PEKANBARU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sedang mendalami lebih jauh perihal kucuran dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) yang diduga mengalir ke semua anggota Komisi XI DPR RI.
"Pengakuan anggota Komisi XI DPR, Satori, mengeklaim seluruh anggota komisi tersebut ikut menerima dana program CSR tersebut."
”Saya minta KPK untuk segera memproses surat pencekalan terhadap 44 orang anggota komisi XI periode 2019 – 2024 itu, ” kata Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Tingkat I, Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau ini.
Gabungan Relawan Prabowo Gibran (GARAPAN) itu juga menjelaskan dana CSR BI itu untuk program di daerah pemilihannya (dapil) anggota dewan, tetapi sebaliknya para anggota legislatif itu menegaskan "tak ada praktik suap".
Selain Satori, KPK telah memeriksa anggota DPR dari Partai Gerindra, Heri Gunawan, terkait kasus dugaan korupsi dana CSR BI.
Praktik ini dinilai merupakan indikasi timbal balik demi memuluskan agenda masing-masing pihak, yakni BI sebagai regulator dengan DPR RI selaku pengawas dan pembuat regulasi.
"Ini kickback yang dilakukan secara tidak langsung melalui yayasan-yayasan atau lembaga sosial," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini.
Pada September 2024, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan lembaganya tengah mendalami dugaan dana CSR di Bank indonesia—yang juga disebut sebagai Program Sosial BI (PSBI).
Saat itu Asep mengatakan pangkal permasalahannya adalah dana CSR yang tidak sesuai dengan peruntukan.
"Yang menjadi masalah adalah ketika dana CSR itu tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya. Artinya, ada beberapa, misalkan CSR-nya ada 100, yang digunakan hanya 50, dan 50 sisanya tidak digunakan," kata Asep Guntur Rahayu.
Ia menyebut dana tersisa tersebut dinikmati oleh sejumlah pihak. Tiga bulan kemudian KPK menggeledah kantor BI.
Kantor Gubernur BI, Perry Warjiyo termasuk yang digeledah KPK. Dalam penggeledahan, KPK menyita sejumlah dokumen.
"KPK kemudian berjanji mengusut tuntas kasus ini."
"Tentunya kami akan ungkap semua fakta-fakta, bagaimana keputusannya, siapa yang mengambil keputusan, perencanaannya CSR ini bagaimana, siapa-siapa yang menerima," kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan (17/12) kemarin.
KPK juga melakukan penggeledahan kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kaitannya kasus dana CSR Bank Indonesia.
Selang beberapa hari setelah penggeledahan, KPK mengatakan menjadwalkan pemanggilan dua pejabat BI.
Mereka adalah Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono, Kepala Divisi Program Strategis BI Data dan Komunikasi Hery Indratno.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan menghormati upaya pengusutan KPK dalam konferensi pers, di Jakarta.
Dia mengatakan setiap tahunnya Dewan Gubernur membuat alokasi CSR berdasarkan tiga pilar.
Ketiganya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti lewat UMKM; ibadah; serta beasiswa pendidikan.
Ia menjelaskan pemberian CSR BI harus memenuhi persyaratan bahwa penerima adalah yayasan yang sah.
Kemudian, penerima dana diperiksa dan harus memenuhi laporan pertanggungjawaban.
Ia mengatakan alokasi besarannya "diajukan oleh satuan kerja", baru kemudian diputuskan rapat Dewan Gubernur secara tahunan.
Senada dengan BI, OJK juga menyatakan "menghormati dan mendukung upaya penegakan hukum" yang dilakukan KPK.
KPK juga sempat menyebut telah menetapkan dua tersangka dalam perkara tersebut. Pernyataan itu diutarakan Direktur Penyidikan KPK Rudi Setiawan.
Belakangan pernyataan itu diralat KPK. Juru Bicara KPK Tessa Mahardika menyebut Rudi "mungkin salah" menyebut karena teringat perkara lain.
"Kaitannya dengan apa yang disampaikan oleh bapak deputi kemungkinan beliau salah melihat atau mengingat dengan perkara yang lain, ya.
"Jadi, ada mix di situ sehingga disebut sudah ada tersangka.
