Headline Artikel   2023/07/16 20:55 WIB

Kini Semakin Banyak Orang yang 'Tidak Mencuci Baju', 'Bahkan Sampai Tidak Sama Sekali'

Kini Semakin Banyak Orang yang 'Tidak Mencuci Baju', 'Bahkan Sampai Tidak Sama Sekali'

MUNGKIN terdengar sedikit aneh, sebagian orang mulai mempunyai kebiasaan jarang mencuci baju. Gerakan 'tidak mencuci' pakaian mulai tumbuh, bagaimana cara praktiknya?

Kini semakin banyak orang yang mempunyai kebiasaan jarang mencuci baju... atau tidak mencucinya sama sekali.

Bryan Szabo dan timnya menghabiskan waktu berjam-jam untuk meneliti foto-foto jin yang sudah usang, termasuk jin yang sudah memudar, dengan kontras warna tinggi, pola sarang lebah di lutut, dan garis garis sekitar area selangkangan. 

Di platform online, mereka memuji orang-orang yang berhasil memudarkan jinnya. "Pemudaran di daerah selangkangan ini sangat bagus!" kata mereka. 

Atau: "Pemudaran yang halus dan serasi, hampir mendekati sempurna, dengan warna biru yang spektakuler." Yang terakhir inilah pemenangnya.

Ini adalah penjurian Indigo Invitational, tempat orang-orang dari seluruh dunia mengenakan jin raw denim selama setahun.

Para peserta dalam kompetisi ini bukan hanya pemudar warna jeans terbaik di dunia. Mereka juga juara dalam hal lain: denim yang jarang dicuci.

Denim menjadi lebih lembut ketika basah dan berbusa. Salah satu kunci untuk mencapai pola kontras tinggi adalah menghindari pencucian.

Strategi ini diikuti oleh semua orang, mulai dari anggota klub anti-mencuci hingga CEO Levi's.

Szabo memulai kebiasaan jarang mencuci ketika dia membeli jin 'raw denim' pertamanya pada 2010.

Saat itu dia sedang bepergian dari negaranya, Kanada, ke Eropa. Dia membawa jin selama enam bulan perjalanan.

"Keunikan saya adalah saya memiliki celana jin bau ini," katanya seperti dirilis BBC Culture.

"Baunya tidak enak."

Di Budapest dia bertemu calon istrinya, dan jin menjadi karakter khusus dalam hubungan mereka. "Celana-celana jin saya menumpuk di lantai, di ujung tempat tidur," kata dia mengenang.

"Jika masuk ke kamar, baunya tercium. Saya sangat beruntung karena istri saya tetap tertarik dengan saya."

Indigo Invitational memasuki tahun keempatnya pada Januari mendatang. Di antara para peserta, lebih dari 90% memakai celana mereka sebanyak 150-200 kali sebelum dicuci untuk pertama kalinya, menurut perkiraan Szabo.

"Celana-celana ini akan diikutkan dalam kompetisi di akhir tahun, dan saya tidak ingin dekat-dekat," katanya. "Baunya mungkin tidak enak."

Beberapa pemakai raw denim lainnya melangkah lebih jauh, mengikuti apa yang disebut "filosofi tidak pernah mencuci".

"Di ruang yang sangat sempit seperti lift kecil atau semacamnya, jika pria itu mengenakan denim tertentu, baunya bisa sedikit tercium," katanya.

"Beberapa contoh pemudaran terbaik juga ditampilkan di pameran dagang jin. Ada aromanya... bukan bau yang tidak enak, tapi ada aromanya."

Alih-alih beralih ke mesin cuci, pemakai raw denim belajar cara lain untuk merawat pakaian mereka, seperti menjemurnya di bawah sinar UV ("Saya menyebutnya mandi matahari," kata Szabo) atau hanya mengangin-anginkannya semalaman.

Szabo sendiri juga menggunakan mesin cuci. "Begitu dia [istri saya] mencium bau jin saya, dia memberi tahu saya, lalu jin-jin itu langsung menuju ke ruang cuci."

Pemakai jeans bukan satu-satunya orang yang mengurangi frekuensi mencucinya.

Pada 2019, desainer Stella McCartney menjadi berita utama karena menceritakan kebiasaannya yang jarang mencuci baju.

Dia mengatakan kepada Guardian: "Pada dasarnya, dalam hidup ada aturan praktis: jika sesuatu tidak benar-benar harus dibersihkan, jangan bersihkan.

Saya tidak mengganti bra saya setiap hari dan saya bukan tipe orang yang langsung memasukkan baju ke dalam mesin cuci setelah dipakai. Saya sendiri sangat higienis, tapi saya bukan penggemar dry cleaning atau pencucian apa pun, sungguh."

Yang lain memikirkan kembali kebiasaan mencuci mereka karena kekhawatiran terhadap lingkungan atau kenaikan biaya listrik.

Szabo mengatakan sebagian besar penggemar denim dimotivasi oleh estetika yang "secara tidak sengaja berkelanjutan".

Mac Bishop, pendiri perusahaan pakaian Wool & Prince, menjelaskan bahwa ketika mempromosikan merek perempuan Wool& dia mengubah fokusnya pada "kenyamanan dan kesederhanaan", yang selaras dengan konsumen pria, "terutama mereka yang sudah tidak suka mencuci pakaian".

Sebagai korban iklan pencucian seksis selama puluhan tahun, menurutnya perempuan lebih sulit diperkenalkan pada pikiran untuk tidak mencuci baju.

Riset mengatakan bahwa untuk perempuan, alasan lingkungan akan lebih mudah diterima.

Setelah terpapar iklan binatu seksis selama berabad-abad, para perempuan menjadi kurang responsif terhadap gagasan tidak mencuci pakaian, menurut dia.

