LINGKUNGAN - Pantai yang ada dalam uang kertas Rp1.000 itu terancam. Kota Ternate terancam dampak dari pembukaan hutan untuk perumahan dan permukiman, galian C, buangan sampah, dan reklamasi pantai. adis belia itu terlihat riang bermain. Ia dan empat orang temannya mencari keong laut, di tepian Pantai Kalumata, Ternate, Sabtu (6/4/2019) siang.
Namanya Maharani. Pelajar usia 13 tahun itu tampak sibuk mengutak-atik batu dan pasir pantai. "Saya senang bermain di sini. Bersama teman, tadi habis olahraga di sekolah langsung ke sini. Tong (kami) cari ikan dan keong," katanya di tepian pantai, Sabtu siang dirilis BBC News.
Lokasi bermain Maharani berbeda dengan anak-anak umumnya yang tinggal di pesisir pantai Pulau Ternate. Ia tak lagi bermain di atas pasir alami pantai pada umumnya. Ini dialaminya karena sebagian besar pesisir di pantai itu telah direklamasi dan dibangun jalan. Pesisir Pantai Kalumata masuk dalam pengembangan jalur reklamasi lanjutan APBD 2019. Di depan pantai itu tampak Pulau Maitara, yang terkenal karena ditampilkan di uang pecahan kertas Rp1.000 yang beredar tahun 2000.
Lokasi bermain anak tersebut hilang jika Pantai Kalumata ditimbun Pemerintah Kota Ternate. Bahkan lokasi yang sering menjadi tempat berteduh dan berkumpul para ibu-ibu, orang tua dari anak-anak pesisir setempat akan dibangun hotel, jalan, dan kafe. "Sepanjang pantai ini dulunya banyak pohon kelapa dan mangrove. Sekarang tidak ada. Sebagian besarnya yang ada di pesisir telah disapu ombak," kata Nona, warga Kalumata, Sabtu sore.
Nona mengisahkan, tahun 2010 hingga 2013, pada jarak kurang lebih 20 meter dari bibir pantai Kalumata, masih ditemukan banyak ikan. "Sekarang jarang. Kalau mancing sudah susah," kata Nona. "Justru sekarang banyak sampah plastik dan pasir hasil galian C." Galian C atau golongan batuan hasil penambangan pasir di Puncak Kalumata terbawa air hujan melalui Jembatan VI Kelurahan Kalumata. Pantai Kalumata menjadi satu-satunya kawasan teraliri pasir itu. Aliran sedimen juga disertai ribuan sampah plastik.
Pulau Ternate merupakan kota di Provinsi Maluku Utara. Luasan kota itu 5.681,30 kilometer persegi dan dikelilingi laut. Sementara, luas daratan 133,74 kilometer persegi dengan kemiringan lereng terbesar di atas 40 persen yang mengerucut ke arah puncak gunung dan wilayah laut 5.457,55 kilometer persegi. Di tengah pulau inilah gunung berapi aktif Gamalama berdiri kokoh. Berkali-kali gunung yang menjadi ikon di Ternate itu memuntahkan abu. Riwayat letusan besarnya terjadi tahun 1775 dan menenggelamkan sebuah kampung di Kecamatan Ternate Barat.
Seiring perkembangan zaman dan populasi penduduk, ancaman yang dihadapi Ternate tak hanya bencana letusan Gamalama. Kota ini terancam dampak dari pembukaan hutan untuk perumahan dan permukiman, galian C, reklamasi pantai, dan sampah. Penumpukan sampah tak hanya terjadi di antara batas laut dan daratan sekitar Jembatan Tapak II. Sebagian besar Kalimati, pesisir, dan pantai, pun ditemukan berbagai jenis sampah berserakan. Data Dinas Lingkungan Hidup menyebutkan penduduk Kota Ternate setiap hari menghasilkan 66 ton sampah. Jumlah sampah yang paling banyak ditemukan berasal Kecamatan Ternate Selatan, Ternate Tengah, dan Ternate Utara sementara sampah di Ternate Barat dan Ternate Pulau hanya 5 ton per hari.
