PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kebijakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menghapus kewajiban skripsi disambut baik pemerhati pendidikan seperti Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri.
Tidak harus berbentuk skripsi, sekarang tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan juga dapat berupa prototipe, proyek, atau bentuk lainnya yang dikerjakan secara individu maupun berkelompok.
Kewajiban menulis skripsi sebagai syarat kelulusan, praktik yang tidak diterapkan di banyak universitas di luar negeri, selama ini kerap dikritik — mulai dari menghambat kelulusan mahasiswa sampai hanya berguna mengisi rak perpustakaan kampus.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) terbaru juga menghapus kewajiban bagi lulusan magister (S2) dan doktor (S3) untuk menerbitkan makalah ilmiah di jurnal terakreditasi atau jurnal internasional.
Bagaimanapun, LP3 Anak Negeri tetap berharap lulusan perguruan tinggi memiliki kemampuan untuk menulis karya ilmiah.
Apakah skripsi akan dihapus?
Peraturan terbaru menteri Nadiem sesungguhnya tidak mengharamkan skripsi namun menyatakan bahwa tugas akhir tidak harus berbentuk skripsi.
Perguruan tinggi dan program studi diberi kebebasan untuk merancang sendiri standar kelulusan mahasiswa, sementara Mendikbudristek menentukan kompetensi minimalnya saja.
Misalnya, lulusan program sarjana (S1) minimal dapat “menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan dan keterampilan tertentu secara umum dan khusus untuk menyelesaikan masalah secara prosedural sesuai dengan lingkup pekerjaannya”.
Jadi, apakah mahasiswa akan wajib mengerjakan skripsi atau tidak supaya bisa lulus kuliah diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing.
“Kalau perguruan tinggi itu merasa memang masih perlu skripsi atau yang lain itu adalah haknya mereka. Jadi jangan lupa reformasinya,” Nadiem menegaskan dalam pertemuan dengan Komisi X DPR, Rabu (30/08/2023) kemarin.
“Jadi jangan keburu senang dulu. Tetapi tolong dikaji dulu. Itu masing-masing perguruan tinggi haknya. Sama juga dengan jurnal," dia menambahkan.
Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 juga menghapus kewajiban bagi lulusan S2 dan S3 untuk membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional.
Nadiem menegaskan bahwa lulusan S2 dan S3 tetap wajib diberi tugas akhir dalam bentuk tesis/disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis tetapi tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal ilmiah. Bentuk tugas akhirnya ditentukan oleh prodi atau perguruan tinggi.
Kewajiban publikasi di jurnal ilmiah ditetapkan dalam Surat Edaran Publikasi Karya Ilmiah yang diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada tahun 2019, sebelum digabung dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kemendikbudristek pada 2021.
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini sudah mengetahui bahwa ini mulai aneh, kebijakan ini, legacy (warisan) ini. Karena ada berbagai macam program, prodi, yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya dengan cara lain," kata Nadiem saat mengumumkan kebijakan baru ini, Selasa (29/08).
Wakil rektor bidang kemahasiswaan dan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito mengatakan pihaknya akan mengkaji kebijakan baru Mendikbudristek; dia menambahkan bahwa beberapa prodi di UGM sudah menerapkan beragam bentuk tugas akhir selain skripsi.
“Di FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) misalnya, dia (mahasiswa) bisa membuat karya apakah film apakah magang itu bisa jadi skripsi juga, hanya namanya tugas akhir. Itu bisa beragam tidak seperti skripsi konvensional,” kata Arie.
Bagaimanapun, Arie berharap ide Nadiem untuk memberi keleluasaan kepada prodi itu bisa sejalan dengan kebijakan-kebijakan lain di kementeriannya. Maksudnya, tidak menambah beban baru kepada dosen.
“Sekarang beban baru dosen masih buanyak itu. Idenya Nadiem itu harus in-line dengan policy-nya, juga in-line memberi kelonggaran bukan menambah beban,” ujarnya.
Kebijakan menghapus kewajiban skripsi ini mendapat sambutan baik di kalangan mahasiswa.
Selama ini, skripsi tidak jarang menjadi ganjalan yang membuat mahasiswa lulus lebih lama. Nilainya sebagai karya akademik juga kerap dipertanyakan.
Ibrahim misalnya, mahasiswa semester 5 Fisipol di Universitas Islam Riau, mengaku “cukup kaget dan senang” saat pertama kali mendengar kabar tentang penghapusan kewajiban skripsi.