Dan penelitian yang mendukungnya, menunjukkan bahwa untuk para perempuan, lingkungan hidup adalah alasan yang lebih efektif.

Saat ini, merek Wool& menjual pakaian wol dari domba merino, dengan "menantang" pelanggan mengenakan pakaian yang sama setiap hari selama 100 hari.

Pelajaran yang diambil adalah "berkurangnya jumlah cucian karena mengenakan merino setiap hari," menurut Rebecca Eby dari Wool&.

Salah satu pelanggan Wool& adalah Chelsea Harry dari Connecticut, USA.

"Saya dibesarkan di sebuah rumah tempat semuanya dicuci setelah digunakan," kata perempuan itu.

"Handuk dicuci setelah sekali pakai, piyama setelah sekali pakai."

Suatu musim panas, Harry tinggal bersama neneknya, yang mengajarinya untuk meletakkan piyamanya di bawah bantal di pagi hari dan memakainya lagi pada malam berikutnya.

Belakangan, dia bertemu dengan suaminya, yang katanya, "hampir tidak pernah mencuci pakaian."

Kemudian, selama pandemi, Harry mulai mendaki. Inilah saat segalanya benar-benar berubah.

"Jelas Anda tidak bisa mandi setelah berjalan sepanjang hari dan tidur di tempat tidur gantung atau tenda," katanya.

Orang lain di komunitas hiking merekomendasikan pakaian dalam ExOfficio, yang bisa dipakai keesokan harinya atau dicuci dan dikeringkan dengan cepat.

Setelah menggunakan merek pakaian itu dan pakaian wol lainnya, Harry menemukan dia bisa mendaki dan melakukan perjalanan selama berhari-hari dan tetap merasa nyaman.

"Kemudian," katanya, "Saya mulai berpikir: Mengapa saya tidak melakukan ini dalam kehidupan sehari-hari?"
Aroma dan kepekaan

Harry tidak khawatir dengan bau. "Saya mempercayai hidung saya," katanya.

Mengenakan pakaian baru dengan campuran wol yang berbeda, dia bisa mencium bau dirinya sendiri - sesuatu yang tidak pernah terjadi pada pakaiannya yang lain, katanya, bahkan saat dia bepergian ke daerah tropis seperti Timur Tengah di musim panas.

Seperti Szabo, dia menggunakan trik untuk menghindari pencucian: Menganginkan pakaiannya semalaman, menyemprotkan cuka atau vodka ke ketiaknya.

"Saya sangat suka, ketika di penghujung hari saya menggantung pakaian berbahan wol, legging wol, kaus kaki wol," katanya. "Saya menggantungnya di jendela, kemudian mandi, memakai pakaian dalam ExOfficio, dan di pagi hari, saya memakai baju-baju itu lagi."

"Salah satu hal terburuk bagi daya tahan pakaian adalah pencucian," demikian kata Mark Sumner, dosen mode berkelanjutan di University of Leeds.

Saat dicuci, katanya, pakaian bisa robek, menyusut, dan kehilangan warna.

Bersama rekannya Mark Taylor, Sumner mempelajari bagaimana serat mikro dari cucian rumah tangga berakhir pada hewan laut.

Dia memang mengatakan mengurangi frekuensi mencuci pakaian kita adalah pilihan yang tepat untuk lingkungan, tapi dia tidak mendukung gerakan tidak mencuci sama sekali.

"Kami tidak ingin orang berpikir bahwa mereka tidak bisa mencuci karena pencucian menghancurkan planet ini," kata Sumner kepada BBC Culture.

"Ini soal mencoba mendapatkan keseimbangan dengan benar." 

Mencuci pakaian penting untuk alasan medis dan kebersihan, katanya, misalnya untuk penderita eksim yang berusaha menghindari iritasi yang disebabkan oleh bakteri alami kulit yang berkembang biak di dalam pakaian kita.

Penting juga untuk harga diri orang agar "tidak merasa malu dengan pakaiannya karena kotor atau bau".

Jika Anda terpengaruh orang lain untuk menentukan seberapa sering Anda perlu mencuci, pikirkan lagi.

Mengenai kebiasaan mencuci, kata Sumner dan Taylor, tidak ada rata-rata: Kita semua menggunakan suhu pencucian, siklus pencucian, dan kombinasi warna dan kain yang berbeda.

Dan para ilmuwan sendiri menghadapi teka-teki yang sama seperti kita semua. "Saya sudah berkutat dalam industri tekstil kira-kira selama 30 tahun," kata Sumner.

"Dan saya tahu bahan katun perlu dipisahkan dari bahan sintetis, dan warna putih dipisahkan dari warna lain... Tapi terus terang, saya tidak punya waktu."

Tampaknya, pendekatan terbaik adalah bersikap fleksibel. "Jika pakaian tidak berbau, jangan repot-repot [mencucinya]," kata Sumner.

"Dan saat mencuci, lakukan apa yang diperlukan untuk membersihkan, tapi dengan cara yang paling efektif."

Cuci pakaian pada suhu yang lebih rendah, sarannya, atau cuci sebentar tanpa deterjen.

Selain itu - terlalu sering mencuci pakaian bisa menghabiskan waktu dalam hidup Anda. Siapa yang punya waktu?

"Saya sangat tertarik dengan isu keberlanjutan, pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam," kata Harry. "Tapi saya juga peduli dengan waktu."

Szabo juga peduli dengan keberlanjutan, tetapi juga memiliki alasan lain untuk tidak terlalu bersemangat mencuci.

"Saya punya hal lain yang harus dilakukan," katanya. "Saya punya anjing untuk diajak jalan-jalan". (*)

Tags : semakin banyak orang tidak mencuci baju, gaya hidup berkelanjutan, gaya hidup,