"Sebelum pandemi Covid-19, semakin banyak orang berpergian dengan kereta malam, apakah penyebaran virus corona akan mendorong atau justru menghambat kebangkitan kereta jarak jauh?"
yaris tak ada lagi tiket tersisa selama musim panas ini untuk kereta malam yang menempuh perjalanan selama 19 jam seperti terjadi di Stockholm ke desa Abisko di Swedia. Swedia adalah tempat kelahiran gerakan berhenti menggunakan pesawat terbang demi meminimalkan emisi karbon (flygskam). Juru kampanye iklim, Greta Thunberg, juga lahir di negara ini. Dan sebelum diguncang pandemi Covid-19, tren berlibur menggunakan kereta jarak jauh di Swedia mengalahkan banyak negara lain.
Selama tahun 2019, perjalanan kereta perusahaan SJ melonjak 11%. SJ adalah perusahaan pelat merah pemilik jaringan kereta terbesar di Swedia. Dan selama pandemi Covid-19, tren berpergian dengan kereta malam relatif tinggi di Swedia. Pada periode ini, sebagian besar warga Swedia menghindari berlibur ke luar negeri. "Penjualan tiket kereta malam saat ini hampir setara dengan musim panas lalu," kata Stephen Ray, juru bicara SJ dirilis BBC News.
Meskipun jumlah penumpang kereta api Swedia secara keseluruhan turun sekitar 60% selama Juli dan Agustus lalu, Ray menyebut penyebab terbesarnya adalah berkurangnya pelancong bisnis dan komuter. Faktor lainnya adalah kebijakan SJ mengosongkan sepertiga kursi untuk menerapkan prinsip jaga jarak antarpenumpang. Sebaliknya, perjalanan udara domestik turun jauh lebih dramatis: 80%. Adapun perjalanan udara dari dan menuju Swedia turun lebih jauh. "Menurut saya, sedikit orang ingin terbang, karena tidak terlalu banyak tempat tujuan yang dapat mereka pilih. Jadi mereka berpergian ke kota-kota di Swedia dan tetap mendekatkan diri dengan alam," kata Ray. Namun Ray yakin popularitas kereta jarak jauh juga meningkat karena selama beberapa tahun terakhir masalah iklim mulai memengaruhi cara banyak orang bepergian.
Transportasi yang berkelanjutan kian populer
Menanggapi tren yang muncul, pemerintah Swedia pada 2019 menjanjikan investasi 300 juta kronor (Rp501 miliar) untuk meningkatkan layanan kereta, termasuk kereta malam menuju negara Eropa lain. Banyak perusahaan kereta sekarang bersaing untuk membuka rute malam dari Stockholm menuju Hamburg dan dari Malmo ke Brussel, mulai 2022. Operator kereta swasta di Swedia, Snalltaget, berencana menawarkan rute baru menuju Pegunungan Alpen, Austria, mulai Februari 2021. Mereka juga berniat menghidupkan kembali rute Malmo- Berlin.
Namun Swedia bukan satu-satunya negara di Eropa yang memperluas layanan kereta jarak jauh. Selama beberapa tahun terakhir, banyak negara, dua di antaranya Inggris dan Austria, mulai memperkenalkan atau mengubah rute kereta malam sebagai pilihan efisien dan menarik untuk turis dalam jangka panjang. Pergeseran itu menarik perhatian banyak orang. Para penulis blog perjalanan, pakar perencanaan transportasi, dan jurnalis mendorong kebangkitan kereta malam Eropa. Namun ada tantangan, baik urusan finansial, logistik, dan risiko kesehatan yang berkelanjutan terkait Covid-19. Lantas, apakah aktivitas tidur di kereta dan bersantap hingga larut malam di gerbong restoran dapat terwujud?
'Efek Greta'
Masyarakat Eropa semakin sering menjatuhkan pilihan ke perjalanan kereta jarak jauh sebelum wabah virus korona. Jumlah penumpang kereta malam perusahaan kereta Austria, OBB, meningkat dua kali lipat menjadi 1,4 juta orang pada 2017. Pencapaian itu muncul setelah OBB membeli saham pemilik jaringan kereta di Jerman, Deutsche Bahn. Mereka juga mengambil alih pengelolaan rute sehingga menjadi operator kereta malam terbesar di Eropa.
