AGAMA - Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2023 "tidak mengalami perubahan besar", sebut Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.
Kementerian Agama menegaskan bahwa isu beragama dan toleransi "sangat kompleks".
Catatan mereka sepanjang 2023 masih terdapat kasus penolakan pembangunan rumah ibadah di sejumlah wilayah, terjadi tren peningkatan laporan penodaan agama yang dilatari video viral di media sosial, dan diskriminasi penganut kepercayaan.
Meskipun peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilaporkan tidak banyak, tetapi persoalan tersebut "menambah utang masalah" yang harus diselesaikan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementerian Agama Anna Hasbie, mengatakan isu beragama dan toleransi sangat kompleks dan dipengaruhi banyak faktor.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa Kemenag akan tetap mengedepankan pendekatan dialog dan persuasif dalam menangani masalah-masalah kebebasan beragama meskipun diakuinya tidak mudah, butuh waktu, dan kesabaran.
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, mengatakan pendirian dan pengelolaan rumah ibadah di Indonesia masih memicu kontroversi di sejumlah daerah.
Merujuk pada catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ada beberapa kasus penolakan gereja dan masjid.
Di antaranya penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur pada Maret 2023. Kemudian terjadi penutupan Gereja Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Jawa Barat pada April 2023.
Ada juga penutupan sementara Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah pada Juni 2023 dan penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat pada Agustus 2023.
Terakhir, penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireun, Aceh Darussalam pada September 2023.
Ihsan Ali Fauzi berkata, meski jumlah kasus di tahun ini tidak sebanyak tahun lalu di mana terdapat 50 gangguan pendirian tempat ibadah seperti yang dilaporkan Setara Institute, tapi kejadian ini "tetap merusak citra kerukunan di Indonesia," ungkapnya.
"Hal ini juga memberi isyarat kurang menggembirakan bahwa kita masih belum juga mampu menangani tantangan kerukunan secara memuaskan, meskipun sudah memasuki usia dua dekade reformasi," imbuhnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/12).
Situasi seperti ini, menurut dia, menunjukkan tidak ada perubahan besar dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Apalagi peristiwa sejenis yang terjadi di tahun-tahun lalu masih terkatung-katung penyelesaiannya.
Semisal nasib jemaat gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh Darussalam, lalu pembagunan masjid Imam Ahmad bin Hanbal di Kota Bogor, atau kasus penyegelan masjid milik jemaat Ahmadiyah Indonesia di beberapa tempat.
Satu-satunya kasus panjang dan paling kontroversial yang sudah tuntas adalah pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Taman Yasmin, Bogor.
Kasus tersebut memakan waktu 15 tahun sampai akhirnya diresmikan pada April 2023.
"Namun pelajaran penting dari kasus ini, dalam periode awal penyelesaian semestinya upaya mediasi dilakukan pada awal-awal konflik, bukan tunduk pada penolak."
"Sebab setelah gereja diresmikan, ada masalah tersisa karena sebagian jemaat menolak pemindahan lantaran tidak mengikuti keputusan MA."
Kasus penodaan agama rata-rata dilatari viral di media sosial
Direktur Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS), Zainal Abidin Bagir, kasus "penodaan agama" masih terjadi pada tahun ini dan rata-rata dilatari karena viral di media sosial.
Ia mencontohkan kasus selebgram Lina Mukherjee yang divonis dua tahun karena mengunggah video makan kerupuk babi dan dimulai dengan mengucapkan kata Bismillah.
Konten itu viral dan memicu perdebatan di media sosial.
Polisi pun turun tangan dan mengenakan pasal 45a ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tuduhan penodaan agama kepada Lina kemudian dikuatkan oleh anggota Komisi Fatwa MUI Sumatra Selatan dan beberapa saksi ahli lain.
Kasus viral yang juga dituduh menistakan agama menyeret selebgram Oklin Fia.
Perempuan berjilbab ini dipersoalan warganet karena kerap membagikan foto-foto berpakaian ketat dan menjilat es krim di depan alat kelamin pria.
