Headline News   2022/08/09 11:54 WIB

KNPI Kritik Pemprov Riau di HUT Ke-65, Sejak 'Dihantam Pandemi Kemiskinan Ekstrem Belum Terhapus'

KNPI Kritik Pemprov Riau di HUT Ke-65, Sejak 'Dihantam Pandemi Kemiskinan Ekstrem Belum Terhapus'
Larshen Yunus, S.Sos, Sc,SE, M.Si, C.I.A, C.Me, Wasekjend DPP KNPI

PEKANBARU - Agar momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Riau ke-65 bisa dijadikan sebagai ajang untuk mengevaluasi diri, intropeksi dan bermunajat.

Apakah Gubernur, Wakil Gubernur Riau beserta pejabat Forkopimda benar-benar sudah melayani rakyat?. Langkah apa saja yang dilakukan pemprov Riau dalam menunaikan janji manisnya?

"Saya melihat sebagai contoh penerbitan kebun ilegal tak terlihat lagi. Hilang senyap begitu saja, sementara anggaran banyak terserap, namun progres dan hasilnya tak tampak. Yang ada kemiskinan ditengah masyarakat terus terjadi," kata Larshen Yunus, S.Sos, Sc,SE, M.Si, C.I.A, C.Me, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bidang Minyak dan Gas (Migas) dalam pemaparannya disampaikan lewat pesan elektronik WhatsApp (WA) tadi ini, Selasa (9/8).

Pandemi telah melonjakkan permasalahan kemiskinan, jenis, dan dimensinya serta jumlah dan kedalaman insidennya. Tidak hanya kelas sosial-ekonomi bawah, tapi juga kelas menengah.

Dari tingkat terendah yang pernah dicapai 9,22 persen pada September 2019, angka kemiskinan melonjak menjadi 9,78 persen dan 10,19 persen pada Maret dan September 2020.

"Penduduk miskin bertambah berturut-turut 1,63 juta orang dan 1,13 juta orang."

"Seiring pelonggaran mobilitas dan pemulihan ekonomi, pada Maret 2021, kecenderungan kenaikan kemiskinan ini terhenti di 10,14 persen (27,54 juta jiwa). Pemerintah kemudian mencanangkan target ambisius angka kemiskinan 2022 kembali ke 1 digit, yaitu 8,5 – 9,0 persen," ungkap Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua DPD I KNPI Riau ini.

Tetapi Larshen melihat, secara luar biasa, di tengah badai gelombang kedua pandemi antara Maret – September 2021, terjadi pembalikan arah yang sangat signifikan. Angka kemiskinan September 2021 telah kembali ke tingkat 1 digit, yaitu 9,71 persen, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 1,04 juta orang.

Pencapaian ini menyokong target ambisius angka kemiskinan 1 digit pada 2022, yaitu ke tingkat 8,5 – 9,0 persen.

Terkini, pada akhir 2021, pemerintah mencanangkan target ambisius menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024.

Kemiskinan ekstrem yang kini berada di kisaran 3,5 persen, akan ditekan menjadi nol persen pada 2024 dengan berfokus pada kantong-kantong kemiskinan di 212 kabupaten/kota di 25 provinsi.

Program bansos reguler, seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan Kartu Sembako (BPNT) serta program baru di bawah PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) Perlinsos seperti BST (Bantuan Sosial Tunai) dan BLT Desa, masih akan menjadi program andalan pemerintah.

Kemiskinan ekstrem

Kemiskinan di Riau didominasi oleh penduduk miskin temporer (transient poor), yaitu mampu keluar dari kemiskinan, tapi mudah kembali jatuh miskin.

"Saya memperkirakan penduduk miskin temporer ini adalah mereka yang berada di antara 0,8 – 1,2 garis kemiskinan," kata Larshen Yunus. 

Pada 2019-2021, penduduk miskin temporer ini diperkirakan berjumlah 13,77 – 14,43 persen atau setara 36,7 juta – 39,1 juta orang. 

Kemiskinan yang lebih kecil, tapi dengan masalah yang jauh lebih berat adalah penduduk miskin kronis (chronic poor), yaitu mereka yang terlalu miskin sehingga tidak pernah mampu bangkit dan terperangkap dalam jerat kemiskinan untuk waktu yang panjang, bahkan permanen.

Dengan kata lain, ini adalah kondisi kemiskinan yang ekstrem (extreme poverty).