"Bahwa sampai dengan saat ini surat perintah penyidikannya tidak menyebut nama tersangka. Saya pertegas di sini," ucap Tessa Mahardika.
Satori, politikus Partai NasDem sekaligus anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 mengatakan semua anggota komisi XI menerima CSR Bank Indonesia.
"Semuanya sih, semua anggota Komisi XI programnya itu dapat," kata Satori, usai diperiksa sebagai saksi di Gedung KPK, Jakarta.
Pria yang kini bertugas di Komisi VIII itu mengatakan anggota DPR di komisi XI mendapatkan program untuk "sosialisasi di dapil".
Namun, ia menolak program tersebut disebut suap.
Sementara politisi Gerindra, Heri Gunawan yang juga turut diperiksa, mengatakan KPK akan memeriksa semua anggota Komisi XI.
Heri merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Kini ia bertugas di Komisi II.
Tetapi Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun membantah bahwa dana CSR mengalir ke anggota Komisi XI.
"Tidak ada aliran dana dari program sosial Bank Indonesia yang disalurkan melalui rekening anggota DPR RI atau diambil tunai," kata politikus Golkar tersebut.
"Semuanya langsung dari rekening Bank Indonesia disalurkan ke rekening yayasan yang menerima program bantuan PSBI tersebut," tambahnya.
Ia mengeklaim bahwa para anggota DPR hanya menjadi saksi saat dana tersebut sampai ke penerima di daerah pemilihannya.
"Dalam pelaksanaan anggota Komisi XI hanya menyaksikan Bank Indonesia menyalurkan ke masyarakat penerima di dapilnya," kata Misbakhun.
Misbakhun menjelaskan dana CSR atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) itu sudah ada "sejak puluhan tahun".
"Ada dalam Anggaran Tahunan Bank Indonesia sebagai bagian upaya membangun relasi kepedulian dan pemberdayaan masyarakat dari Institusi Bank Sentral," kata Misbakhun.
Ia mengatakan setiap yayasan atau kelompok masyarakat yang mengajukan proposal ke Bank Indonesia untuk program tersebut harus melalui proses pengecekan dan verifikasi tim independen yang ditunjuk Bank Indonesia.
Tetapi kembali disebutkan Larshen Yunus itu berpendapat dana CSR yang disalurkan melalui yayasan rentan penyalahgunaan, termasuk oleh para politikus.
"Politisi menggunakan lembaga-lembaga sosial untuk bisa mengalirkan duit kepada dia secara langsung maupun secara tidak langsung," kata dia.
Larshen mengatakan praktik ini semakin marak di masa menjelang tahun politik, di mana kondisi mendesak politikus mencari dana untuk keperluan logistik kampanye.
"Makanya kita sering dengar dalam konteks pemilu proses baik pada tingkat nasional maupun tingkat regional Itu ada proses pengkonsolidasian melalui lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan terafiliasi dengan politisi-politisi," sebutnya.
Ia menyebutkan kasus-kasus ini merupakan fenomena yang dikenal tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain.
Bahkan, jika merunut ke masa lalu, menurut Lakso, praktik ini merupakan fenomena yang sudah dikenal.
"Orba [Orde Baru] itu kan di Indonesia digunakan juga untuk menampung uang dan menguasai aset," kata Larshen.
Larshen berkata, rentannya penyimpangan dana CSR disebabkan kurangnya pengaturan baik dari sisi pemberi dana dan penerima dana.
Ia juga mengatakan pengawasan terhadap CSR ini juga masih lemah.
Ia melihat kasus ini mengisyaratkan upaya saling memanfaatkan antara BI sebagai regulator moneter dengan DPR, sebagai pengawas serta pembuat undang-undang.
"Jadi celah yang luar biasa untuk jual beli pengaruh ya di regulasi. Misalnya di pemerintahan ataupun di DPR gitu. Jadi karena enggak ada transparansi," kata Larshen.
Ia berpendapat, perlu adanya pengawasan terhadap yayasan penerima dana CSR tersebut.
Pengawasan pada yayasan-yayasan tersebut diperlukan agar dana CSR tidak mengalir ke pihak yang punya konflik kepentingan.
"Jadi kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas penerima manfaat atau beneficial owner," subut Larshen.
