POLITIK - Ruang politik selalu saja menarik dan penting. Menarik karena secara riil, keterlibatan perempuan dalam politik praktis masih kecil. Penting karena ada begitu banyak hak dan kebutuhan menyangkut perempuan yang bersentuhan langsung dengan keputusan politik.
"Perempuan diharapkan hadir bukan hanya di parlemen, melainkan juga menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Perempuan sebagai kepala daerah diharapkan lebih memahami persoalan perempuan, anak, dan keluarga," kata H Darmawi Aris SE dari Lembaga Melayu Riau [LMR] belum lama ini.
Tantangan perempuan di Pilkada pada Pilkada 2018 lalu, hanya 31 perempuan dari total 342 orang terpilih jadi kepala daerah dan wakil kepala daerah [9,06 %]. Pada Pilkada 2015, hanya 8,7% perempuan menang. Sementara itu, pada 2017, hanya 5,90% perempuan yang menang. Rekapitulasi dari tiga gelombang pilkada serentak, total ada 92 perempuan kepala dan wakil kepala daerah [8,49 %].
Mereka tersebar di 91 daerah [empat provinsi, 69 kabupaten, dan 18 kota] dari 542 yang menggelar pilkada. Ini menegaskan adanya ketimpangan partisipasi perempuan pada pilkada serentak. Jika kita melihat dari latar belakangnya, 31 perempuan pimpinan daerah tersebut [14 orang sebagai kada dan 17 sebagai wakada] didominasi mereka yang mempunyai jaringan kekerabatan [17 dari 31, 54,84%], mantan anggota legislatif [13 dari 31, 41,94%], dan petahana [9 dari 31, 29,63%].
Mereka terpilih dengan rata-rata kemenangan 46,84%. Pada pilkada yang berlangsung akhir tahun ini [2020], "kita akan menyaksikan bagaimana perempuan calon kepada daerah [cakada] berkompetisi memenangi pertarungan."
Menurut Darmawi, Basis dukungan menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan maju. Itu karena basis dukungan akan menjadi mesin kemenangan yang efektif. Yang dimaksud dengan basis dukungan di sini ialah latar belakang kandidat: apakah ia kader partai, apakah ia memiliki kedekatan dengan elite politik tertentu, apakah ia memiliki jaringan kekerabatan yang besar, apakah ia memiliki keterkaitan dengan orang yang berpengaruh di daerah atau pernah menjabat sebagai anggota DPR, atau sebagai petahana.
Dia melihat, bagi kandidat perempuan yang pernah menjadi anggota DPRD Riau, Kabupaten/Kota atau pejabat publik, memiliki hubungan dengan oligarki di daerahnya, dan memiliki dukungan dari partai politik, kesempatan mereka menjadi kepala daerah lebih besar. Selain basis dukungan tadi, basis kekuatan finansial juga menjadi pertimbangan. Selama ‘isi tas’ menjadi syarat tidak tertulis dalam proses pencalonan, boleh dikatakan peluang perempuan dicalonkan partai menjadi kecil. Jika perempuan memilih mencalonkan diri dari jalur perseorangan (independen), perjuangan yang harus dijalaninya jauh lebih berat.
"Dalam Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 2016, mensyaratkan adanya jumlah minimal dukungan calon perseorangan yang dibuktikan dengan pengumpulan KTP dan NIK. Besarannya mengacu pada persentase tertentu berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Jika syarat dukungan terpenuhi, tetap saja kandidat perempuan harus berhadapan dengan persoalan biaya politik."
Tingginya biaya politik, kata Darmawi, dalam proses kampanye menjadi tantangan besar bagi perempuan. Selain itu, masalah kecurangan dan money politic merupakan tantangan lain bagi perempuan cakada. Strategi kampanye dan hubungannya dengan akar rumput juga menjadi penentu karena nasibnya bergantung pada pilihan rakyat. "Kita berharap pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ini bisa menghadirkan kontestasi yang berintegritas," harapnya.
Semua elemen yang terlibat, baik partai politik, penyelenggara pemilu, maupun kandidat dan tim suksesnya, harus patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. Dukungan untuk perempuan cakada Pilkada Serentak 2020 ini akan dilaksanakan di Riau.
Tapi bagaimana supaya menjadi ajang meningkatkan keterwakilan perempuan di eksekutif?