"Kalau saya lihat dan memperkirakan penduduk miskin ekstrem ini adalah mereka yang berada di bawah 0,8 garis kemiskinan. Pada 2019-2021, penduduk miskin kronis ini kami perkirakan berjumlah 3,07 – 3,48 persen atau setara 8,2 juta – 9,4 juta orang," sebutnya.

Penduduk miskin ekstrem juga terkonsentrasi di Riau. Dari 6 juta penduduk, setengah di antaranya berada di di daerah-daerah, yakni di 12 kabupaten/kota.

"Penduduk miskin ekstrem secara umum memiliki beban ketergantungan yang tinggi dengan jumlah anggota keluarga tidak produktif yang besar," kata dia.

"Secara geografis, penduduk miskin ekstrem sebagian besar tinggal di daerah perdesaan dengan akses kebutuhan dasar yang terbatas, seperti listrik, peralatan memasak dan air bersih," terangnya.

Dengan ketiadaan keahlian dan modal, kepala keluarga miskin ekstrem umumnya berstatus sebagai berusaha sendiri atau berusaha dengan dibantu pekerja tidak dibayar, yaitu anggota keluarganya.

Penduduk miskin ekstrem secara umum memiliki tingkat pendidikan yang rendah, bekerja di sektor primer (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan penggalian), dan tidak memiliki akses ke sumber pendanaan usaha formal yang murah dan fleksibel.

Seiring pandemi dan krisis, daerah-daerah menunjukkan kinerja penanggulangan kemiskinan ekstrem yang sangat bervariasi. Sebagian daerah mengalami kenaikan penduduk miskin ekstrem pada 2019-2020 maupun 2020-2021.

Namun sebagian daerah lain mampu konsisten menurunkan penduduk miskin ekstrem pada 2019-2020 maupun 2020-2021, seperti Kab Bengkalis, Siak dan Kampar. Sebagian besar daerah lainnya mengalami kinerja yang fluktuatif antara 2019-2021.

Rokok dan rawan pangan

Kerawanan pangan menjadi krisis paling serius yang dihadapi penduduk miskin ekstrem di masa pandemi.

Kerawanan pangan penduduk miskin terkonfirmasi dari skala pengalaman kerawanan pangan (food insecurity experience scale), yang memberikan gambaran tingkat keparahan kerawanan pangan yang terkait dengan akses penduduk ke pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. 

Kerawanan pangan ringan (mild food insecurity) terkonfirmasi di 37,6 persen penduduk miskin ekstrem yang mengaku pernah merasa khawatir tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan, yang mengindikasikan individu tidak memiliki cukup persediaan pangan.

"Kerawanan pangan moderat, di mana individu mulai mengurangi kualitas dan variasi pangan karena kekurangan uang, terkonfirmasi di sekitar seperempat penduduk miskin ekstrem," kata Larshen. 

Kerawanan pangan menengah, di mana individu mulai mengurangi jumlah konsumsi pangan dan bahkan mulai tidak memiliki persediaan pangan, terkonfirmasi di sekitar 10 persen penduduk miskin ekstrem.

Bahkan, kerawanan pangan parah (severe food insecurity) juga terkonfirmasi di mana individu telah mulai mengalami kondisi kelaparan (experiencing hunger).

Sebesar 3,5 persen penduduk miskin ekstrem pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak memiliki uang.

Secara umum, daerah dengan pengalaman kerawanan pangan ringan yang tinggi juga memiliki pengalaman kerawanan pangan berat yang juga tinggi.

Fakta ini,menurut Larshen, membawa petunjuk yang jelas: prevalensi malnutrisi di kalangan penduduk miskin ekstrem adalah tinggi.

Jadi, setiap upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem yang kredibel harus diawali dengan memastikan ketercukupan konsumsi pangan bagi penduduk di lapisan terbawah.

Dengan krisis yang telah menyentuh aspek paling mendasar keluarga miskin ekstrem, yaitu kebutuhan pangan, maka peran bantuan sosial (bansos) menjadi krusial dengan melindungi si miskin agar dapat terus melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup secara wajar. 

"Jadi, saya kira mari kita renungkan dan berfikir untuk merubah keadaan ini, bukan hanya seremoni, kan?". (*)

Tags : HUT Riau Ke-65, Evaluasi Diri, Kemiskinan Ekstrem Belum Terhapus di Riau, News,