News   2024/08/02 17:50 WIB

Kesejahteraan Buruh Migas Merosot Sejak Blok Rokan Dikelola Pertamina, FPE KSBSI: PT PHR Harus Bertanggung Jawab

Kesejahteraan Buruh Migas Merosot Sejak Blok Rokan Dikelola Pertamina, FPE KSBSI: PT PHR Harus Bertanggung Jawab

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Federasi Pertambangan dan Energi [FPE] Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia [KSBSI] menilai buruknya kesejahteraan pekerja migas di Blok Rokan sejak dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan [PHR].

"Kesejahteraan buruh migas merosot sejak Blok Rokan dikelola Pertamina."

"Padahal, kenaikan gaji buruh tiap tahunnya tak sampai untuk membiayai MCU dan treadmill. Ini tak manusiawi dan tidak adil," kata Ketua DPC FPE-KSBSI Kota Pekanbaru, Santoso didampingi Ketua DPC FPE-KSBSI Kabupaten Siak, Swandi Hutasoit tegas Santoso.

Pada sesi pertemuan rapat di Kantor Disnaker Provinsi Riau, Senin 29 Juli 2024 lalu juga dihadiri pihak perwakilan PT PHR dan sejumlah pejabat Disnaker Riau serta Majelis Pertimbangan Organisasi [MPO] KSBSI, Patar Sitanggang.

Serikat buruh migas ini merasakan kemerosotan yang nyata terhadap kemaslahatan pekerja, terutama dialami langsung oleh buruk kontrak yang dipekerjakan oleh vendor (perusahaan alih daya) yang menjadi mitra kerja PHR.

Santoso menegaskan, pihaknya sudah melaporkan secara tertulis sejumlah perusahaan alih daya yang merupakan mitra kerja PHR ke Disnaker Riau, atas temuan terjadinya praktik buruk yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan.

Adapun persoalan yang dialami pekerja yakni terjadinya pembebanan biaya tindak lanjut pemeriksaan kesehatan [MCU] dan treadmill kepada pekerja, bukan ditanggung oleh perusahaan.

Biaya yang harus ditanggung buruh untuk MCU  itu angkanya di atas Rp 1 juta lebih.

Temuan lain yang diungkap adalah tidak dibayarnya uang kehadiran oleh perusahaan alih daya.

Selain itu, sejumlah perusahaan alih daya [vendor PHR] juga tidak membayar uang cuti kepada pekerjanya.

"Ada perusahaan yang tidak membayar uang kehadiran dan uang cuti. Ini sangat ironi," kata Santoso.

"Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di perusahaan vendor di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan. Data yang kami miliki hanya bersifat sampel," terang Santoso.

Menurutnya, beban hidup yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan sangat tinggi. Apalagi, mereka hanya menerima gaji sesuai besaran Upah Minimum Kabupaten/ Kota [UMK], sejak upah minimum sektoral migas dihapuskan.

Dalam kondisi itu, sejumlah buruh kontrak migas terpaksa harus nyambi pekerjaan sampingan lain, yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan daya tahan tubuh mereka.

"Padahal, industri migas katanya merupakan industri strategis vital yang menyumbangkan pendapatan besar untuk negara. Tetapi kehidupan buruh migas jauh dari kata sejahtera alias terpuruk," kata Santoso.

Pihaknya menilai, telah terjadi ketidakseragaman dalam penerapan kontrak kerja antara perusahaan alih daya (vendor) dengan PT PHR. Soalnya, pada beberapa perusahaan lain, uang kehadiran dan cuti diberikan kepada pekerja.

Selain itu biaya MCU dan treatmill juga ada yang ditanggung perusahaan sebagaimana tertuang dalam kontrak.

"Ketidakseragaman dalam penerapan kontrak antara perusahaan alih daya dengan PHR ini menimbulkan tanda tanya, mengapa bisa terjadi. Apakah ini hanya praktik nakal dari perusahaan alih daya atau memang PT PHR tidak melakukan pengawasan terhadap kontrak yang mereka berikan kepada vendornya," tegas Santoso.

