JAKARTA - Kasus dugaan korupsi dalam distribusi beras bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos) disebut merugikan negara sampai Rp127,5 miliar. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, tiga di antaranya telah ditahan pada Rabu (24/08).
Mengapa program bantuan kemanusiaan disebut 'area rawan korupsi'?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap para tersangka membuat “satu konsorsium sebagai formalitas” yang ternyata “tidak pernah sama sekali” melakukan kegiatan distribusi bansos yang diberikan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 itu.
“Ada perusahaan yang seolah-olah menjadi perusahaan pendamping, konsultan, ternyata tidak memberikan nilai tambah, tidak melakukan suatu kegiatan yang mendukung proses bantuan sosial beras tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Rabu (23/08).
Ini bukan dugaan kasus korupsi bansos pertama yang melibatkan program Kemensos. Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara dinyatakan bersalah dalam korupsi bansos.
Pengamat mengatakan program bansos menjadi "area rawan korupsi" karena dilakukan pada situasi-situasi darurat sehingga ada kelonggaran dalam pelaksanannya.
Apa kasus korupsi bansos terbaru?
Penyidik KPK telah menahan tersangka IW, RC, dan RR, yang berasal dari PT PTP, selama 20 hari di rutan KPK.
Ketiganya dikatakan sebagai pihak yang mencetuskan ide untuk membuat satu konsorsium palsu lewat PT PTP dalam distribusi bansos beras.
Tiga tersangka lainnya, MKW, BS, dan AC, akan “dipanggil nanti”, kata Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pada 2020 lalu, pemerintah, melalui Kemensos, membagikan bansos berupa beras untuk keluarga penerima manfaat, program keluarga harapan.
Pembagian bansos dilakukan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19.
Dalam pelaksanaannya, KPK mengatakan mendapat laporan atau pengaduan dari masyarakat tentang dugaan korupsi penyaluran bansos dan terungkaplah dugaan korupsi yang dilakukan keenam tersangka.
Bagaimana modusnya?
Pada 2020 lalu, Kemensos mengirim surat kepada PT Bhanda Ghara Reksa (BGR), selaku BUMN yang bergerak yang bergerak dan berkecimpung di bidang jasa logistik, untuk penyusunan anggaran kegiaran penyaluran bansos beras di Kemensos.
Budi Santoso (BS) — direktur komersial PT BGR periode 2018-2021 — menyanggupi permintaan Kemnsos yang ingin mendistribusikan bansos ke 19 provinsi di Indonesia.
BS lalu meminta April Churniawan (AC) untuk mencari rekanan sebagai konsultan pendamping. AC merupakan vice president operasional PT BGR periode 2018-2021.
Mendengar adanya informasi untuk kebutuhan rekanan tersebut, Ivo Wongkaren (IW) — direktur utama PT Mitra Energi Persada (MEP) — dan Roni Ramdani (RR) — memasukkan penawaran harga menggunakan PT Danamon Indonesia Berkah (PT DIB).
Penawaran itu disetujui oleh BS, yang berlanjut pada kesepakatan harga dan lingkup pekerjaan pendampingan distribusi beras bantuan sosial beras.
Kemudian, Kemensos menunjuk PT BGR sebagai distributor bantuan sosial beras dan berlanjut dengan penandatanganan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penyaluran bansos beras dengan nilai kontrak sebesar Rp326 miliar rupiah.
Dari pihak PT BGR, penandatangan perjanjian diwakili oleh Muhammad Kuncoro Wibowo (MKW), selaku direktur utama periode 2018-2021.
Kemudian AC, atas sepengetahuan MKW dan BS, secara sepihak menunjuk PT Primalayan Teknologi Persada (PT PTP) milik Richard Cahyanto (RC) untuk menggantikan PT DIB, tanpa didahului dengan proses seleksi.
PT PTP pun belum memiliki dokumen legalitas jelas terkait pendirian perusahaannya.
“Pengaturan atau penggantian PT DIB ke PT PTP ini diketahui oleh MKW, BS, AC, IW, RR, dan RC. Selain itu, IW dan RR juga ditunjuk menjadi penasihat PT PTP agar dapat meyakinkan PT BGR mengenai kemampuan dari PT PTP,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Rabu (23/08).
Dia menambahkan, dalam penyusunan kontrak antara PT BGR dengan PT PTP juga “tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas” dan sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh MKW.
Tidak hanya itu, tanggal kontrak juga diubah, dengan kesepakatan dibuat mundur atau backdate.
“Atas ide IW, RR, dan RC, PT PTP membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan distribusi bantuan sosial beras pada periode September sampai dengan Desember tahun 2020,” lanjut Alex.
Meski demikian, RR tetap menagih pembayaran uang muka dan uang termin jasa pekerjaan konsultan ke PT BGR dan telah dibayarkan sekitar Rp151 miliar. Uang itu dikirimkan ke rekening bank atas nama PT PTP.
Alex menjelaskan, pada periode Oktober 2020 sampai Januari 2021, KPK menemukan penarikan uang sebesar Rp125 miliar dari rekening PT PTP, yang penggunaanya “tidak terkait sama sekali” dengan distribusi bantuan sosial beras.
