Kesehatan   2021/02/06 13:4 WIB

Kasus Kanker Serviks Rawan Bertambah Parah Disaat Pandemi

 Kasus Kanker Serviks Rawan Bertambah Parah Disaat Pandemi
Di Inggris, perempuan beruisia 50-70 tahun ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan payudara.

KESEHATAN - Pandemi Covid-19 menghambat banyak hal, termasuk pemeriksaan dini kanker serviks. Secara nasional, cakupan pendeteksian dini pemerintah baru mencapai 12%, dari 50% yang ditargetkan. Padahal, kanker serviks adalah salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Pada Hari Kanker Sedunia yang jatuh pada 4 Februari, seorang pemerhati isu kesehatan perempuan di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan pelaksanaan pemeriksaan dini kanker serviks di wilayahnya terhambat, bahkan tidak berjalan, akibat pandemi Covid-19. Seorang dokter mengatakan, keterbatasan cakupan screening awal berisiko meningkatkan jumlah kasus serta tingkat keparahannya.

Asmawati, Ketua Serikat Pemberdayaan Perempuan (Pekka) di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan para perempuan di wilayahnya hampir tidak menjalankan pemeriksaan dini kanker serviks di tengah pandemi Covid-19. "Pemeriksaan kayaknya berhenti di masa Covid ini," kata Asmawati dirilis BBC News Indonesia, Rabu (03/02).

Ia menjelaskan, pelayanan kesehatan reproduksi perempuan di wilayah itu sudah terbatas sejak sebelum masa pandemi karena jumlah tenaga ahli yang sedikit. Bahkan, dia sudah beberapa kali mendampingi pasien-pasien ke rumah sakit untuk diperiksa. Di sana, mereka harus menunggu berjam-jam untuk bertemu dokter. Sementara, dalam satu kasus lain yang ia dampingi, seorang pasien mesti menunggu berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan jadwal operasi. 

Sekarang, jelas Asmawati, hambatan itu juga ditambah rasa takut dari para perempuan terhadap penularan Covid-19 di tempat pemeriksaan. Meski demikian, ia terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran soal kanker serviks, termasuk soal pemindaian awal di tengah pandemi. Sebab minat melakukan tes masih rendah di Kubu Raya, menurutnya. "Mungkin mereka mengetahui penyakitnya dari awal, cuma mereka tidak memeriksakan diri. Setelah itu, mungkin sudah parah sekali, dan barulah pergi ke rumah sakit. Ternyata ketika diperiksa itu banyak yang ternyata kista, kanker serviks. Ada yang sampai harus operasi sampai lebih dua kali untuk penyakit serviks itu," tuturnya.

Menurut Dyan Widyaningsih, peneliti dari SMERU research institute, yang menjalankan studi di lima wilayah di Indonesia, termasuk di antaranya di Kubu Raya, tingkat pelaksanaan pemindaian kanker serviks masih sangat rendah. Dari 745 perempuan yang menjadi sampel dalam penelitian, hanya 4,8% yang pernah melakukan tes IVA—salah satu metode pendeteksian dini. Data itu diterbitkan pada 2020.

Tanpa pandemi Covid-19, kata Dyan, sudah ada banyak hambatan dalam wujud keterbatasan pelayanan, tingkat kesadaran, hingga dorongan untuk melaksanakan tes. Ia menambahkan, salah satu temuan utama riset menunjukkan nilai-nilai patriarki dan tabu di masyarakat berkontribusi besar dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh perempuan untuk melakukan tes deteksi dini kanker serviks atau tidak. "Ketika mereka mau melakukan tes ini, belum tentu disetujui sama keluarga," kata Dyan via telpon.

"Kesehatan reproduksi ini kan melekat di tubuh perempuan. Itu hak perempuan. Tapi pihak lain pun yang ada di sekelilingnya dia - keluarganya, suaminya, orang tuanya - itu juga perlu dapat pemahaman yang sama bahwa memang ini hak perempuan untuk kesehatan reproduksinya," tambahnya. 