1. Perlu penerapan kebijakan affirmative action dalam desain aturan main penyelenggaraan pilkada serentak dengan cara mempermudah syarat pencalonan bagi perempuan calon kepala daerah. Misalnya, mengurangi syarat minimal dukungan bagi perempuan yang maju melalui jalur perseorangan dan mengurangi ambang batas bagi partai politik yang mencalonkan perempuan.
2. Partai politik harus menerapkan mekanisme kuota pencalonan perempuan di internal parpol untuk meningkatkan jumlah calon perempuan pada pilkada.
3. Partai politik harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kader perempuan yang memiliki kapasitas untuk maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan memberikan dukungan maksimal baik morel maupun materiel dan bantuan insentif dari negara berupa biaya kampanye bagi perempuan cakada pada pilkada.
4. Perempuan cakada diharapkan menyampaikan komitmen memperjuangkan kepentingan perempuan, anak dan keluarga pada masa kampanye, serta jangan sampai melupakannya saat telah menjabat.
5. Mengajak masyarakat untuk memilih perempuan cakada pada Pilkada Serentak 2020.
6. Penting, mengingatkan masyarakat bahwa perempuanlah yang paling memahami kepentingan perempuan, memperjuangkan isu-isu perempuan dan anak. Pun menurunkan angka kemiskinan perempuan, menghapus kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas perempuan dan anak dengan melahirkan kebijakan properempuan, anak, dan keluarga.
Majunya perempuan di iklim demokrasi
Sementara Pengamat Komunikasi Politik, Aidil Haris mengakui, mulai banyaknya cakada dari kalangan perempuan menandakan kemajuan iklim demokrasi di suatu wilayah. Hanya saja, dalam kontestasi pilkada hal tersebut akan dipengaruhi oleh budaya politik di wilayah tempatan. Bakal calon dari kaum hawa kini tersebar di Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Siak, Kabupaten Kuansing dan Kabupaten Bengkalis.
"Dalam konteks politik berdemokrasi tentu tidak ada persoalan. Tapi secara kultural mugkin lain cerita. Secara umum, karena kultur melayu yang begitu kental, dominasi pria itu lebih besar ketimbang perempuan. Faktor ini bisa mempengaruhi pemilih," kata Aidil Haris dalam bincang-bincangnya, Minggu (26/7/2020) kemarin.
Aidil mencontohkan pemilihan walikota (pilwako) Pekanbaru tahun 2011 silam. Saat itu Septina Primawati-Erizal Muluk kalah dalam kontestasi menghadapi Firdaus-Ayat Cahyadi. "Rekam jejak pilkada di Riau tingkat kabupaten, setahu saya belum pernah diwarnai kemenangan dari kalangan perempuan. Tapi mungkin saja pada pilkada 2020 kemenangan itu terjadi karena pengaruh sejumlah faktor," tukasnya.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPW PKS Provinsi Riau, Makarius Anwar, menyebut majunya sosok perempuan pada pilkada 2020 bukan secara spontan. Namun, juga berdasarkan pertimbangan kewilayahan. "Bagi PKS tidak tabuh untuk mengusung perempuan. Tapi memang itu melalui pertimbangan internal, misalnya di Kabupaten Siak. Kita berharap ada captive market pemilih perempuan yang bisa terserap oleh Bu Reni Nurlita," jelasnya. Reni yang merupakan wakil bagi bakal calon bupati Sayed Abubakar Assegaf untuk pilkada Kabupaten Siak. Pasangan ini telah meraih dukungan dari Partai Demokrat dan PKS. Sambung Makarius, tampilnya sosok perempuan dalam gelaran pilkada merupakan cara agar kepentingan politik kaum hawa dapat terakomodir. "Bukan berarti tanpa sosok perempuan, kepentingan kaum hawa terpinggirkan. Namun, jika calon itu dari perempuan, tentu mereka lebih paham aspirasinya seperti apa. Untuk PKS, pilkada 2020 kader kita maju di posisi calon wakil kepala daerah," sebut Aidil Haris menambahkan selain Reni Nurlita di Kabupaten Siak, sosok perempuan lainya diketahui maju di Kabupaten Bengkalis yakni Kasmarni. Sedangkan Rezita dan Siti Aisyah akan berlaga di pilkada Kabupaten Indragiri Hulu. Terakhir, Konferensi maju di pilkada Kabupaten Kuansing. (*)
Tags : PilkadaSerentak, Perempuan, Pemimpin Perempuan, Pilkada Riau 2020,