"Regulasi untuk membatasi konsumsi gula di tengah meningkat pesatnya kasus diabetes agaknya perlu segera diterbitkan"
emerintah diminta segera menerbitkan regulasi yang dapat mendorong masyarakat membatasi konsumsi gula di tengah meningkat pesatnya kasus diabetes yang diderita anak-anak, kata pendiri sekaligus CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative [CISDI] Diah Saminarsih.
Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI] sebelumnya merilis data yang menunjukkan bahwa prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibanding 2010.
Selain itu, Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial [BPJS] Kesehatan Ali Ghufron juga mengatakan pasien anak yang menderita diabetes meningkat sekitar 1.000 kasus pada 2022 dibandingkan 2018.
Menurut Diah, data itu menggambarkan situasi “yang sangat mengkhawatirkan” bahwa anak-anak “telah mengadopsi pola hidup tidak sehat”, salah satunya akibat konsumsi makanan berkandungan gula tinggi.
Makanan dan minuman manis begitu mudah dijangkau, sementara kebijakan pemerintah sejauh ini dianggap "belum cukup melindungi", dan lebih banyak menggantungkan pembatasan konsumsi gula pada keputusan masyarakat sendiri berdasarkan informasi kandungan gula yang tertera pada label makanan dan minuman.
Padahal literasi kesehatan masyarakat, kata Diah, “masih rendah”.
Oleh sebab itu, CISDI mendesak pemerintah segera mengintervensi situasi ini dengan mengenakan cukai pada minuman berpemanis hingga 20% dari harga minuman.
Selain itu, membentuk regulasi yang mewajibkan produsen memberi label yang tidak hanya mencantumkan informasi kandungan gula di dalam setiap minuman, namun juga soal batas konsumsi gula per hari.
“Harus diatur sama pemerintah untuk itu. Kita sudah bicarakan [regulasi] itu setidaknya enam atau tujuh tahun terakhir, tapi regulasinya tidak pernah keluar,” kata Diah Saminarsih pada media, Minggu (5/2/2024) kemarin seraya menambahkan bahwa kebijakan pembatasan gula semacam ini selalu terhambat dan bertentangan dengan kepentingan industri.
Tanpa intervensi pemerintah, kasus diabetes anak dikhawatirkan akan terus meningkat, menurunkan daya saing mereka di masa depan, serta menambah beban biaya kesehatan yang ditanggung negara.
'Ada banyak kasus diabetes anak di Indonesia'
IDAI mencatat terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes pada Januari 2023, di mana prevalensinya sebesar 2 kasus per 100.000 anak.
“Jumlah ini meningkat 70 kali lipat dibandingkan di 2010 lalu,” kata Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI Muhammad Faizi, yang juga mengatakan prevalensi kasus diabetes anak pada 2010 adalah 0,028 per 100.000 anak.
Hampir 60% penderitanya adalah anak perempuan. Sedangkan berdasarkan usianya, sebanyak 46% berusia 10-14 tahun, dan 31% berusia 14 tahun ke atas.
Data itu berasal dari 15 kota di Indonesia, dan paling banyak berasal dari Jakarta serta Surabaya.
Faizi juga mengatakan bahwa kasus diabetes pada anak kian meningkat sejak pandemi.
Dia menduga itu disebabkan oleh kurangnya aktivitas yang mendorong anak-anak banyak bergerak serta pola makan yang tidak teratur.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengatakan data IDAI itu belum tentu menunjukkan peningkatan kasus, karena “bisa saja mendata kasus lama dan kasus baru”.
“Karena ada registrasi baru maka kesadaran untuk melaporkan menjadi meningkat,” kata Nadia melalui pesan singkat.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan bahwa “ada kenaikan kunjungan diabetes anak yang lumayan tinggi” sejak 2018 hingga 2022.
“Pada awal 2018 ke akhir 2022, kenaikan diabetes melitus pada anak sekitar 1000 kasus,” kata Ali Ghufron, sambil menekankan bahwa data itu hanya menggambarkan penderita diabetes anak yang berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Dia juga menambahkan kenaikan kasus yang tinggi itu mungkin terjadi karena banyak penderita yang baru datang ke fasilitas kesehatan setelah pandemi.
