Kemitraan yang telah terjalin antara perusahaan dan petani sawit harus lebih diperkuat guna menjaga keberlangsungan rantai pasok.
PEKANBARU - Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar minta agar petani sawit swadaya yang ada di Provinsi Riau untuk membentuk kemitraan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ia juga meminta seluruh bupati dan walikota untuk memfasilitasi hal tersebut.
"Kemitraan yang sinergis antara korporasi dan petani bisa dilakukan melalui penguatan kelembagaan di tingkat petani dengan menerapkan prinsip keterbukaan dan tata kelola manajemen sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara petani dan perkebunan kelapa sawit."
"Kemitraan penting dalam industri sawit karena terkait aspek persaingan usaha dan keberlanjutan industri ke depan, kemitraan petani dengan perusahaan perkebunan sawit merupakan kunci dasar kekuatan dalam peningkatan daya saing," demikian disampaiakn Gubri Syamsuar dalam Rapat Koordinasi Pasca Kebijakan Pemerintah terhadap Larangan Ekspor CPO Antara Pemerintah dengan Perwakilan Pengusaha Kelapa Sawit, Asosiasi Petani Sawit dan Stakeholder Terkait di Balai Pauh Janggi, Selasa (17/5/2022) kemarin.
Menurutnya, rantai pasok industri sawit tidak bisa dipisahkan antara petani dan perusahaan. Jika ada hambatan dalam rantai pasok tersebut maka akan berdampak pada keberlangsungan industri sawit itu sendiri.
"Pola kemitraan petani-perusahaan sawit harus sejalan dan satu visi, jangan sampai ada salah paham, ini bisa membahayakan industri sawit," ujar dia.
Pemerintah telah mengatur pola kemitraan antara perusahaan dan petani sawit melalui Permentan No 1 Tahun 2018 mengenai pedoman penetapan harga pembelian tandan buah segar (TBS) sawit produksi pekebun yang disesuaikan ketetapan masing-masing provinsi setiap bulannya.
Kelembagaan petani harus bemitra dengan pabrik kelapa sawit (PKS) dan permentan tersebut berlaku bagi petani swadaya dan petani plasma. Kemitraan hendaknya berdasarkan asas manfaat, berkelanjutan, saling memerlukan, dan saling menguntungkan. Biasanya, perselisihan yang terjadi antara petani dan perusahaan adalah mengenai penentuan harga TBS maka dari itu perlu keterbukaan.
Menurut Gubri, dengan bermitranya petani swadaya dengan PKS bisa membantu agar petani tidak terlalu dirugikan jika sewaktu-waktu harga Tandan Buah Segar (TBS) turun.
Contohnya seperti saat ini, jelasnya, ketika kebijakan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dari pemerintah pusat membuat harga TBS sawit di Riau terjun bebas. Gubri mengatakan, karena harga ditentukan oleh pedagang pengumpul maka petani swadaya akan lebih banyak dirugikan.
"Sebab petani swadaya yang berat saat ini, tapi petani yang bermitra yang mereka sudah ada mitranya persoalannya tidak begitu berat, walaupun ada turun (harga TBS) tapi tidak begitu berat," kata dia
"Karena itulah kami sarankan, kami minta bupati dan walikota agar bantu lah petani kita ini agar terjalin kemitraan dengan pemilik PKS," sambungnya.
Selain itu, Gubri juga meminta agar para pengusaha sawit di Riau bergabung dengan berbagai asosiasi pengusaha sawit yang ada demi mempermudah koordinasi dan penyebaran informasi terkait kebijakan yang berhubungan dengan sawit sehingga tidak terjadi kesimpang siuran.
"Banyak pengusaha sawit di Riau, tapi belum banyak yang tergabung di asosiasi. Makanya kami harapkan para penguasa bisa ikut asosiasi," ujarnya.
Untuk diketahui, petani swadaya merupakan petani yang mengusahakan kebun yang dimilikinya di bangun di atas tanah milik sendiri atau tanah milik komunitas/ulayat.
Tetapi menurutnya lagi, kerja sama antara perusahaan dan petani harus berdasarkan asas persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan kemitraan. Pada dasarnya, kemitraan adalah kerja sama yang kuat antara usaha besar (perusahaan) dengan usaha kecil (petani).
"Banyak pola kemitraan yang sudah dijalankan dalam industri sawit, yaitu pola PIR, perdagangan umum melalui jual beli TBS, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat, dan peremajaan sawit rakyat," kata dia.
Kemitraan sangat dibutuhkan petani sawit
Kemitraan perkebunan merupakan bagian dari strategi bisnis guna mencapai keberhasilan bersama melalui bermitra dalam menjalankan etika bisnis.
Menurut Gubri Syamsuar, kemitraan dapat berjalan lancar, apabila ada konsistensi dalam penerapan etika bisnis yang akan berbanding lurus dengan kemantapan dalam menopangnya.
Kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan petani kelapa sawit sendiri, merupakan pola kemitraan usaha. Dalam melaksanakan kegiatannya, maka pola kemitraan dapat dianggap sebagai pertukaran sosial, yang saling memberi (sosial rewadrs), bersifat timbal balik (dyadic) dan saling menerima (reinforcement).
Pengembangan kelembagaan kemitraan dalam sistem agribisnis, secara nyata telah berdampak positif terhadap keberhasilan pengembangaannya. Jadi, dampak positif yang telah dihasilkan yaitu keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani.
Tetapi Gubri mengakui kendati pihaknya terus mendorong adanya perubahan pada praktek budidaya petani kelapa sawit bukanlah perkara mudah. Lantaran banyak persoalan dan kesulitan yang seringkali dihadapi para petani dalam melakukan praktek budidaya kelapa sawit.
Persoalan kemitraan juga seringkali disebabkan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat. Alhasil, banyak demonstrasi dan kerusuhan yang menyebabkan produksi perkebunan kelapa sawit menjadi macet dan terbengkalai di kemudian hari.
Jadi berbagai kondisi diatas, jelas menjadikan daya saing kebun sawit milik petani seringkali bermasalah. Kemitraan petani sawit juga membutuhkan dukungan BPDP-KS guna mendorong penguatan kelembagaan petani sawit selama ini. Keberadaan petani masih membutuhkan dukungan dari banyak pihak untuk membangun kelembagaan, kemitraan yang sejajar dan bantuan permodalan dari perbankan dan asosiasi seperti GAPKI dan SPKS, guna membangun kebun sawit berkelanjutan. (*)
Tags : Kemitraan, Kemiteraan Petani Sawit dengan Perusahaan, Riau, Kemiteraan Memperkuat Bisnis Juga Menjaga Rantai Pasok,