Ia mengatakan sebenarnya sudah ada aturan mengenai transparansi penerima manfaat baik korporasi termasuk yayasan.
Yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Namun, menurutnya pengawasan perlu ditingkatkan.
"Seharusnya perlu diperkuat sistem tersebut dalam penerapannya melalui bisa jadi berupa pengungkapan dana CSR secara berkala, analisis potensial konflik kepentingan dalam pengalokasian CSR, maupun pada sisi lain transparansi siapa pemilik manfaat dari yayasan atau lembaga sosial penerima CSR," ujar Larshen.
Sementara itu Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dana sosial pada BI ini sebaiknya dihapuskan karena di luar kompetensi dasar sebagai regulator.
"Dana sosial ini bukan core kompetensi Bank Indonesia," kata Bhima Yudhistira.
"Kalaupun ada keuntungan lebih dari operasi moneter, sisa anggaran lebih gitu ya.
Itu dikumpulkan aja menjadi PNBP, membantu APBN," katanya.
'Gubernur terlibat skandal csr'
Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana itu juga menanggapi pengakuan Satori yang sebelumnya naik status menjadi tersangka oleh KPK dalam dugaan kasus Korupsi dan TPPU Dana CSR Bank Indonesia (BI) yang dalam pengakuannya menyebut bahwa sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI periode 2019 -2024 juga menerima dana bantuan sosial tersebut.
”Saya minta KPK untuk segera memproses surat pencekalan terhadap 44 orang anggota komisi XI periode 2021 – 2024 itu, ” kata Larshen Yunus.
"Kami khawatir beliau – beliau ini kabur melarikan diri dan sangat berpotensi menghilangkan barang bukti," sebutnya.
Larshen Yunus mengungkapkan soal ada tidaknya keterlibatan Gubernur Riau Abdul Wahid yang sempat duduk di Komisi XI, ” bisa saja beliau terlibat, tergantung pengembangan penyidikan di KPK,” ungkap Larshen Yunus, Wasekjend KNPI Pusat Jakarta ini lagi.
Ia mengatakan bahwa kejadian luar biasa tersebut akan menambah panjang daftar dosa – dosa yang dilakukan oleh anggota DPR yang telah mengkhianati amanat penderitaan rakyat.
Menurutnya, lebih baik lembaga DPR RI itu dibubarkan saja.
"Kok malah lembaga yang terhormat menjadi sarang pencuri dan perampok uang negara? Disini lah konstitusi kita diuji, sampai kapan lembaga yang katanya terhormat yang selalu mencoreng nama baik Indonesia ini dipertahankan,” tambah Larshen Yunus, juga sebagai Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana ini.
Hari ini berbagai fakta tentang kebobrokan negeri muncul tiba-tiba. Ini yang dikatakan orang bahwa kebenaran itu akan selalu mencari jalannya sendiri.
"KPK harus berani tampil untuk menuntaskan amanah yang diberikan kepadanya."
"Lembaga anti rasuah (KPK) itu diharapkan menjadi benteng terakhir penegakkan hukum di Indonesia," kata Larshen.
Kemudian bagi yang memang terlibat berjiwa besarlah untuk mengakuinya, walau kejujuran itu lebih susah didapatkan dari buluh perindu, dan kemunafikan lebih mudah didapatkan dari narkoba, sebutnya.
Terkait deretan panjang dosa – dosa yang selama ini dilakukan oleh para elit legislatif yang selama ini bernaung dalam salah satu pilar demokrasi di Indonesia, dimana pada sisi lain DPR yang seyogyanya tempat berkumpul para nasionalis sejati yang bermarwah, dalam hal ini malah mencoreng wajah Indonesia.
”Apakah mereka masih punya rasa malu? atau masih mau berdalih hanya untuk menyimpan busuknya moral bejat mereka. Mundur lebih terhormat dari pada setiap hari kena sumpah dan laknat dari masyarakat. Maka tunggulah sanksi sosial yang lahir akibat kekecewaan,” sebut Larshen Yunus.
Gubernur Riau Abdul Wahid sebagaimana pernah duduk di Komisi XI DPR RI namanya disebut – sebut terlibat dalam dugaan kasus korupsi tersebut kemudian dimintai tanggapannya melalui pesan WhatsApp (WA) nya, namun hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan masih belum memberikan jawaban.