“Pada waktu pandemi agar berkurang yang berkunjung ke fasilitas kesehatan, tapi tentunya kasus diabetes melitus sendiri waktu pandemi tidak berkurang,” jelas dia.
Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda juga mengatakan bahwa sulit untuk mendapatkan data keseluruhan yang akurat terkait kasus diabetes pada anak, sehingga sulit memastikan akar masalah dari kasus-kasus diabetes ini.
“Susah untuk mengatakan secara tepat apa akar masalahnya, tapi kita bisa lihat secara sekilas konstruksi minuman manis dan sebagainya makin menjamur dimana-mana,” kata Olivia.
Sementara itu, menurut Riset Kesehatan Dasar [Riskesdas] 2018, dua dari tiga remaja berusia 5-19 tahun mengonsumsi minuman berpemanis sekali sehari atau lebih.
Mengapa makanan-minuman manis banyak dikonsumsi?
Menurut Diah, anak-anak menjadi gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis karena terbiasa dengan pola asuh dan pola makan “yang tidak sehat” sejak dini akibat makanan dan jajanan berkandungan gula tinggi.
Apalagi situasi yang tercipta saat ini, makanan instan dan berpemanis lebih mudah dijangkau dan dianggap lebih praktis.
Sementara itu, makanan sehat lebih sulit didapat dan lebih mahal.
“Banyak keadaan di mana ada [kandungan] gula tersembunyi, kita pikir ini makanan instan, ternyata gula tersembunyinya tinggi. Ini harus dibaca oleh orang tua karena anak-anak belum bisa putuskan untuk dirinya sendiri,” kata Diah.
Dalam kondisi itu, keputusan orang tua membuat anak-anak terbiasa dengan makanan manis.
“Ini yang membuat ketika anak-anak itu bisa membeli sendiri, pola asuh di rumah tidak terbiasa membuat mereka menahan konsumsi gulanya,” jelas Diah.
Diah mengatakan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengedukasi masyarakat terkait seberapa batas kandungan gula yang aman.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013, anjuran konsumsi gula tambah per orang per hari adalah sebesar 50 gram atau setara dengan empat sendok makan.
Namun Diah menilai masih banyak masyarakat yang “belum paham” seberapa banyak takaran gula yang tergolong aman sehingga dibutuhkan regulasi dari pemerintah yang mengatur secara detil mengenai itu.
“Seharusnya ada dua lapis kebijakan. Pertama, diberi peringatan jadi pembeli terinformasikan dengan baik [terkait kandungan gula]. Edukasinya adalah sekian gram saja yang maksimum. Kalau sekadar diinformasikan bahwa kandungannya 10 gram, kan dia tidak tahu itu sehat atau tidak.”
“Jadi harus dilapis juga dengan kebijakan bahwa dalam setiap gram makanan yang diproduksi, gulanya tidak boleh melebihi sekian gram. Jadi ada beberapa lapis aturan, tidak sekadar mencantumkan ada gula segini.”
"Ini akan melindungi anak-anak kalau orang tuanya lebih terinformasi dengan baik," jelas Diah.
Sementara itu, Olivia Herlinda mengatakan pemerintah sendiri dalam program gizinya juga terlihat bergantung pada produk olahan yang mengandung gula.
“Pemerintah sendiri bahkan mendorong masyarakat minum susu kotak yang kandungan gulanya sepertiga dari batas konsumsi gula tambahan maksimal,” ujar Olivia.
"Saya juga agak bingung dengan program pemerintah itu, mungkin pemerintah juga perlu mengedukasi diri sendiri," tambahnya.
Bagaimana regulasi terkait kandungan gula dalam pangan?
Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan [BPOM] mengatur soal batas maksimak penggunaan pemanis buatan untuk produk pangan olahan melalui Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019.
Selain itu, aturan soal pelabelan pada kemasan soal kandungan gizi, termasuk dula di dalam pangan olahan juga diatur berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021.
BPOM dalam beberapa tahun terakhir juga telah meluncurkan label “Pilihan Lebih Sehat” untuk produk pangan olahan yang mengandung gula kurang dari 6 gram per 100 mililiter sebagai acuan masyarakat dalam memilih.