Jumlah pelanggan dan keuntungan OBB terus meningkat hingga awal pandemi lalu. Operator kereta di Swiss, SBB, melaporkan peningkatan lalu lintas kereta malam hingga 25% tahun 2019. Sementara itu, rute jarak jauh antara Finlandia dan Rusia melonjak sebesar 20%. Pergeseran ini berbanding terbalik dengan situasi beberapa dekade lalu, saat kereta murah mendominasi industri perjalanan. Kala itu, banyak kereta malam ditutup karena biaya operasional yang tinggi. "Ini pasti tren Eropa. Swedia menjadi semacam wajah gerakan berpergian dengan kereta, tapi sebenarnya mereka jauh lebih besar dari itu," kata Anton Trollback, salah satu pendiri All Aboard Swedia, sebuah platform online pemesan tiket kereta jarak jauh di Eropa.
"Konsumen lebih tertarik menggunakan transportasi yang ramah lingkungan dan semakin dekat dengan alam. Kereta sangat cocok dengan itu."
Peluncuran All Aboard Swedia menyaingi platform serupa seperti Seat61 yang berbasis di Inggris dan Omio dari Jerman. Survei yang digelar untuk European Investment Bank, yang dirilis Januari lalu, menyebut 36% orang di Eropa kini mulai mengurangi berpergian dengan pesawat. Tujuan mereka adalah memerangi perubahan iklim. Sebesar 75% responden dalam riset itu berniat mengurangi perjalanan pesawat pada 2020. Berkat virus corona, sebagian besar resolusi itu akan terwujud. Pemerintah negara-negara Eropa juga berinvestasi ke industri perkeretaapian untuk memenuhi target pengurangan karbon yang diwajibkan Uni Eropa.
Saat ini di Prancis hanya terdapat dua jalur kereta yang tak beroperasi. Negara ini memiliki belasan layanan kereta malam pada dekade 1990-an. Juli lalu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berjanji membangun kembali jaringan kereta yang mati itu. Macron sebelumnya menyebut bisnis kereta tidur tidak menguntungkan. Tapi dia berkata revitalisasi itu perlu diterjemahkan sebagai upaya penghematan dan pengurangan emisi karbon dioksida.
Dalam beberapa bulan terakhir, Jerman dan Italia juga mengumumkan rencana revitalisasi jalur kereta bernilai miliaran euro. Target lain dari proyek itu adalah jaringan kereta yang lebih hijau dan lebih efisien. Perusahaan publik dan swasta jelas bertaruh bahwa tren penggunaan kereta akan terus berlanjut. Perusahaan kereta milik negara Austria dan Swiss bekerja sama meningkatkan jumlah layanan kereta malam antarnegara. Misi jangka panjang mereka adalah menghubungkan kota-kota jauh seperti Zurich dan Barcelona. Para penumpang kereta Eurostar dapat melakukan perjalanan langsung dari Amsterdam ke London mulai akhir Oktober ini.
Seberapa aman berpergian dengan kereta selama pandemi?
Satu pertanyaan kunci adalah bagaimana virus corona mempengaruhi keputusan untuk bepergian selama beberapa tahun ke depan? Kualitas udara di kereta sebenarnya lebih buruk daripada di pesawat, yang biasanya mencampurkan udara segar dari luar dengan filter efisiensi tinggi. Namun banyak orang masih percaya risiko penularan virus corona lebih rendah di kereta, kata Charlene Rohr, pimpinan penelitian yang memprediksi tren perjalanan usai pandemi.
Riset itu dikerjakan untuk RAND Europe, sebuah lembaga penelitian independen. Rohr menyebut beberapa pelancong akan memprioritaskan perjalanan kereta karena risiko dari udara resirkulasi. Alasannya lainnya, menurut Rohr, kursi di pesawat lebih saling berdekatan daripada di kereta atau karena penumpang mencemaskan kepadatan di bandara. Jeni Fulton, editor eksekutif pameran seni Eropa, memilih menggunakan kereta malam untuk perjalanan bisnis dari Jerman ke Swiss selama pandemi.