Sementara sebagaimana KPK menyatakan, jika alat bukti dinilai cukup, sejumlah anggota DPR RI tersebut bisa menyusul Satori dan Heri Gunawan (Hergun) dari Fraksi Gerindra sebagai tersangka.
Kabar mengejutkan datang dari salah seorang inteligen negara yang meminta dan memohon namanya untuk disamarkan.
Hal itu dilakukan sebagai upaya dalam mendorong penanganan perkara kasus Kkorupsi terkait penerimaan trilyunan rupiah dana CSR dari Bank Indonesia (BI) dan OJK oleh hampir seluruh Anggota Komisi XI DPR RI tempo lalu.
Bahwa dalam penjelasannya, diketahui telah berlangsung "operasi senyap" yang dilakukan oleh beberapa oknum anggota polri yang menawarkan dirinya untuk mengurus perkara sekaligus melakukan lobi-lobi tingkat tinggi dalam "melenyapkan perkara" tersebut.
Sebagaimana publik mengetahui sebelumnya, bahwa perkara tersebut mulai heboh dan ramai menjadi perbincangan ketika 2 (dua) orang Anggota Komisi XI DPR RI atas nama Satori dan Heri Gunawan secara resmi ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pada akhirnya menjalar kehampir semua nama-nama anggota dewan lainnya.
Mantan anggota DPR RI, Abdul Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), disebut-sebut sebagai salah satu penerima dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan OJK tahun 2020-2023.
Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam jumpa media di Gedung Merah Putih KPK.
Sebelumnya KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait penggunaan dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) dan Penyuluh Jasa Keuangan (PJK) dari tahun 2020-2023.
Kedua tersangka tersebut adalah Heri Gunawan, anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 dari Partai Gerindra, dan Satori, anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 dari Partai Nasdem.
“Perkara ini bermula dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK dan pengaduan masyarakat. Setelah dilakukan penyidikan umum sejak Desember 2024, penyidik menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi.
Asep kemudian membeberkan konstruksi perkara ini. Komisi XI DPR memiliki beberapa mitra kerja dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, di antaranya BI dan OJK.
Khusus untuk BI dan OJK, Komisi XI DPR memiliki kewenangan tambahan, yaitu mewakili DPR dalam memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga setiap tahunnya.
“Sebelum memberikan persetujuan, Komisi XI DPR RI terlebih dahulu membentuk Panitia Kerja (Panja) yang di dalamnya termasuk tersangka HG dan ST, untuk membahas pendapatan dan pengeluaran rencana anggaran yang diajukan oleh BI dan OJK,” terang Asep.
Setelah Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama pimpinan BI dan OJK pada bulan November setiap tahunnya (2020, 2021, dan 2022), Panja melaksanakan rapat tertutup.
“Dalam rapat tersebut, terdapat kesepakatan antara lain bahwa BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI, dengan alokasi kuota dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 hingga 24 kegiatan per tahun,” jelas Asep didepan media.
Dana CSR diberikan kepada anggota Komisi XI DPR melalui yayasan yang dikelola oleh anggota Komisi XI DPR.
Teknis pelaksanaan penyaluran dana CSR dibahas lebih lanjut oleh tenaga ahli dari masing-masing anggota Komisi XI DPR, serta pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
Dalam rapat lanjutan tersebut, dibahas jumlah yayasan, teknis pengajuan proposal, teknis pencairan uang, dokumen laporan pertanggung jawaban (LPJ), serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota Komisi XI DPR per tahunnya.
Setelah selesai Rapat Panja, sekitar bulan November atau Desember, anggota Komisi XI DPR kembali melaksanakan Rapat Kerja Komisi XI terkait persetujuan atas Rencana Anggaran Tahunan BI dan OJK.
Berikut nama nama anggota DPR RI yqng di duga menerima aliran dana CSR:
(*)
Tags : Politik, Hukum, Indonesia, Korupsi, komisi pemberantasan koripsi, kpk, kpk didesak usut dana csr BI, anggota komisi XI terlibat dana CSR BI ,