Sedangkan untuk makanan siap saji, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 mewajibkan produsen pangan siap saji yang memiliki lebih dari 250 gerai diwajibkan menyampaikan informasi kandungan gula, garam, dan lemak.
Namun menurut Olivia Herlinda dari CISDI, Permenkes 30/2013 sejauh ini tampak tidak berjalan baik. Akhirnya ini membuat gerai-gerai pangan manis “menjamur” dan mudah dijangkau.
Sementara kebijakan penerapan cukai minuman berpemanis pun, sejauh ini belum jelas kapan akan diterapkan meski Kementerian Keuangan menargetkan kebijakan itu untuk diberlakukan pada 2023.
Sejauh ini, Olivia menyebut baru Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan yang sepakat untuk menerapkan itu.
Penerapan cukai minuman berpemanis pun, kata dia, akan menghadapi tantangan dari Kementerian Perindustrian dan pelaku industri pangan.
Bagaimana dampak tingginya kasus diabetes anak?
Menurut Diah Saminarsih, peningkatan kasus diabetes pada anak itu “sangat mengkhawatirkan”, mengingat diabetes adalah tipe penyakit kronis dengan dampak sangat panjang.
Apabila pemerintah tidak segera mengintervensi temuan ini dengan kebijakan yang terukur, Diah khawatir penyakit ini akan “menurunkan daya saing mereka” di masa depan yang oleh pemerintah sendiri digadang-gadang sebagai “generasi emas”.
“Ini masalah jangka panjang yang mengkhawatirkan, karena kita akan mempunyai populasi yang bisa-bisa tidak jadi generasi emas dengan kondisi diabetes yang terus meningkat,” kata dia.
Belum lagi peningkatan beban biaya kesehatan yang akan ditanggung oleh pemerintah. Sebab, diabetes merupakan jenis penyakit yang dapat memicu komplikasi penyakit lainnya seperti jantung dan ginjal.
Ali Ghufron pun mengatakan hal serupa apabila peningkatan kasus diabetes pada anak tidak ditangani dengan baik.
“Karena diabetes apalagi dengan hipertensi, kurang lebih 30% akan kecenderungan gagal ginjal yang perlu biaya mahal,” tutur dia.
Biaya pengobatan diabetes sendiri sejauh ini telah membebani keuangan negara.
Pada 2020, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp20 triliun untuk memangani penyakit katastropik, salah satunya penyakit diabetes yang terus meningkat.
International Diabetes Federation (IDF) pun memperkirakan biaya penanganan diabetes di Indonesia akan meningkat hingga 33% pada 2045.
Apa kebijakan pemerintah untuk kendalikan konsumsi gula?
Ilustrasi seorang petugas medis perempua mengecek kesehatan pasien.
Terkait tingginya angka diabetes pada anak, Kementerian Kesehatan menyatakan kebijakan yang dilakukan sejauh ini adalah mengedukasi para orang tua untuk memahami informasi label nilai gizi pada bahan pangan dan minuman kemasan serta siap saji.
“Promosi dan edukasi secara masif diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat selain itu juga mengurangi konsumsinya,” kata Juru bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi.
Upaya lainnya, kata Nadia, adalah dengan mengusulkan penerapan cukai pada makanan dan minuman berpemanis meski belum jelas kapan kebijakan ini akan diterapkan.
Terkait kebijakan pemerintah yang dianggap belum cukup ketat, Nadia mengatakan, “Promosi, edukasi, skrining awal melalui posyandu serta dukungan regulasi seperti pengenaan cukai dan pengawasan makanan dan minuman yang beredar menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan" dan "Kementerian Kesehatan tidak bisa sendirian".
Namun, Olivia Herlinda dari CISDI menilai langkah pemerintah yang lebih menggantungkan kebijakannya pada edukasi dan “berharap masyarakat melakukan pilihan baik sendiri” pada titik ini telah terbukti tidak efektif dengan menjamurnya pilihan makanan dan minuman manis yang tersedia.