Ridwan Lesy, Dosen Perikanan Universitas Khairun Ternate menyatakan, masalah sampah di Ternate selama ini menjadi problem besar yang tidak pernah selesai. Padahal Pemkot Ternate sudah punya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Ridwan menyarankan, Pemerintah Kota Ternate agar memberikan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi dampak sampah yang berakibat banjir dan berbagai jenis penyakit agar masif dilakukan. Serbuan sampah di pantai sekitar Pulau Ternate pun kian mengukuhkan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik di laut. Pada 2015, Jambeck Research Group merilis laporan penelitian "Plastic waste inputs from land into the ocean" di 192 negara.
Dalam laporan tersebut memuat peringkat 192 negara berdasarkan perkiraan sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik pada 2010. Indonesia turut menyumbang sampah plastik di laut sebesar 1,3 juta ton per tahun, berada di peringkat kedua setelah Tiongkok sebesar 3,5 juta ton per tahun. Sampah plastik yang tidak terkelola (mismanaged plastic waste) di Indonesia sebesar 3,22 juta ton per tahun, di bawah Tiongkok sebesar 8,82 juta ton sampah plastik per tahun. Diperkirakan pada tahun 2025, sampah plastik di Indonesia yang tidak terkelola sebesar 7,4 juta ton per tahun.
Ridwan Lesy, Dosen Perikanan Universitas Khairun Ternate menyatakan, masalah sampah di Ternate selama ini menjadi problem besar yang tidak pernah selesai. Padahal Pemkot Ternate sudah punya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Ridwan menyarankan, Pemerintah Kota Ternate agar memberikan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi dampak sampah yang berakibat banjir dan berbagai jenis penyakit agar masif dilakukan.
Selain sampah, Ridwan menyoroti bahwa sebagian besar pesisir pantai kritis karena aktivitas pengembangan pembangunan yang berdampak pada abrasi pantai dan naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim global. Ridwan mengatakan aktivitas pembangunan yang mengubah bentang darat dan laut itu berdampak terhadap makhluk hidup. Hal itu antara lain seperti intrusi air laut yang masuk ke sumber air bagi PDAM di Ternate Utara.
Selain karena pengambilan pasir, Ridwan mengemukakan abrasi juga disebabkan proses dinamika oseanografi pada pesisir pantai yang berarus dan bergelombang tinggi. Karena itu, ia sangat disayangkan potensi abrasi tersebut kian dipercepat oleh aktivitas pengambilan pasir di hulu hingga hilir. Ridwan mengatakan penanganan abrasi pantai dengan pendekatan betonisasi atau pembangunan tanggul bukanlah solusi. Benteng pelindung yang paling ampuh adalah penggunaan hutan mangrove.
Hutan mangrove sebagai transisi antara batas darat dan laut di pesisir itu punya manfaat besar secara ekologi dan ekonomi. Hilangnya mangrove karena ditebang berarti melepaskan kandungan karbon dari dalam substrat mangrove ke udara. Pelepasan karbon ke atmosfer ini berkontribusi pada pemanasan global. Ahli Geologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Dedy Arif mengemukakan, perubahan tata ruang di Pulau Ternate berdalih untuk memenuhi ketersediaan lahan yang terbatas. Ini menjadi dasar penghilangan hutan di darat, serta mangrove dan padang lamun di pesisir pantai.
Perubahan bentang alam ini, kata Dedy, memicu penurunan permukaan air laut yang lebih tinggi dari daratan. Pengaruh lain, biota laut bermigrasi karena suhu air berubah dan pola pembangunan reklamasi di pesisir pantai yang merusak ekosistem di sekitar. Dedy menjelaskan, hubungan antara bentang darat dan laut secara geologi itu telah memicu proses pengendapan atau sedimentasi. Kawasan pantai dan pesisir yang dulunya adalah laut telah menjadi daratan. Selain perubahan di darat akibat dipicu fenomena geologi, juga disebabkan pembangunan.
Ancaman kerusakan
Kerusakan lingkungan ini pun berdampak pada menghilangnya kekayaan dan keindahan hayati di darat dan laut. Di ekosistem pantai, Aditya Agoes, pengelola dan penyelam Nasijaha Dive Center Ternate menyatakan, karang-karang yang dulunya masih bagus dengan ragam spesiesnya yang unik sekarang sudah berkurang dan hilang. "Banyak yang hilang setelah dilakukan reklamasi pantai," lanjutnya. Di beberapa lokasi pantai yang dulunya bersih, saat ini sudah banyak sampah dan berlumpur.