Berbeda dengan Lina Mukherjee, Oklin Fia tidak sampai diseret ke pengadilan lantaran keburu mendatangi kantor MUI pusat dan menyampaikan permintaan maaf.
"Perbuatan itu menurut Wasekjen Bidang Hukum MUI, tidak memenuhi unsur penistaan agama, tapi perbuatan tidak pantas," jelas Zainal Abidin Bagir
Kasus penodaan agama yang berujung bui juga menimpa pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang.
Pasalnya beberapa video dari ponpes itu viral, di antaranya yang memperlihatkan jemaah perempuan di baris depan saat shalat Idulfitri.
Panji Gumilang didakwa dengan pasal 156a KUHP yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Beberapa kasus itu menunjukkan betapa luasnya peristiwa yang bisa dilabeli penistaan dan penodaan agama," imbuhnya.
"Dari kasus-kasus itu juga ada kesamaan, viral di media sosial dan mengundang opini publik yang memaksa polisi menanggapinya."
Penganut kepercayaan masih didiskriminasi
Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Samsul Maarif, menjelaskan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi penghayat kepercayaan sebetulnya mengalami kemajuan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2009 yang menegaskan kesetaraan penghayat kepercayaan dan agama.
Begitu pula putusan MK tahun 2016 tentang pengosongan kolom agama di KTP.
Akan tetapi, negara kembali gamang dalam menempatkan penghayat kepercayaan khususnya terkait hak kebebasan dan berkeyakinan.
Pasalnya Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2023 tentang Kementerian Agama ingin menegaskan bahwa Kemenag yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama hanya mengurusi enam agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kinghucu.
Akibatnya agama-agama lain seperti Bahai, Yahudi, Zoroaster dan lainnya, termasuk kepercayaan tidak mendapatkan jaminan pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dari negara.
"Dampaknya hingga tahun 2023, banyak penganut kepercayaan enggan atau ragu mengakses KTP kepercayaan sekalipun terpaksa menerima stigma syirik, tidak loyal, atau penakut," ucap Samsul Maarif.
"Penganut kepercayaan juga masih terus mengkhawatirkan tempat pemakamannya dan membangun sendiri tempat ibadahnya tanpa bantuan negara."
Apa tanggapan pemerintah?
Juru bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, menyebut indikator untuk mengukur persoalan beragama dan toleransi di Indonesia tak bisa dilihat dari jumlah kasus saja.
Tapi juga harus dilihat seberapa cepat respon pemerintah menyelesaikan masalah tersebut, berapa lama waktunya, dan metode apa yang dipakai.
"Beda dong kalau ada metode persuasif dan represif, kalau ada indikator-indikator yang lebih jelas mungkin akan lebih enak mengujinya," ujar Anna Hasbie.
Terlepas dari itu, dia mengatakan Kementerian Agama terus menerus mengevaluasi program-program untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan beragama.
Salah satunya yakni melalui program moderasi beragama yang sudah dilakukan sejak tahun 2020 di lingkungan internal Kemenag.
Kemudian pada 2023, program tersebut ditingkatkan secara lebih luas lagi yaitu menjangkau tokoh agama dan pengelola rumah ibadah.
Sebab berdasarkan pengamatan kementerian, isu beragama dan kerukunan sangat kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor.
Sementara tugas untuk membangun toleransi beragama tak cuma diserahkan kepada Kemenag, tapi lembaga lain.
"Di lapangan masalah yang muncul selalu berisisan dengan wewenang kementerian lainnya. Misal dalam perizinan rumah ibadah ada wewenang pemda."
"Ke depan dengan adanya Perpres moderasi beragama, program ini akan dijalankan kementerian dan lembaga lainnya."
Bagaimanapun, kata dia, Kemenag akan tetap mengedepankan pendekatan dialog dan persuasif dalam menangani masalah-masalah kebebasan beragama meskipun diakuinya tidak mudah, butuh waktu, dan kesabaran. (*)
Tags : kebebasan beragama, berkeyakinan, pendirian rumah ibadah masih sulit, kebebasan beragama di indonesia, hak asasi, hukum, agama,