Sementara, bagi Rista Aditiawati, seorang penyintas kanker serviks, dukungan keluarga adalah salah satu faktor utama yang membantu proses pemulihannya. Rista menceritakan bahwa dia sempat takut dan stres ketika menjalani pendeteksian sampai akhirnya harus operasi. Namun, anak-anak dan suaminya yang mendampinginya akhirnya memberi Rista keberanian untuk menghadapi proses medis itu. "Bayangannya sudah ketakutan saja. Sudah begitu anakku yang kasih semangat aku, 'pokoknya mama nggak usah berpikir yang aneh-aneh. Mama harus sembuh, mama harus sehat. Mama nggak mau lihat aku berhasil?" tuturnya via sambungan telpon, sambil menahan tangis.

"Ya pokoknya, di situ aku dapat kekuatan, dukungan dari anak-anak, suami, pokoknya dari keluarga. Dukungan yang bisa bikin aku kuat untuk menhadapi saat itu."

Sekarang, Rista Aditiawati aktif dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran mengenai kanker serviks melalui komunitas Cancer Information and Support Center (CISC) dan berharap para perempuan berani untuk mengambil langkah pencegahan maupun tindakan, ketika mengalami gejala-gejala awal yang mencurigakan. Menurut Gatot Purwoto, dokter spesialis konsultan onkologi ginekologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, konsekuensi dari keterbatasan pendeteksian dini akibat pandemi Covid-19, berisiko meningkatkan kemungkinan kasus-kasus yang semestinya masih bisa diintervensi pada tahap awal, menjadi lolos dan tambah parah.

Hal itu dapat mengakibatkan semakin banyak kasus yang baru akan terdeteksi pada tahap yang lebih sulit ditangani. "Dengan lebih sedikit capaian yang didapat, maka otomatis perkembangan penyakit akan cenderung bisa lolos tidak diketahui, dan berkembang menjadi grade yang lebih tinggi," kata Gatot.

Menurut Kementerian Kesehatan, capaian program pendeteksian dini nasional masih berada di 12,5%. Angka itu masih jauh dibawah 50% dari yang ditargetkan pemerintah. Padahal, kanker serviks merupakan kasus kanker kedua tertinggi pada perempuan, setelah kanker payudara. Selain program pendeteksian dini, pemerintah juga menjalankan program vaksinasi HPV untuk mencegah kanker serviks. Namun, layanan tersebut terhambat oleh pandemi.

Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, menekankan bahwa pendeteksian masih harus tetap berjalan. Langkah itu, kata Cut, sebaiknya dilaksanakan oleh perempuan berusia 30 sampai 50 tahun. "Salah satu pencegahan untuk kanker serviks juga vaksinasi HPV, human papiloma virus, diberikan kepada anak perempuan usia 12 tahun. Program vaksinasi masal ini tertunda di masa pandemi, untuk anak-anak di bawah 12 tahun. Kita masih fokus di vaksinasi Covid dulu," ujar Cut.

"Lalu, bagaimana pencegahan supaya tidak berlanjut menjadi berat? Semua tergantung pada setiap individu. Individu harus tetap melakukan screening sesuai aturan," tutup Cut.

Kanker payudara

Pemeriksaan payudara untuk mendeteksi kanker sejak usia 40-50an tahun bisa menyelamatkan nyawa, tulis sebuah penelitian di Inggris. Penelitian ini melibatkan 160.000 perempuan dari Inggris, Skotlandia, dan Wales yang dilakoni secara berkesinambungan selama sekitar 23 tahun. Pemeriksaan yang dilakukan sejak dini dapat menyelamatkan satu nyawa per 1.000 perempuan yang diperiksa, kata para peneliti.

Tapi para ahli memperingatkan ada banyak pertimbangan lainnya, termasuk biaya yang dikeluarkan. Cancer Research UK mengatakan, masih "belum jelas, apakah menurunkan usia pemeriksaan payudara akan memberikan manfaat tambahan dibandingkan program pemeriksaan yang sudah ada di Inggris". Lembaga amal tersebut mengatakan seharusnya yang diprioritaskan adalah mengembalikan layanan kanker "ke jalurnya" untuk perempuan usia 50-70, setelah gangguan yang terjadi karena pandemi virus corona.