“Kami menduga penggunaan perusahaan-perusahaan konsultan atau perusahaan-perusahaan pendamping menjadi salah satu modus untuk mengeluarkan uang yang seharusnya memang tidak perlu dikeluarkan karena tidak ada prestasi sama sekali,” tegasnya.
Apakah ada kaitan dengan kasus korupsi bansos sebelumnya?
Sebelum kasus dugaan korupsi bansos beras Kemensos ini terungkap, eks Menteri Sosial Juliari Batubara dinyatakan terbukti bersalah dalam korupsi bansos Covid-19.
Pada saat itu, Juliari diduga menyepakati adanya fee dari setiap paket bansos. Dia divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Alexander Marwata mengatakan kasus bansos beras, “sejauh ini belum ada bukti menyangkut keterlibatan dari mensos [menteri sosial] sebelumnya”, Juliari Batubara.
Mengapa program bansos 'rawan korupsi'?
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan program bansos merupakan "area yang rawan korupsi" karena dilaksanakan saat situasi darurat, baik ketika terjadi bencana alam maupun bencana non alam.
Zaenur menjelaskan dalam situasi darurat biasanya berlaku ketentuan-ketentuan yang sifatnya “khusus”.
Dalam penanganan Covid-19 yang lalu misalnya, dia mengatakan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam perintah presiden (perpres) pengadaan barang dan jasa “tidak berlaku sepenuhnya”.
Yang saat itu diberlakukan adalah ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam kondisi darurat sesuai dengan peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), “yang di dalamnya terdapat kemudahan-kemudahan syarat” agar bantuan bisa segera diberikan.
Zaenur menyebut situasi inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu karena pengawasannya pun lemah.
“Kenapa pengawasan lemah? Karena dalam situasi darurat yang lebih diutamakan adalah kecepatan untuk pemberian bantuan sosial agar penerima manfaat bisa segera memperoleh bantuan sosial tanpa harus melalui satu proses yang panjang,” jelas dia.
Akibatnya, risiko korupsi dalam program bansos “jauh lebih tinggi” dibanding bentuk-bentuk program pemerintah lainnya.
Modus-modusnya pun, tambah Zaenur, lengkap dari hulu sampai ke hilir, dari pengadaan barang, penyaluran, hingga pertanggungjawaban.
“Pengawasannya yang hampir tidak ada dimanfaatkan oleh para pelaku yang mereka biasanya adalah pelaksana pengadaan barang dan jasa, juga biasanya tidak lepas dari peran-peran penyelenggara negara, yaitu para pejabat pemerintah yang mengharapkan adanya kick back,” tandasnya.
Apa yang harus dibenahi pemerintah?
Ketika bansos disalurkan dalam kondisi darurat dengan aturan-aturan yang longgar, dengan pengawasan yang juga tidak kalah longgarnya, Zaenur mengatakan kemungkinan terjadinya tindak pidana “jauh lebih besar”
Untuk mencegah itu, dia menyarankan masing-masing kementerian melakukan pengawasan secara internal, melalui inspektorat jenderal, dan secara eksternal, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK), dan aparat penegak hukum.
Selain pengawasan, transparansi dari hulu ke hilir juga dinilai penting. Menurut Zaenur, pelaksanaan program bansos masih “jauh” dari prinsip-prinsip transparansi sehingga beberapa pihak melakukan tindakannya dengan “leluasa”.
Pemerintah juga didorong untuk melakukan perbaruan data penerima bansos secara rutin agar tidak ada pihak-pihak yang bisa memanipulasi data.
Seperti apa peran KPK dalam mengawal bansos?
Kasus dugaan korupsi bansos beras membuktikan program pemberian bantuan pemerintah menjadi ladang bagi pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan buat diri atau kelompok mereka sendiri.
KPK mengatakan telah melakukan “pengawalan” terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana non alam, bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai dengan “tugas” yang dimandatkan oleh presiden.
“Pendampingan-pendampingan yang kami lakukan itu berkaitan dengan, misalnya, menyangkut prosedur di titik-titik mana masih rawan terjadi korupsi. Terkait dengan kewajaran harga, itu menjadi kewenangan atau tugas BPKP,” kata Alex.
Hingga saat ini, bansos beras untuk keluarga penerima manfaat program keluarga harapan masih berlangsung.
Namun, KPK “belum tahu” apakah Kemensos masih bekerja sama dengan PT BGR atau tidak.
KPK menegaskan kasus yang ditangani saat ini hanya menyangkut distribusi bansos beras untuk penanggulangan Covid-19, bukan semua jenis bansos.
“Kalau kerja sama distribusi itu sampai sekarang juga masih berlangsung, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa itu nanti akan dilihat sejauh mana kerja sama Kemensos dengan PT BGR tersebut dalam rangka untuk distribusi bantuan,” ujar Alex. (*)
Tags : kasus dugaan korupsi bansos, bansos beras dari kemensos, korupsi banss beras,