JAKARTA - Pegiat lingkungan dan warga yang terkena dampak pengolahan batubara mempertanyakan langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang baru menindak perusahaan-perusahaan penyebab polusi udara baru-baru ini, padahal keluhan sudah disampaikan sejak empat tahun lalu.
Berdasarkan pantauan LSM Walhi sejumlah perusahaan pengolahan dan penyimpan batubara atau stockpile di Marunda, Jakarta Utara, membuat kesehatan warga di sana terganggu bahkan ada yang sampai mengganti kornea mata.
Tapi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak disalahkan dan mempertanyakan pengawasan serta pembinaan KLHK kepada perusahaan.
Sejauh ini KLHK telah menghentikan aktivitas tiga perusahaan stockpile dan pabrik kertas, serta menangkap empat orang karena membakar limbah elektronik.
Manajer Program Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menilai langkah KLHK yang menghentikan operasional tiga perusahaan penyimpan batubara atau stockpile dan satu pabrik kertas di wilayah Marunda, Cakung, serta Karawang sangat terlambat dan cenderung reaktif.
Jika KLHK melakukan pengawasan dengan benar, maka tindakan penutupan dilakukan sejak lama bukan ketika persoalan polusi udara ramai diperbincangkan publik baru-baru ini.
Apalagi, kata Amalya, pelanggaran yang dilakukan perusahaan stockpile di Marunda cukup berat yakni tak memiliki Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang rinci.
"Pemerintah semestinya dari awal sebelum izin dikeluarkan memperhitungkan daya tampung dan daya dukung suatu lingkungan. Kalau tidak memenuhi itu, jangan keluarkan izin," ujar Amalya seperti dirilis BBC News Indonesia, Kamis (24/08).
Untuk diketahui, RKL adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari suatu kegiatan. Sedangkan RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan yang terkena dampak akibat kegiatan.
Ketua Kampanye Walhi DKI Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan pantauan lembaganya terhadap perusahaan stockpile batubara yang berdekatan dengan warga Rusun Marunda sangat menyedihkan.
Warga di sana, sambungnya, selalu dihujani debu batubara. Bahkan ada satu warga sampai harus mengganti kornea mata.
Persoalan ini sudah dilaporkan sejak 2018, tapi Pemprov DKI Jakarta baru menindak satu perusahaan yakni PT KCN pada 2022 - karena mencemari lautan dan debunya mengganggu warga sekitar.
Sementara di sana setidaknya ada empat perusahaan stockpile yang tempatnya terbuka.
"Kami bisa bilang pengawasan KLHK lamban, bukan tidak kerja tapi lamban. Baru ketika ada desakan dari masyarakat gerak cepat. Itu yang kami sayangkan," imbuh Muhammad Aminullah.
"Kalau dari dulu mereka menindak perusahaan yang tidak sesuai prosedur aktivitasnya bisa membantu mengurangi dampak polusi udara."
Aminullah juga mempertanyakan pengawasan yang dilakukan KLHK maupun Pemprov DKI terhadap industri manufaktur yang menggunakan batubara untuk bahan bakar energi listrik.
Catatan Walhi pada 2020, setidaknya ada 900 cerobong asap aktif di sekitar Jakarta. Dari jumlah itu, hanya 400-an yang memiliki alat penyaring.
Industri-industri manufaktur yang menggunakan PLTU batubara captive semacam ini, klaim dia, belum tersentuh semua.
Baru satu perusahaan pulp dan kertas yaitu PT Indo Deli 3 di Karawang yang dihentikan operasionalnya oleh KLHK kemarin.
"Jadi perusahaan itu menyuplai memakai batubara sendiri, tanpa menggunakan listrik dari PLN. Mestinya sekarang dikembangkan audit hukumnya ke sana."
Itu mengapa, kata Aminullah, KLHK seharusnya jangan berhenti pada penutupan aktivitas perusahaan saja. Tapi harus menyeret mereka ke jalur pidana jika terbukti melakukan kejahatan lingkungan sebagai efek jera.
Selain itu KLHK juga harus transparan soal data perusahaan yang menggunakan batubara. Tujuannya agar masyarakat sekitar tahu bahaya yang mereka hadapi.
"Data perusahaan itu untuk mencermati, apakah berkontribusi pada polusi. Jangan-jangan ada di sekitar kita."