Apalagi, pengawasan di lapangan pun tidak berjalan cukup baik dengan menjamurnya gerai-gerai siap saji tidak mencantumkan berapa kandungan gulanya.
Menurut CISDI, penerapan cukai sebesar 20% akan menjadi langkah yang efektif untuk menurunkan konsumsi gula masyarakat dan mencegah 1,4 juta kasus diabetes selama 25 tahun.
Pola serupa juga telah tampak di beberapa negara. Meksiko berhasil menurunkan jumlah pembelian MBDK sebesar 19% melalui penerapan cukai MBDK sebesar 10% dan diperkirakan akan lebih efektif bila tarif tersebut ditingkatkan.
Selain itu, kebijakan cukai MBDK di Inggris mendorong penurunan kadar gula sebesar 11% pada 2016-2017 sekaligus mendorong produsen pangan memformulasi ulang produk mereka menjadi lebih sehat.
Kendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak
Keputusan pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebihan pada pangan olahan diharapkan sejumlah kalangan tidak sebatas ‘seremonial‘ semata tapi juga harus disandingkan dengan pelaksanaan optimal, sosialisasi masif, dan penegakan hukum bagi produsen yang melanggar.
Pengendalian GGL tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 melalui penentuan batas maksimal kandungan, penerapan cukai, pelabelan hingga pembatasan iklan.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja, tetapi kebijakan ini dapat diterapkan dan berjalan baik di masyarakat,“ kata Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir.
Selain pelaksanaan, Muhamad Riski Fahrezi selaku mantan pasien gagal ginjal berharap agar sosialisasi tentang bahaya buruk konsumsi pangan kemasan tinggi GGL juga harus masif dilakukan.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ kata Riski yang mendapatkan transplantasi ginjal pada 2023 lalu.
Pakar kesehatan, Hasbullah Thabrany, menambahkan, penentuan cukai yang optimal juga menjadi kunci penting untuk menurunkan tingkat konsumsi GGL.
“Saya tahu pasti resistensi [dari pengusaha] akan banyak, tapi kalau kenaikan harganya tidak optimal maka tidak akan ada efeknya,“ kata Hasbullah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penerapan kebijakan GGL itu bertujuan untuk memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti, menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal berkaitan erat dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya diakibatkan konsumsi GGL berlebih.
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,“ kata Brian.
Terkait dengan penerapan cukai, Brian mengatakan PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besarannya.
Pasien gagal ginjal menyesal 'setiap hari minum kopi dan teh kemasan'
Muhamad Riski Fahrezi divonis gagal ginjal saat usianya masih 18 tahun. Pada saat teman-temannya menikmati masa kelulusan dari SMA, dia terkapar di rumah sakit.
“Seminggu sebelum lulus-lulusan, tepatnya 7 Agustus 2020, saya pusing, mual, muntah, pandangan kabur dan dibawa ke IGD. Dicek kreatin saya tujuh, ureumnya 100 lebih, tensi [darah] sekitar 250 per 150,“ kenang Riski, Rabu (31/07).
Riski pun didiagnosis menderita gagal ginjal dan ia mendapatkan tindakan cuci darah (hemodialisis), sepekan kemudian.
Setelah tiga tahun menjalani cuci darah sebanyak dua kali sepekan, Riski mendapatkan transplantasi ginjal dari keluarga pada Januari 2023.
Riski menuturkan penyesalannya atas pola hidup yang buruk.
Pada saat SMP, dia mengalami obesitas [berat 90 kilogram dan tinggi sekitar 155 sentimeter].
“Lalu, di SMP saya juga sering minum kopi dan teh kemasan beli di minimarket. Hampir setiap hari beli itu,” kenangnya.
Sebagai gambaran, satu botol teh kemasan yang populer di Indonesia dengan takaran saji 350ml memiliki kandungan gula sebanyak 26 gram.
Ada pula minuman teh kemasan dengan takaran saji 350ml mengandung 42 gram gula.
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak [GGL] per orang per hari sebagai berikut:
Dilansir dari situs Kemenkes, beberapa penelitian mengungkapkan Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebesar 20,23 liter per orang.