Ibrahim mengatakan daripada skripsi, dia lebih suka membuat proyek seperti inovasi makanan.
“Awalnya saya berpikir pembuatan skripsi cukup sulit sehingga jika ada bentuk lain dari tugas akhir, saya akan mencobanya terutama proyek-proyek karena menurut saya hal tersebut lebih menarik,” ungkapnya.
Teman satu jurusan Ibram, Rita mengatakan dia sebenarnya tidak keberatan menulis skripsi karena mahasiswa jurusan Administrasi Negara sudah terbiasa menulis laporan akademik. Pasalnya, dia merasa skripsi tidak dibutuhkan ketika masuk ke dunia kerja.
“Kayaknya dari pihak perusahaan atau recruiter juga enggak perlu tahu skripsi apa yang saya buat tapi mereka akan lihat proyek-proyek yang saya buat semasa kuliah,” ujarnya.
Rita, mahasiswa semester tiga jurusan teknik sipil di Universitas yang sama, mengaku memandang skripsi sebagai salah satu faktor yang kadang-kadang membuat kakak tingkatnya lulus lebih lambat dari yang direncanakan.
Namun, katanya, di prodi teknik sipil tugas akhir tidak hanya dalam bentuk skripsi tetapi ada juga proyek-proyek dengan pembuatan laporan yang “hampir sama kayak skripsi” – dan itu termasuk elemen utama yang memengaruhi kelulusan.
“Untuk saat ini saya realistis aja sebagai mahasiswa apalagi saya masih semester 3 dan skripsi itu juga masih lama jadi saya merasanya kayak senang,” kata Rita.
“Tapi saya masih enggak tahu semisal nanti pengganti skripsinya ini ternyata lebih sulit dari skripsi.”
Seorang mahasiswa program doktoral di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bicara dengan syarat anonim, mengaku akan “senang banget” jika senat ITB memutuskan untuk ikut kebijakan Nadiem menghapus syarat publikasi di jurnal ilmiah. Karena itu akan memungkinkan dia untuk lulus lebih cepat.
Dia menjelaskan, proses pembuatan dan penerbitan makalah di jurnal ilmiah biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dan mahasiswa tidak bisa mengajukan untuk sidang disertasi jika belum diterima.
“Jadi agak memberatkannya itu ketika kita harus menambah waktu untuk menulis [paper] dan menunggu accepted-nya si paper itu. Dan kalau misalkan nambah waktu kan nambah biaya lagi ya buat perkuliahannya,” ungkapnya.
Pemerhati pendidikan LP3 Anak Negeri, Wawan Sudarwanto menilai kebijakan Menteri Nadiem sudah tepat. Namun dia mengingatkan agar keterampilan mahasiswa untuk menulis karya ilmiah jangan sampai hilang.
Menurut Wawan, meskipun skripsi sudah tidak diwajibkan, harus tetap ada mata kuliah-mata kuliah yang menunjang pembuatan karya tulis ilmiah, misalnya metode penelitian.
“Tetap harus ada praktik menulis karya tulis ilmiah walaupun namanya tidak harus skripsi tapi metode ilmiahnya tetap harus dia kuasai,” katanya.
Namun dia tidak setuju bila lulusan S2 dan S3 tidak lagi diwajibkan menulis makalah untuk diterbitkan di jurnal karena kualifikasi yang diharapkan dari program-program tersebut lebih tinggi dari S1.
Pandangan yang sama diungkapkan oleh Suci, mahasiswa S2 jurusan bioteknologi di UGM. Dia khawatir mahasiswa tidak bisa menulis laporan ilmiah setelah skripsi tidak lagi wajib.
“Ilmu untuk bikin jurnal dan bagaimana cara publish dan sebagainya itu mahasiswa harus dapat. Itu mahal ilmunya,” kata Suci, yang mengambil S1 jurusan mikrobiologi.
Sebagai mahasiswa jurusan sains, Suci melakukan penelitian untuk tugas akhirnya dan melaporkannya dalam bentuk skripsi. Kalau skripsi tidak lagi wajib, ujarnya, jangan-jangan proyek tugas akhir hanya jadi file PowerPoint saja.
“Aku pribadi merasa gara-gara ngerjain TA (tugas akhir) dan skripsilah yang bikin mahir di bidang mikrobiologi. Kalau itu enggak ada, ya wassalam". (*)
Tags : kewajiban skripsi, mahasiswa tidak diharuskan skripsi, pendidikan, kaum muda, hapus kewajiban skripsi,