respons yang paling umum sejauh ini berpusat pada akuntabilitas,” lapor studi ini.

Pengamat media sosial, Enda Nasution, melihat konteks cancel culture di Indonesia “mungkin versi mini”. Sebab, cancel culture yang berlangsung di media sosial Indonesia jarang menyasar tokoh publik yang memiliki pengaruh besar dan tak bisa kena sanksi hukum.

“Jadi saya sih ngerasa sebenarnya dalam konteks Indonesia, walaupun mungkin ada ya, tapi enggak seheboh atau enggak sebesar yang terjadi di Amerika,” kata Enda.

Dalam sejumlah kasus di Indonesia, gelombang cancel culture juga terbukti keliru dalam menuduh seseorang. Misalnya, kasus seorang penjaga keamanan di sebuah mal di Jakarta yang dipecat dari pekerjaannya, karena dituduh melakukan kekerasan terhadap anjing penjaga.

Dalam kasus yang bergulir, ia justru sedang menyelamatkan seekor anak kucing yang hendak diserang oleh anjing penjaga.

Dalam konteks tuduhan kekerasan seksual yang beredar di media sosial, Enda mengatakan warganet perlu hati-hati meresponsnya.

Kecuali, pihak pengembus sudah terbukti berkali-kali diabaikan laporannya oleh aparat penegak hukum sebagaimana #percumalaporpolisi yang sempat viral. Atau, terdapat bukti keras lain yang tak terbantahkan.

“Misalnya sebagai contoh ada kalau soal kata-kata kasar, kalau ada videonya ya sudah, jelas-jelas memang dia mengucapkan itu,” tambah Enda.

Dalam tuduhan yang masih belum jelas, tambah Enda, warganet bisa bijak dengan menyarankan pengembus melaporkannya ke kanal-kanal resmi layanan aduan KS.

“Karena ini melibatkan pribadi-pribadi yang mana kita tahu sendiri sosial media itu distorsinya besar. Bukan berarti pasti salah, bukan berarti pasti benar, tapi kita harus berhati-hati saja menyikapi informasi yang muncul di media sosial soal itu,” tambah Enda.

Menurut pegiat perlindungan perempuan dan anak, Siti Mazumah, gelombang pendapat di media sosial tentang tuduhan KS harus disikapi dengan bijak.

Media sosial, kata dia, seperti pisau bermata dua.

Di satu sisi, media sosial bisa membuat orang terkenal dengan cepat, dan sebaliknya.

“Ketika dalam situasi sekarang, ada yang speak up, ya itu harus diterima sebagai dua mata sisi,” katanya.

Masalahnya menjadi kompleks ketika terduga pelaku menindaklanjuti ke ranah pidana, kata Zumah.

Padahal hal ini bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik, termasuk dengan melakukan banding ke Kemendikbud-Ristek dalam konteks KS di dalam kampus.

“Dia bisa melakukan banding, karena dari banding itulah kemudian investigasi ulang dilakukan dan hasilnya juga ada dua: terbukti bersalah atau tidak bersalah.

“Kalau terbukti bersalah berarti yang memperkuat Keputusan Satgas PPKS Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual [Satgas PPKS], kalau tidak terbukti bersalah ya artinya Satgas PPKS harus melakukan pembersihan buat nama baiknya si terlapor,” kata Zumah. (*)

Tags : Media sosial, Kekerasan seksual, Hukum, Indonesia, Viral, Perempuan,