Menurutnya, soal kemashalatan dasar buruh kontrak migas seharusnya tidak dipertandingkan lagi dalam lelang kontrak di PHR. Sebagaimana hal tersebut sudah berlangsung sejak Blok Rokan dikelola oleh PT Caltex dan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

"Kok setelah Blok Rokan dikelola Pertamina, kondisinya jadi makin amburadul. Padahal saat dikelola perusahaan asing (Chevron), tak pernah terjadi yang seperti ini. Harusnya setelah dikelola perusahaan BUMN makin baik, bukan malah makin kacau," tegas Santoso.

Ia menyebut, hak-hak dan kemashalatan buruh kontrak migas seharusnya sudah tertuang jelas di dalam kontrak perusahaan alih daya. Sehingga, menjadi ironi jika perusahaan alih daya tidak melaksanakannya.

Pihaknya juga mendesak agar PT PHR membuka diri dengan serikat buruh/ serikat pekerja dalam pembahasan kontrak perusahaan alih daya. Tujuannya untuk memastikan hak-hak buruh tertuang jelas di dalam kontrak dan tak bisa diutak-atik lagi.

"Kontrak-kontrak pekerjaan yang sudah dilelang maupun yang akan dilelang, khususnya terkait dengan hak-hak buruh, harus dibicarakan lebih dulu dengan serikat buruh. Tapi selama ini hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi persoalan," katanya.

Santoso mengingatkan, bahwa serikat buruh merupakan unsur integral dari sistem pengawasan ketenagakerjaan yang menjadi mitra pemerintah.

"Atas dasar itu, serikat buruh berhak mengetahui sebelum kontrak proyek disepakati apakah elemen yang menyangkut hak-hak buruh sudah diakomodir sesuai ketentuan dan aturan," katanya.

Santoso mengingatkan, serikat buruh bisa saja melakukan aksi unjuk rasa maupun mogok kerja yang dilindungi oleh undang-undang. Namun, langkah keras itu akan menjadi pilihan terakhir yang dilakukan jika PT PHR tidak mau bertanggung jawab atas persoalan yang dialami buruh kontrak migas.

"Apa harus demo atau mogok kerja dulu? Sebenarnya itu bisa kami lakukan, tapi kami masih menahan diri sampai batas kesabaran kami habis," pungkas Santoso.

Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) KSBSI, Patar Sitanggang mendesak agar PT PHR dan otoritas independen melakukan audit atas kontrak-kontrak proyek di lingkungan Blok Rokan.

Ia curiga kalau PHR tidak melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan kontrak pekerjaan dengan perusahaan alih dayanya [vendor].

"Owner contract di PHR harus diawasi dan diaudit, apakah mereka telah melaksanakan tugas dengan kredibel. Di zaman Chevron dulu, owner contract itu sangat ketat mengawasi pelaksanaan kontrak oleh vendor. Agar isi kontrak tak bisa diutak-atik," tegas Patar.

Hasil rapat antara FPE-KSBSI, Disnaker Riau dan perwakilan PT PHR, menyepakati dilakukannya pertemuan lanjutan pada Jumat 2 Agustus 2024 di Kantor Disnaker Riau.

Adapun pihak-pihak yang dihadirkan besok yakni pimpinan perusahaan alih daya (vendor), manajemen PT PHR, FPE-KSBSI dan Disnaker Provinsi Riau.

PT Pertamina Hulu Rokan [PHR] menjadi pengelola blok migas Rokan sejak 9 Agustus 2021 lalu untuk masa konsesi selama 20 tahun hingga 2041 mendatang. Sebelumnya, blok minyak terbesar di Indonesia ini dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia. (*) 

Tags : Blok Rokan, Pertamina Hulu Rokan, PHR, Buruh Kontrak Migas, Kesejahteraan Buruh Migas, News,