Aditya menceritakan, spesies laut yang kini telah menghilang itu bermigrasi ke habitat yang baru. Beberapa jenis mulai jarang ditemukan, seperti penyu sisik, mamalia duyung (dugong), dan keong laut. Arga Christyan, Polhut Pelaksana Lanjutan Seksi Konservasi I BKSDA Maluku mengatakan pembangunan di Pulau Ternate belum ramah lingkungan. Sebagian pembangunan mengancam keberlangsungan habitat satwa.
Padahal Ternate merupakan daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi. Pulau Ternate ini menjadi habitat bagi kuskus (phalanger) matabiru, kasturi ternate, hiu sirip hitam, penyu sisik, keong laut, kepiting kenari, serta sejumlah flora dan fauna endemis lain. Ia menyebutkan keberadaan spesies dilindungi itu bakal hilang dan punah apabila tidak didukung dengan upaya pelestarian. Ketika salah satu spesies tidak ada maka keseimbangan ekosistem menjadi pincang. Pulau Ternate sebagai wilayah rawan tsunami dan rentan terdampak perubahan iklim, kata Arga, seharusnya wilayah pesisir itu dibentengi dengan hutan mangrove. "Mangrove ini fungsinya banyak; suplai oksigen, nurserinya ikan, terus pemecah ombak, dan pelindung tsunami," ujarnya.
Meski berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan di Pulau ternate, reklamasi jalan terus. Wali Kota Ternate Burhan Abdurahman mengatakan pembangunan di Ternate sudah dilakukan sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Ternate 2012-2023. "Ini karena RTRW yang ada merupakan rujukan untuk pembangunan kawasan tertentu, kawasan bisnis, pendidikan dan permukiman," kata Burhan.
Wali kota dua periode itu mengakui, meski pembangunan sesuai RTRW namun masih memiliki dampak terhadap lingkungan sekitar. Burhan mengatakan BPBD memiliki rencana untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana maupun dampak dari pembangunan itu. Dia mengatakan mengantisipasi dampak dari perubahan bentang darat dan laut tersebut, Pemkot Ternate setiap tahun mengalokasikan dana APBD untuk kawasan yang dinilai sangat mendesak. "Sehingga menjadi perhatian kami setiap tahun, tapi tidak mungkin kita harus menanganinya satu kali. Karena anggaran kita sangat terbatas," ujar Burhan.
Terkait reklamasi, Burhan menyatakan rencana tersebut masih tetap akan dilakukan dan telah dianggarkan dalam APBD 2019. "Itu dimulai dari Pantai Salero sampai Pantai Dufa-Dufa. Selanjutnya dari Kalumata sampai Pantai Sasa. Itu sudah dianggarkan. Tinggal proses," katanya.
Dokumen Perda RTRW Kota Ternate menyebutkan, kawasan Pantai Salero hingga Pantai Dufa-Dufa akan direklamasi. Tujuannya untuk membangun pusat jasa dan perdagangan baru dengan pembangunan fasilitas ruko, pertokoan, pusat perdagangan IT, hotel, pusat kuliner khas daerah, dan pasar wisata. Kondisi ini sama halnya dengan rencana reklamasi Pantai Kalumata. Bahkan kawasan ini lebih luas hingga mencapai Pantai Rua, Ternate Pulau.
Meski kawasan Pantai Salero merupakan zona reklamasi, namun wilayah itu merupakan kawasan cagar budaya Dodoku Ali. Reklamasi itu dianggap mengabaikan kearifan lokal peninggalan Kedaton Kesultanan Ternate. Padahal, Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, melarang reklamasi yang menghilangkan kearifan lokal.
Selain izin reklamasi depan Dodoku Ali yang menjadi polemik masyarakat di Ternate, juga kawasan hutan mangrove Manggadua. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate menyebutkan, kawasan suaka alam atau pelestarian alam hutan mangrove terdapat di Kecamatan Ternate Selatan, yaitu Kelurahan Manggadua dan Manggadua Utara dengan luas 2,9 hektare. Namun kenyataannya, hutan mangrove Manggadua nyaris habis direklamasi. (*)
Tags : Pulau Ternate, Ancaman Baru, Kerusakan Lingkungan,