Dan yang tak kalah penting, sambungnya, pemerintah harus sudah membangun sistem peringatan dini polusi layaknya bencana banjir.
Dengan sistem itu masyarakat jadi tahu harus berbuat apa ketika udara di sekitarnya sudah masuk kategori tidak sehat atau berbahaya.
"Karena polusi udara ini sudah memakan korban dan terjadi secara lama. Kami rasa sudah layak disebut bencana."
"Ketika Indeks Kualitas Udara (AQI) menunjukkan angka sekian apa yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah sudah tahu."
"Misal membatasi kendaraan pribadi atau mengimbau kelompok rentan tidak keluar rumah. Pemerintah perlu menyusun itu."
Sistem peringatan dini polusi udara seperti ini pernah dilakukan China yang kala itu mendeklarasikan aksi nasional melawan polusi udara dari kurun waktu 2013 sampai 2020, kata Aminullah.
Perusahaan apa saja yang ditutup KLHK?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut dua sumber utama polusi udara di Jakarta berasal dari asap kendaraan bermotor dan kegiatan industri berbasis batubara.
Untuk mengendalikan sumber polusi dari industri, KLHK menghentikan kegiatan empat perusahaan. Kendati tidak dijelaskan apakah penghentian ini permanen atau sementara.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, berkata keputusan ini ditempuh setelah Satgas Pengendalian Pencemaran Udara Jabodetabek mengawasi dan menindak sumber-sumber pencemar tak bergerak.
Seperti PLTU maupun PLTD berbasis batubara, industri, pembakaran sampah terbuka, limbah elektronik, dan lain-lain di wilayah Jabodetabek.
"Kami fokus terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran PM2.5. Apabila dalam pengawasan kami menemukan pelanggaran lain kami juga melakukan penindakan," ujar Rasio Ridho dalam konferensi pers di Jakarta seperti dilansir kantor berita Antara, Rabu (24/08).
Empat perusahaan yang dihentikan tersebut adalah:
Satgas KLHK menyebut PT Wahana Sumber Rezeki dan PT Unitama Makmur Persada selama menjalankan kegiatan tidak memiliki Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang rinci.
Sedangkan PT Maju Bersama Sejahtera disebut melakukan pelanggaran terkait ketidaksesuaian dokumen lingkungan dengan kondisi di lapangan.
Adapun pada kegiatan dumping limbah sisa pembakaran batubara atau FABA dan cerobong di PT Pindo Deli 3, Satgas KLHK menyebut terjadi kesalahan dalam lubang sampling yang tidak memenuhi ketentuan teknis.
Selain menghentikan operasional empat perusahaan, KLHK juga sedang melakukan pengawasan terhadap lima perusahaan lainnya.
Semisal perusahaan peleburan baja dan logam di Pulo Gadung Jakarta Timur yakni PT Master Steel dan PT Indonesia Voda Steel.
Kemudian pabrik kertas yang menggunakan batubara untuk bahan bakarnya di PT Aspex Kumbong, Bogor dan PT Indo Deli, Bekasi.
Ada juga pabrik semen PT Jui Shin Indonesia yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat.
Untuk diketahui pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri manufaktur berbasis batubara tidak hanya menghasilkan pencemar sulfur dioksida (SO2), tapi juga nitrogen oksida (NOx), partikulat matter (PM2.5), dan merkuri (Hg) -yang menyebar di atmosfter dan membahayakan kesehatan manusia.
Termasuk menyebabkan stroke, penyakit jantung, asma, infeksi pernapasan, penyakit paru, dan kanker.
Meskipun angka penggunaan batubara hanya 4%, namun menghasilkan emisi sulfur dioksida sebesar 64%.
Adapun sektor industri energi adalah penghasil emisi sulfur dioksida kedua terbesar dengan angka 1.071 ton per tahun.
Pengusaha: Selama ini KLHK ke mana saja?
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, sangat menyesalkan tindakan KLHK yang menutup operasional empat perusahaan di Jakarta dan Karawang.
Kata dia, semestinya sebelum menutup KLHK melakukan pembinaan terlebih dahulu dan mencari solusi terbaik bukan langsung menutup.
Sebab tindakan itu, klaimnya, merugikan banyak pihak.
"Kalau satu perusahaan mempekerjakan 1.000 orang yang tidak dikasih makan bisa lebih dari itu. Kan karyawannya punya anak dan istri. Bagaimana nasib mereka?" ujar Nurjaman.