Selama karantina wilayah, program pemindaian sebagai langkah deteksi dini kanker usus, payudara, dan serviks dihentikan di Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara, meskipun tidak secara resmi dihentikan di Inggris. Para ahli telah memperingatkan adanya penumpukan pasien yang harus diperiksa, dirawat, dan diuji. Saat ini di Inggris, perempuan usia 50-70 ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan payudara setiap tiga tahun.

Perempuan di bawah 50 tahun tidak ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan rutin, karena umumnya risiko kanker payudara mereka sangat rendah, dan jaringan payudara mereka lebih padat, sehingga hasil tes mamografi yang digunakan untuk mengenali sel kanker sulit dibaca. Hal ini akan membawa pada diagnosis berlebihan - mendeteksi perubahan sel yang terlalu dini, yang mungkin tidak berubah menjadi kanker yang bermasalah - dan berpotensi membuat perempuan diberikan pengobatan yang tidak perlu.

Namun, tTertulis di Lancet Oncology, para ilmuwan menemukan penurunan kematian akibat kanker payudara dengan memeriksa perempuan berusia 40an setiap tahun, dalam 10 tahun pertama penelitian terhadap mereka. Dari 53.883 perempuan berusia 40 tahun yang telah menjalani pemindaian, terdapat 83 orang yang meninggal. Hal ini dibandingkan dengan 219 kematian dari 106.953 perempuan dengan usia yang sama tapi tidak mendapatkan pemindaian.

Penurunan kematian berasal dari deteksi dini kanker stadium 1 dan 2, yang dapat berkembang secara cepat pada perempuan muda. Setelah 10 tahun, bukti nyawa yang telah diselamatkan ini menghilang, kata para peneliti. Mereka juga menemukan sebuah "diagnosis berlebihan yang tidak terlalu tinggi pada kelompok usia ini" mirip seperti yang ditemukan pada kelompok usia lebih dari 50an. Dalam penelitian ini, 18% perempuan yang melakukan pemindaian payudara pada usia 40an mendapatkan setidaknya satu hasil diagnosis positif.

Profesor Sthepen Duffy, ketua penelitian dari Queen Mary University of London mengatakan: "Ini adalah penelitian tindak lanjut jangka panjang yang mengonfirmasi pemeriksaan payudara pada perempuan di bawah 50 tahun bisa menyelamatkan nyawa. "Dalam waktu yang penuh, ada baiknya mempertimbangkan menurunkan usia untuk diperiksa". Namun, kata dia, biaya yang dikeluarkan untuk hal ini harus diperhitungkan, dan diperlukan lebih banyak penelitian untuk peralatan pemindaian modern dalam mendiagnosis kanker.

Sophia Lowes, manajer informasi di Cancer Research UK mengatakan lembaganya khawatir mengenai hasil penelitian ini. "Banyak perempuan menerima hasil diagnosis yang salah, dan sejumlah perempuan akan mendapatkan diagnosis berlebihan dengan kanker yang tidak menyakiti mereka," katanya.

"Penelitian untuk mengembangkan program pemeriksaan tetap penting, program pemeriksaan sudah berada di bawah tekanan besar karena pandemi, dan pririotas saat ini seharusnya mengembalikan layanan ke jalurnya, yaitu untuk perempuan usia 50-70". Lembaga ini memperhitungkan, bahwa perlu enam kali lebih banyak perempuan berusia 40an, dibandingkan dengan berusia 50-70, yang membutuhkan pemeriksaan untuk menyelamatkan satu nyawa. Lowes mengatakan, penting bagi perempuan - tak peduli berapa usia mereka - untuk memberitahu kepada dokter jika mereka menemukan hal yang tak biasa pada payudara mereka. (*)

Tags : Kasus Kanker, Serviks, Rawan Bertambah Parah, Disaat Pandemi,