Meski motivasi utamanya menggunakan kereta adalah untuk menekan jejak karbon, Fulton merasa kereta lebih aman terkait daripada pesawat dalam konteks penyebaran virus corona. "Saya pasti akan mempertimbangkan untuk lebih sering naik kereta malam di masa mendatang, terutama jika saya menginap di kota tujuan selama beberapa malam," katanya.
Tapi pelancong lain memiliki pendapat lain. "Tidur di kereta malam tidak akan memberi ketenangan pikiran yang sama seperti sebelumnya," kata Diana Oliveira, seorang mahasiswi doktoral dari Portugal. Dia menjalankan akun media sosial The Nerdy Globetrotters dengan pacarnya, Karn Vohra, yang berasal dari India. "Jika Anda ingin terlindungi semaksimal mungkin, penerbangan tampaknya pilihan yang baik karena waktu terpapar dengan orang lain akan berkurang," ujarnya.
Alasan kedua Oliveira adalah masalah kenyamanan. Ia mempertimbangkan dampak memakai penutup wajah selama dua jam dalam penerbangan atau selama 10 jam dalam perjalanan kereta. Marcus Mayers, seorang peneliti isu transportasi di Manchester Metropolitan University, menyebut sebagian besar perusahaan kereta Eropa telah menjalankan siasat menangkal penyebaran virus corona. Kebijakan itu mulai dari pemakaian masker medis wajib hingga kapasitas tempat duduk yang dikurangi. Namun Mayers menilai tidak ada operator kereta yang mencoba melakukan ini dengan cara yang berarti.
Menurut Mayers, perusahaan kereta harus mempertimbangkan pendekatan jangka panjang, seperti memasang pemisah kursi plastik atau menata ulang bagian dalam gerbong. Strategi ini dia anggap dapat menyokong perusahaan kereta agar dapat bersaing dengan maskapai penerbangan. "Industri perkeretaapian melewatkan peluang ini dengan tidak memasang produk yang sesuai kebutuhan pelanggan saat ini," katanya.
Mengapa kereta bisa tetap populer?
Terlepas dari masalah keamanan, seperti yang baru-baru ini disimpulkan majalah Railway Technology, beberapa tanda mengindikasikan awal keberhasilan kereta pasca-Covid-19. Menurut survei pelanggan yang digelar perusahaan kereta jarak jauh Eurail, banyak penumpang menyebut kereta akan menjadi moda transportasi pilihan mereka di masa depan.
Di China, saat karantina wilayah dicabut, terjadi ledakan dalam perjalanan kereta domestik. Menurut beberapa ahli transportasi, hal serupa dapat direplikasi di Eropa karena orang mencari tempat liburan yang lebih dekat dari rumah. Para peneliti dari perusahaan jasa keuangan UBS memperkirakan, pandemi dapat mempercepat perpindahan pelanggan dari transportasi udara ke kereta. Salah satu alasannya, adalah kesadaran konsumen dan pemerintah terkait isu iklim. Situasi ini, menurut mereka, karena masyarakat dunia belajar mengatasi krisis iklim mengurangi perjalanan udara. Para penumpang juga disebut makin giat mendorong isu lingkungan.
Diperkirakan akan ada sekitar 800 kereta berkecepatan tinggi yang beroperasi di Eropa dalam 10 tahun ke depan. Pada periode yang sama, akan ada pengurangan sekitar 196 pesawat secara global. Situasi itu akan mengurangi pertumbuhan lalu lintas udara global hingga sekitar 4,6% per tahun. Charlene Rohr, dari RAND Europe, yakin layanan kereta dapat menjegal beberapa rute penerbangan di masa depan. Namun dia menyebut perlunya pendorong lain, selain Covid-19 dan lingkungan. Faktor yang akan berpengaruh itu, kata dia, antara lain peningkatan konektivitas digital yang memungkinkan penumpang tetap produktif di kereta dan menurunnya kenyamanan pesawat berbiaya rendah. "Di masa sebelum Covid-19, bandara lebih ramai. Berpergian ke bandara dan dari bandara ke tujuan akhir pun mahal," kata Rohr.