"Ini yang kami sayangkan, mestinya edukasi dulu, dibina. Kalau masih melanggar silakan ditutup. Selama ini KLHK ke mana saja?"
"Sekarang kalau ditutup siapa yang bayar upah karyawan? Apa KLHK mau tanggung jawab pada perusahaan kami?"
Untuk diketahui pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri manufaktur berbasis batubara tidak hanya menghasilkan pencemar sulfur dioksida (SO2), tapi juga nitrogen oksida (NOx), partikulat matter (PM2.5), dan merkuri (Hg) -yang menyebar di atmosfter dan membahayakan kesehatan manusia.
Termasuk menyebabkan stroke, penyakit jantung, asma, infeksi pernapasan, penyakit paru, dan kanker.
Meskipun angka penggunaan batubara hanya 4%, namun menghasilkan emisi sulfur dioksida sebesar 64%.
Adapun sektor industri energi adalah penghasil emisi sulfur dioksida kedua terbesar dengan angka 1.071 ton per tahun.
Pengusaha: Selama ini KLHK ke mana saja?
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, sangat menyesalkan tindakan KLHK yang menutup operasional empat perusahaan di Jakarta dan Karawang.
Kata dia, semestinya sebelum menutup KLHK melakukan pembinaan terlebih dahulu dan mencari solusi terbaik bukan langsung menutup.
Sebab tindakan itu, klaimnya, merugikan banyak pihak.
"Kalau satu perusahaan mempekerjakan 1.000 orang yang tidak dikasih makan bisa lebih dari itu. Kan karyawannya punya anak dan istri. Bagaimana nasib mereka?" ujar Nurjaman.
"Ini yang kami sayangkan, mestinya edukasi dulu, dibina. Kalau masih melanggar silakan ditutup. Selama ini KLHK ke mana saja?"
"Sekarang kalau ditutup siapa yang bayar upah karyawan? Apa KLHK mau tanggung jawab pada perusahaan kami?"
Pascapenutupan ini, Apindo akan bertemu dengan pemilik perusahaan untuk menentukan langkah selanjutnya. Jika mereka ingin diadvokasi oleh Apindo maka pihaknya akan memberikan bantuan hukum.
Yang pasti, katanya, para pengusaha bersedia jika harus beralih dari batubara ke energi yang rendah emisi. Tapi bagi pengusaha yang tidak mampu, dia berharap ada subsidi dari pemerintah.
Pasalnya batubara dipilih karena lebih murah ketimbang gas.
Warga Marunda: Kenapa baru sekarang?
Seorang warga Marunda, Didi Suwandi, berkata keputusan KLHK menutup perusahaan stockpile di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda harusnya dilakukan sejak dulu.
"Kenapa penindakan itu baru sekarang? Seharusnya dari dulu," keluhnya.
Warga setempat, katanya, sudah mengeluhkan debu batubara sejak 2019 silam. Tapi tidak ada tindakan apapun.
Baru pada 2022 Pemprov DKI Jakarta menindak satu perusahaan yakni PT KCN.
Tapi meskipun perusahaan itu ditutup, debu batubara masih hinggap ke rumah mereka.
"Jarak rusun ke KBN Marunda itu hanya 500 meter, dekat banget. Sampai sekarang debunya masih ada padahal PT KCN sudah ditutup," ujar Didi kepada BBC News Indonesia.
"Makanya kami pertanyakan siapa lagi pelaku pencemaran?"
Didi berkata sejak perusahaan stockpile beroperasi dan debu batubara berterbangan ke rumah warga, banyak yang mengeluh mengalami batuk, gatal-gatal, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas.
Bahkan ada satu warga yang kornea matanya rusak.
Keluhan ini, sambung Didi, sudah pernah diadukan ke Walikota Jakarta Utara tapi malah dibantah bahwa hal itu disebabkan oleh udara panas.
Harapan warga, agar pemprov DKI Jakarta maupun KLHK memperketat pengawasan terhadap perusahaan- perusahaan di KBN Marunda.
"Pengawasan harus jelas. KBN kerjanya apa? Mereka juga harus tanggung jawab karena itu wilayah mereka. Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara juga harus dievaluasi". (*)
Tags : Polusi, Masyarakat, Hukum, Indonesia, Polusi udara, Lingkungan, Alam,