Menteri ESDM memastikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi tidak naik pada minggu ini, tetapi pedagang kecil tetap saja mengeluhkannya.
PEKANBARU - Masyarakat mulai mengeluhkan dampak kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Salah satu kebijakan yang langsung dirasakan dampaknya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Masyarakat kelas bawah seperti pedagang kecil pihak yang paling cepat merasakan dampak kenaikan harga BBM.
Misalnya pedagang ketupat sayur dan ketoprak mengeluhkan tingginya harga sembako akibat kenaikan harga BBM tersebut.
"Yang naik sih emang BBM, tapi imbasnya kan ke kita juga. Apa-apa jadi mahal, kaya cabai harganya Rp150.000 (per kilo-red)," ujar pedagang ketupat sayur dan ketoprak yang biasa dipanggil Uni Tarih di kawasan Jalan Adi Sucipto, Pekanbaru, Sabtu (27/8/2022).
Dia mengatakan, kondisi ini semakin menyulitkan dirinya. Padahal, kata dia kehidupannya selama ini sudah sulit.
"Alasannya BBM kan naik, jadi harga ikut naik. Kita pedagang yang udah susah jadi semakin susah, apa-apa mahal," ucapnya.
Tetapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsisdi tidak dilakukan dalam minggu ini.
"Belum minggu ini," kata Arifin Tasrif pada media, Jumat (26/8/2022) kemarin.
Arifin kembali menegaskan, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam menentukan harga BBM yang baru. Saat ini pemerintah masih melakukan hitung-hitungan.
"Kita lakukan exercise, revisi ini, itu. Harus dihitung secara keseluruhan. Selalu kita harus memperhatikan, hitung hati-hati banget," ujarnya.
Arifin menjelaskan, pembahasan tersebut menimbang beberapa aspek, mulai dari daya beli hingga keuangan negara. Di sisi lain, kondisi geopolitik di luar negeri juga perlu diperhitungkan.
Berdasarkan pertimbangan itu, Arifin mengungkapkan, pembahasan perlu dilakukan agar keputusan yang diambil nantinya bisa berjalan lancar di lapangan.
"Harus mempertimbangkan banyak aspek, aspek daya beli dan kemampuan pendanaan pemerintah. Kita juga hitung antisipasi nanti akhir tahun ini kemungkinan bisa saja kebutuhan energi meningkat, ketersediaan energi terbatas, harganya meningkat, mau masuk musim dingin di luar," bebernya.
"Sekarang kita harus upayakan penuhi paling nggak listrik, untuk manfaatkan maksimum capacity baseload dalam negeri," pungkasnya
Dampaknya menengah ke bawah
Masyarakat saat ini masih menunggu kebijakan dan langkah apa yang akan diambil pemerintah dalam mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Kalau Pertalite naik, bagaimana dampaknya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah?
Konsumsi Pertalite di Indonesia mencapai 80% dari total bensin, sehingga kenaikan harga Pertalite tentu akan mendorong kenaikan inflasi, yang mungkin saja meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang tumbuh 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).
Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Dalam keranjang inflasi, bensin memiliki bobot 4% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga misalnya saja harga BBM naik 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0,4 poin persentase terhadap inflasi.
Secara historis, pada 2014 misalnya, saat harga BBM jenis Premium yang saat itu paling banyak dikonsumsi, dinaikkan pada bulan November hingga 30%. Inflasi kemudian melesat hingga 8,36% (yoy).
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy).
Dampak kenaikan BBM ternyata tidak hanya pada ekonomi, tapi juga akan berimbas pada aspek sosial masyarakat Indonesia.
BBM sangat diperlukan untuk operasional perusahaan, sehingga jika harganya kian mahal maka akan membebani biaya produksi hampir seluruh sektor dan lini bisnis.
Akibatnya, perusahaan akan meminimalisir biaya operasional, misalnya dengan menghentikan rekrutmen karyawan baru hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kenaikan BBM berpotensi akan meningkatkan angka pengangguran yang tentunya akan menambah tingkat kemiskinan Indonesia. Padahal, per Maret 2022, BPS telah melaporkan adanya penurunan tingkat kemiskinan setelah pandemi.
Tingkat kemiskinan per Maret mencapai 9,54% atau 26,16 juta orang. Turun 0,6 poin atau 1,38 juta orang. Sementara dibandingkan September 2021 penurunan tingkat kemiskinan mencapai 0,17 poin atau 0,34 juta orang.
Namun, garis kemiskinan mengalami kenaikan 3,975% dibandingkan September 2021 menjadi Rp 505.469 pada Maret 2022.
Bukan hal yang tak mungkin, jika tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang meningkat akan menimbulkan kekacauan hingga demo.