Bahkan disebutkan bahwa konsumsi MDBK itu mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.
Dampaknya, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18%, stroke 13%, dan serangan jantung [infark miokard)] 22%.
Riset Kesehatan Dasar [Riskesdas] 2013 dan 2018 menunjukkan peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4% menjadi 21,8%. Kemudian untuk usia 5-19 tahun meningkat dari 2.8% pada 2006 menjadi 6.1% pada 2016, sedangkan kategori remaja usia 13-17 tahun sebanyak 14.8% mengalami berat badan berlebih dan 4.6% mengalami obesitas.
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular [PTM], di mana PTM merupakan penyebab dari 80% kasus kematian di Indonesia.
Memasuki SMA, Riski mengaku gaya hidupnya semakin tidak sehat. Dari Senin hingga Jumat, dia kerap begadang untuk bermain gim online.
“Kalau akhir pekan, bisa pagi ketemu pagi lagi. Dan tiap begadang aku minum minuman berenergi saset itu, tambah kopi saset,“ tambah Riski.
Dia mengatakan saat itu tidak mengetahui dampak buruk yang akan dihadapi saat mengkonsumsi minuman yang tinggi gula dan juga zat lain yang berbahaya bagi ginjal.
“Baru-baru ini saja ramai berita dan di sosial media tentang dampak buruk minuman kemasan.
Waktu 2015-2016 tidak ada itu, mau dapat info dari mana saya tentang bahayanya? Tidak ada,“ ujar Riski.
Riski pun menyambut baik upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak [GGL] berlebihan dalam produk kemasan.
Berkaca dari pengalaman hidupnya, Riski berharap agar pelaksanan aturan itu harus diikuti dengan sosialisasi yang masif tentang dampak buruk dari konsumsi berlebih produk kemasan yang tinggi GGL.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ katanya.
“Kalau tidak segera dilakukan, kasihan nanti banyak yang seperti saya. Sekarang saja setiap hari, bulan, dan tahun ada orang-orang yang tidak tahu dampaknya [GGL] kena gagal ginjal,“ ujarnya.
Selain Riski, Dewi Ningrum harus membawa anaknya, Faris, yang masih berusia delapan tahun, dua kali ke RS untuk cuci darah.
Dewi bercerita, anaknya pada usia empat tahun, 2019, divonis sindrom nefrotik [biasanya terjadi ketika glomerulus rusak, menyebabkan terlalu banyak protein bocor dari darah ke dalam urin].
“Kami berobat jalan dan dikasih obat-obatan rutin. Lalu [tahun 2024] beberapa bulan lalu dilakukan biopsi, hasilnya didiagnosis gagal ginjal,” kata Dewi yang menyebut anaknya telah melakukan cuci darah sejak tiga bulan lalu.
Dewi tidak mengetahui apakah kerusakan ginjal anaknya disebabkan oleh faktor keturunan, makanan dan minuman, konsumsi obat, atau faktor lainnya. Namun, Dewi memiliki pengalaman ketika anaknya mengkonsumsi produk kemasan tinggi GGL.
”Di sekolah dia pernah minum es-es kemasan manis, dan juga makan mi instan. Habis itu langsung drop, muka bengkak. Itu sebelum cuci darah ya,“ katanya yang kini Faris sudah tiga bulan tidak bersekolah lagi.
Pengalaman itu, kata Dewi, menunjukkan bahwa produk siap saji tinggi GGL sangat buruk bagi kesehatan, ditambah lagi dia juga menemui beberapa pasien anak lain yang menderita gagal ginjal akibat konsumsi yang sama.
“Menurut saya mending enggak ada produk-produk kayak minuman-minuman kemasan begitu. Jadi anak-anak biar enggak jajan sembarangan. Lebih banyak dampak buruknya,” katanya.
‘Jangan hanya seremonial‘
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia [KPCDI] Tony Richard Samosir menyambut baik langkah pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak [GGL] berlebihan pada pangan olahan.
Ilustrasi seorang anak mengendong minuman bersoda.
