KESEHATAN - Gangguan ginjal akut misterius pada ratusan anak masih diteliti, Kemenkes terbitkan panduan dan masyarakat diimbau tidak panik.
Kasus gagal ginjal misterius yang menyerang ratusan anak saat ini masih diteliti, sementara Kementerian Kesehatan telah menerbitkan panduan untuk menangani penyakit yang diidentifikasi sebagai gangguan ginjal akut (acute kidney injury).
Sebagian pasien yang mengalami gangguan ginjal akut dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta sekaligus sebagai tempat penelitian penyakit yang hingga kini digambarkan misterius itu.
Direktur Utama RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Lies Dina Liastuti, mengatakan pihaknya masih meneliti penyebab pasti gangguan ginjal akut misterius yang dialami 131 anak-anak di 14 provinsi di Indonesia.
“Masih proses diteliti,” kata Lies, Rabu (12/10).
Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Syahril Mansyur, mengatakan dari 131 pasien, 40 pasien dirawat di RSCM. Hal ini juga yang menyebabkan RSCM menjadi rumah sakit yang ditunjuk untuk meneliti penyakit misterius itu.
Syahril juga mengatakan hasil pemeriksaan laboratorium Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) “tidak ditemukan bakteri atau virus yang spesifik”.
Untuk menindaklanjuti temuan kasus gangguan ginjal akut itu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes telah menerbitkan Tatalaksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal sebagai panduan bagi fasilitas kesehatan untuk menangani pasien dengan kasus serupa.
"Fasilitas pelayanan kesehatan jangan sampai tidak tahu dengan keadaan atau gejala-gejala kasus ini, sehingga bisa dilakukan penanganan-penanganan lebih cepat dan intervensi supaya angka kematian bisa kita tekan," kata Syahril.
Dari total 131 anak yang terkena “gangguan ginjal akut” atau acute kidney injury (AKI) sejak Januari lalu, IDAI mengatakan ada beberapa pasien yang sudah sembuh, tapi ada juga yang masih menjalani perawatan.
“Dari Januari ke Juli itu pasien yang pulih, semua pulih sempurna. Di Januari-Juli itu angka kematiannya mungkin sekitar 30%,“ kata Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati, dalam jumpa pers seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (11/10).
IDAI mencatat, sejak Januari hingga Juli 2022, terdapat sembilan kasus yang “ditandai sebagai AKI“. Pada Agustus, dr. Eka mengatakan mulai terjadi lonjakan kasus AKI pada anak-anak.
“Di Agustus ada 35 kasus, kemudian di September meningkat menjadi 71, di Oktober sampai tanggal 11 ini, 9 kasus,” ujarnya.
Mengapa penyakit itu misterius?
Belum diketahui pasti penyebab gangguan ginjal akut misterius yang menyerang ratusan anak-anak itu.
Dikatakan misterius karena investigasi yang dilakukan para dokter pun belum mendapatkan kesimpulan karena “tidak ditemukan penyebab yang biasanya timbul pada anak-anak yang mengalami AKI“.
Dokter Eka menjelaskan, biasanya AKI terjadi karena anak kekurangan cairan atau kehilangan cairan dalam waktu yang singkat, misalnya pada anak yang diare, mengalami dehidrasi, pendarahan yang hebat, atau pasien yang mengalami fase shock saat terkena demam berdarah dengue.
“Kondisi seperti itu, di mana terjadi kekurangan cairan yang masuk ke ginjal, itu akan menyebabkan AKI. Ada lagi infeksi yang berat, umumnya terjadi di rumah sakit, dalam perjalanannya, dia bisa mengalami AKI.
"Tetapi kami lihat bahwa anak-anak ini, dalam wawancara dengan orang tuanya mengenai riwayat penyakitnya, itu tidak jelas ada episode penyakit yang seperti itu, tetapi dia tiba-tiba mengalami penurunan jumlah urine atau air seninya. Jadi itu kita masih belum bisa mendapatkan apa penyebabnya,“ kata dr. Eka menjelaskan.
Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso juga mengatakan biasanya anak-anak yang mengalami AKI memiliki masalah ginjal bawaan, tapi pada kasus yang ditemukan di Indonesia kali ini, ginjal para pasien anak itu normal dan “tidak mengalami kelainan bawaan“.
“Ini masih merupakan hal yang perlu kita dalami lebih lanjut, yang jelas angka kematiannya cukup tinggi. Kita minta tetap waspada, namun tidak perlu panik berlebihan karena kepanikan itu juga akan membuat segalanya menjadi tidak terkendali," ujar Piprim.
Apa yang dialami anak-anak dengan kasus gangguan ginjal akut?
Dokter Eka menjelaskan, semua pasien anak yang dia tangani mengalami penurunan frekuensi buang air kecil atau sama sekali tidak buang air kecil. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, para dokter tidak menemukan jenis infeksi yang konsisten pada semua anak, sehingga mereka tidak bisa menyebutkan penyakit itu mengarah pada infeksi tertentu.
Namun, dr. Eka menjelaskan lebih jauh bahwa anak-anak yang menderita AKI itu tidak hanya mengalami gangguan pada ginjal, melainkan juga pada organ-organ lainnya.
“Ketika kami melakukan pemeriksaan secara mendetail, di laboratorium, dan kami mengamati gejala klinisnya, dalam perjalanannya di rumah sakit mereka ini sebetulnya mengalami apa yang kami sebut dengan peradangan di banyak organ. Jadi, ada tanda-tanda peradagangan di hatinya juga, kemudian ada juga gangguan dalam sistem darahnya, jadi ada penggumpalan darah yang berlebihan.