Jika berkaca pada 2013 silam, ratusan mahasiswa dan buruh menggelar demo menolak kenaikan BBM di depan Istana Negara, Pertamina, hingga Kementerian Energi dan Daya Mineral (ESDM).
Hal tersebut seharusnya dapat menjadi pembelajaran. Sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, sebaiknya mencermati beberapa poin seperti tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.
Konsumsi masyarakat Indonesia berkontribusi sebanyak 50% terhadap PDB, sehingga jika inflasi meninggi tentunya akan membatasi konsumsi masyarakat dan ikut mengerek turun PDB.
Sinyal-sinyal kenaikan harga BBM Pertalite ini sudah sering mencuat, baik itu dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
"Harga Pertamax keekonomian Rp 15.150 namun di eceran masih Rp 12.500 per liter. Dan Pertalite keekonomiannya Rp 13.150 tapi ecerannya Rp 7.650 per liter," ungkap Menko Airlangga dalam Konferensi Pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2023, Selasa (16/8/2022).
Menko Airlangga juga membandingkan harga BBM Pertalite dan Pertamax di RI yang masih jauh di bawah harga BBM dari negara-negara tetangga. Misalnya saja Thailand yang menjual BBM dengan harga Rp 19.500 per liter. Kemudian Vietnam Rp 16.645 per liter dan Filipina mencapai Rp 21.352 per liter.
Adapun Bahlil menyadari bahwa kenaikan harga BBM di dalam negeri bisa menimbulkan gejolak di masyarakat. Namun demikian, kondisi keuangan negara dalam menahan kenaikan harga BBM sudah terbata-bata.
"Saya menyampaikan sampai kapan APBN kita akan kuat menghadapi subsidi yang lebih tinggi, jadi tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang feeling saya harus kita siap-siap kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," kata Bahlil.
Sementara Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta, Darmawi Whardana Zalik Aris berpendapat kenaikan harga BBM, khususnya jenis Pertalite dan Solar, dapat menurunkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini setelah sebelumnya Pertalite dinyatakan pemerintah sebagai barang subsidi.
Menurutnya kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut akan berimbas kepada kenaikan harga-harga barang, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung.
"Ke depan tren harga minyak dunia kemungkinan turun, bahkan dalam RAPBN 2023 Pemerintah mengusulkan ICP 90 US dollar,” kata dia.
Perlu diperhatikan pula, bahwa inflasi di banyak negara sudah berdampak pada Indonesia.
Di sisi lain, inflasi tahunan sudah hampir menembus 5 persen dan inflasi makanan telah mencapai angka 10,32 persen.
"Jika terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi dalam beberapa hari ke depan, maka bisa dipastikan angka inflasi akan kembali naik yang efeknya sangat memberatkan bagi rakyat," ujar Darmawi menyikapi.
Darmawi menjelaskan saat ini aktivitas ekonomi masyarakat pasca pandemi mulai berangsur membaik.
Jika terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi, dikhawatirkan akan menghantam kembali daya beli dan konsumsi masyarakat. Sehingga, berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.
“Bahkan pertumbuhan ekonomi akan kembali melambat hingga naiknya kembali angka kemiskinan," tuturnya.
Tetapi seperti disebutkan Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dari politisi PKS menyebut rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut juga memberikan efek yang besar bagi kalangan dunia usaha, terutama sektor UMKM, juga terhadap usaha kecil informal yang seringkali tidak tersentuh oleh program bantuan sosial Pemerintah.
Selama ini, katanya, sebagian besar sektor UMKM dan informal tersebut memanfaatkan BBM bersubsidi dalam menjalankan usahannya.
“Efek domino kenaikan BBM bersubsidi dikhawatirkan akan semakin membuat pengusaha UMKM dan informal lainnya semakin kolaps, dikhawatirkan angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat," tegas Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini pada wartawan, Kamis (25/8) lalu.
Menurut Anis saat ini, dengan mempertimbangkan berbagai situasi, apalagi Pemerintah telah menyebut ke depannya situasi ekonomi akan sulit dan gelap, maka sebaiknya kebijakan BBM bersubsidi diprioritaskan untuk kalangan tertentu saja. Seperti angkutan umum atau motor roda dua berkapasitas mesin rendah.
Selain itu bisa dengan mengurangi budget anggaran lain hingga menghentikan beberapa program yang kurang berdampak secara ekonomi.
“Pemerintah jangan mencari jalan pintas dalam menghadapi tingginya harga energi, padahal subsidi adalah salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat banyak," tutup Anis. (*)
Tags : Bahan Bakar Minyak, Kenaikan BBM akan Menimbulkan Imbas Luas, Riau, Kenaikan BBM Menghantam Pedagang Kecil,