"Tampaknya selalu ada kenaikan biaya untuk fasilitas pemesanan kursi dan bagasi. Perjalanan udara juga semakin membuat stres karena sistem check-in mandiri," tuturnya.
Bagi konsumen milenial dan generasi Z, bepergian dengan kereta sesuai dengan tren mencari perjalanan yang lebih unik dan menggali pengalaman ketimbang harta benda. "Orang kehilangan minat untuk terbang ke tujuan tamasya lama yang telah ditawarkan selama 100 tahun terakhir," kata Anton Trollback dari All Aboard.
"Generasi ini ingin mencari tempat tersembunyi di Eropa. Itu adalah dorongan yang membuat perjalanan kereta sangat nyaman," ucapnya.
Ini adalah pemandangan yang dipaparkan Daniell Courtenay (28 tahun), seorang penulis naskah keturunan Korea-Amerika yang tinggal di Paris. Pada pandemi ini, dia berpergian ke Milan. "Saya menemukan pengalaman sebenarnya saat memandang ke luar jendela kereta. Itu sangat menyenangkan," ujarnya.
"Bagi saya, ada faktor romansa besar yang juga mempengaruhi. Proses yang lambat adalah hal menyenangkan jika kita menganggapnya sebagai bagian, bukan penghalang, dari liburan."
Tantangan jangka panjang
Terlepas dari peluang besar, Marcus Mayers menilai perusahaan kereta akan mengalami masalah pendanaan di masa depan. Pasalnya, kata dia, perusahaan kerap mengandalkan penjualan tiket komuter yang harganya sempat turun. "Sekitar 60-70% dari pendapatan semua perusahaan kereta berasal dari orang yang berpergian dari rumah ke kantor. Jadi pendapatan yang mendukung aset tetap perusahaan kereta saat ini sedang hancur," kata Mayers.
Walau banyak pemerintahan saat ini bertekad menopang jaringan kereta dan berkomitmen mencapai target energi hijau, Mayers menilai masih ada 'lubang hitam dalam keuangan perkeretaapian'. Dia berkata, tidak ada yang tahu bagaimana cara mengatasinya persoalan itu. Calon pelancong juga terjepit Covid-19. Banyak yang kehilangan pekerjaan atau pendapatan. Akhirnya muncul pertanyaan tentang berapa banyak orang yang benar-benar memiliki uang untuk berlibur? Apakah perusahaan kereta api dapat menawarkan harga yang lebih kompetitif daripada maskapai penerbangan, yang juga sangat ingin menutup kerugian?
Komisi Eropa berharap seperangkat peraturan baru yang mereka sebut Paket Kebijakan Kereta Keempat akan meningkatkan persaingan dari perusahaan swasta sehingga akan lebih banyak layanan kereta bertiket rendah. Namun banyak penumpang menilai biaya tiket harus sangat berbeda. "Saya pikir pesawat akan terus memiliki keunggulan dibandingkan kereta api bagi kebanyakan orang, hanya karena harganya sangat murah," kata Danielle Courtenay.
"Akan sulit meyakinkan seseorang yang hanya mendapat liburan 20 hari setahun untuk menghabiskan dua dari mereka di kereta, sambil membayar dua atau tiga kali lipat harga penerbangan," tuturnya.
Terlepas dari berbagai tantangan ini, masih ada keyakinan kuat di kalangan industri kereta bahwa pandemi akan menjadi katalisator perubahan yang positif. "Saya pikir ini lebih merupakan peluang, meski dalam jangka pendek ini adalah situasi ekonomi yang sangat sulit," kata Stephen Ray, Juru Bicara SJ di Stockholm menambahkan, "ini benar-benar mengubah industri, bagaimana kita melakukan perjalanan di masa depan," ujarnya. (*)
Tags : Ditengah Pandemi, Kereta Malam Digemari, Kereta Malam di Swedia,