Memang sepertinya ini bukan hanya melibatkan organ ginjal, meskipun manifetasi awalnya semuanya itu di ginjal, tapi yang kita dapatkan sebetulnya ada keterlibatan organ lain,“ ujar dr. Eka.
Selama perawatan di rumah sakit, dr. Eka menambahkan, anak-anak itu juga mengalami penurunan kesadaran.
Apa perawatan yang diberikan untuk pasien anak AKI?
Untuk pasien yang ginjalnya tidak memproduksi urine, para dokter memberikan terapi obat dan cairan. Cara itu berhasil dilakukan pada beberapa pasien karena terbukti mereka bisa kembali memproduksi urin.
Namun, untuk pasien yang sudah diberikan obat, tetapi ginjalnya tetap tidak mau memproduksi urin, dr. Eka mengatakan mereka harus menjalani cuci darah.
“Hemodialisis atau Peritoneal Dialisis, cuci darah dengan mesin atau yang melalui selaput perutnya pasien itu sendiri, atau metode lain yang advance, dialisis yang continue. Dan kami juga melakukan plasma exchange atau transfusi tukar,“ kata dia.
Apa gejala gangguan ginjal akut?
Sebelum diketahui mengalami AKI, pasien anak mengalami gejala infeksi seperti batuk, pilek, diare, atau muntah. Dokter Eka menyebut infeksi yang dialami pasien anak tidak berat dan “secara teoritis bukan tipikal infeksi yang menyebabkan AKI”.
Hal itu membuat para dokter heran.
“Dia hanya beberapa hari timbul batuk, pilek, diare, atau muntah, dan demam, kemudian dalam 3-5 hari, mendadak tidak ada urinnya. Jadi, tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi, anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan dengan tidak buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit.”
Pasien anak juga dikatakan tidak mengalami sakit perut karena tidak ditemukan sumbatan dalam aliran buang air kecilnya.
Gangguan ginjal akut misterius ini kebanyakan dialami oleh balita, tapi ada juga anak dengan usia delapan tahun dan ada juga yang berusia belasan tahun.
Apakah ada kaitannya dengan kasus di Gambia?
Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan global terhadap empat merek sirup obat batuk yang diduga berkaitan dengan gangguan ginjal akut yang menyebabkan kematian 66 anak di Gambia.
Hasil analisis laboratorium mengungkap empat sirup obat batuk buatan India itu mengandung dietilen glikol dan etilen glikol dalam takaran berlebih, yang bisa sangat berbahaya jika dikonsumsi manusia.
Keempat merek obat batuk itu adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.
Pihak berwenang India dan produsen sirup obat batuk, Maiden Pharmaceuticals, mengatakan sirup obat batuk itu hanya diekspor ke Gambia.
Melihat adanya kesamaan kasus, juru bicara Kemenkes dr. Syahril mengatakan sudah berdiskusi dengan tim dari Gambia untuk mencari tahu kasus itu lebih jauh.
“Hasil diskusi dengan tim dari Gambia yang mempunyai kasus serupa, dugaan ke arah konsumsi obat yang mengandung etilen glikol. Tapi, hal ini perlu penelitian lebih lanjut karena tidak terdeteksi dalam darah. Dugaan di Gambia mengarah ke intoksikasi,” kata Syahril kepada BBC News Indonesia, Rabu (12/10).
Dia juga menambahkan, saat ini Kemenkes sedang melakukan koordinasi dengan ahli dari WHO yang mengadakan investigasi kasus gangguan ginjal akut pada anak di Gambia, untuk mengetahui hasil investigasinya.
"Jadi, yang di RSCM ini sedang diteliti juga oleh ahli kita, tapi ini kan juga berskala internasional karena ada kemungkinan dikaitkan dengan di Gambia, maka harus diteliti juga oleh ahli internasional," ujar Syahril.
Sebelumnya, IDAI mengatakan tidak menemukan obat-obatan yang serupa dengan yang di Gambia karena obat-obatan yang berasal dari India itu tidak ditemukan di Indonesia.
Pihak Kemenkes juga menyebut obat-obat itu tidak ada di Indonesia. Namun, ketika ditanya soal kandungan obat yang sama, dr. Syahril mengatakan, "Masih dalam kajian IDAI, RSCM, dan Kemenkes".
Meski demikian, IDAI mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati lagi menggunakan obat, apalagi untuk anak-anak. Masyarakat juga diharapkan tidak sembarangan membeli obat-obat yang dijual secara daring, terutama obat-obat yang tidak dijual resmi di Indonesia.
”Seperti aturan umum, obat itu harus dikonsumsi dengan pengawasan dokter, apalagi pada anak-anak yang masih kecil diharapkan untuk tidak membeli obat sendiri, mengobati sendiri. Kemudian harus mengikuti anjuran terapi dari dokter karena untuk anak-anak yang masih kecil obat-obat itu menjadi lebih keras efeknya,” kata dr. Eka.
Orang tua harus waspada
IDAI mengimbau para orang tua memberikan jumlah cairan yang cukup untuk anak ketika anak mengalami batu, pilek, muntah, diare, dan demam.
“Bila tidak memungkinkan melalui minum, maka harus segera dibawa ke RS untuk diinfus,” kata dr. Eka.
Orang tua juga diminta memantau produksi urine pada anak. Ketika terjadi penurunan frekuensi buang air kecil anak juga harus segera dibawa ke rumah sakit karena masalah ini tidak bisa ditangani sendiri di rumah.
Dalam kondisi normal, anak dengan berat 10 kilogram akan mengeluarkan 1 cc air seni per jam. Jika berat anak 10 kilogram, maka perjamnya dia akan memproduksi 10 cc air seni atau 240 cc (seukuran gelas air minum kemasan) dalam sehari. (*)
Tags : Indonesia, Anak-anak, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,