Tony berharap agar aturan itu dilaksanakan secara optimal.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja. Ya, tetapi bagaimana implementasi kebijakan ini dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Kan pemerintah perlu mengawasi dan menerapkan dengan konsisten agar kebijakan berjalan di lapangan,“ katanya.
Bahkan, tambah Tony, pemerintah harus mengambil tindakan tegas kepada produsen produk kemasan yang melanggar aturan dengan memberikan komposisi GGL melebih batas.
Menurut data yang dihimpun KPCDI, kata Tony, sekitar 70% pasien cuci darah di Indonesia dipicu oleh penyakit diabetes, hipertensi dan obesitas.
Ragam penyakit itu, ujar Tony, salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi produk kemasan GGL secara berlebihan.
Pakar kesehatan masyarakat, Hasbullah Thabrany, menambahkan salah satu upaya penting lainnya menekan konsumsi GGL di masyarakat adalah dengan menerapkan cukai yang optimal pada produk kemasan.
Tujuannya, katanya, untuk menekan kemampuan masyarakat membeli pangan kemasan yang tinggi GGL.
“Kalau terlalu rendah [cukai], enggak ada efeknya untuk menurunkan konsumsi,” katanya.
Hasbullah mencontohkan, masyarakat masih bisa membeli produk kemasan tinggi GGL jika kenaikannya hanya 20%.
“Dari Rp1.000 jadi Rp1.200, itu tidak akan berefek karena harganya masih murah dan terjangkau. Jadi harus di titik optimum. Instrumen harga sangat menentukan dalam pengendalian konsumsi, selain eksekusinya yang harus konsisten,“ ujarnya.
Senada, Wakil Ketua dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia [KPAI], Jasra Putra, meminta dilakukannya pengawasan sebelum dan sesudah pemasaran produk makanan, termasuk juga pemberian cukai.
Tujuannya, tambah Jasra, untuk melindungi hak kesehatan dan tumbuh kembang anak, yang rawan terpapar produk tinggi GGL.
“Jika terjadi di luar itu, ada sanksi administrasi dan bisa juga ke pidana, karena tidak bersesuaian antara kandungan setelah dilakukan cek lab,“ kata Jasra.
Apa isi aturan GGL di PP Kesehatan?
Pengendalian konsumsi GGL terkandung dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, yang berisi:
Pasal 194
(1) Dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
(4) Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 195
(1) Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji wajib:
a. memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194; dan
b. mencantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
(2) Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
Berapa ambang batas konsumsi GGL per hari?
Kemenkes menyarankan batas konsumsi gula sebanyak 50 gram atau empat sendok makan gula per hari.
Sementara itu, untuk garam sebesar 2.000 miligram natrium/ atau 5 gram atau 1 sendok teh garam [natrium/sodium] per hari.
Lalu untuk lemak yaitu hanya sebesar 67 gram atau lima sendok makan minyak goreng per hari.
Apa penyebab gagal ginjal dan bagaimana mencegahnya?
Dikutip dari situs Kemenkes, konsumsi GGL berlebihan dapat mendekatkan pada risiko penyakit tidak menular [PTM] seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung.
Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI] setidaknya satu dari lima anak Indonesia berusia 12-18 tahun berpotensi mengalami kerusakan ginjal, yang disebabkan oleh gaya hidup kurang sehat.
Ketua Umum IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan beberapa penyebab seorang anak mengalami gagal ginjal.
Di antaranya yaitu kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemihnya, sindrom nefrotik yang tidak tertangani dengan baik, dan lupus sistemik.
Sebab lainnya, katanya adalah gaya hidup tidak sehat yang menyebabkan obesitas.
“Anak -anak yang obesitas itu mengalami low grade inflammation atau inflamasi derajat rendah yang berlangsung secara kronik dan juga mengalami tingginya ROS atau reactive oxygen species."
"Yang ini kalau secara gabungan, ditambah dengan hipertensi bisa merusak ginjal dan lama-kelamaan… perlu dilakukan cuci darah,“ kata Piprim dalam keterangannya.
Untuk itu, kata Piprim, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir potensi terkena gagal ginjal.
Pertama adalah dengan minum air yang cukup, “Anak 20 kg [berat], minimal 1,5 liter per hari, makin banyak minum lebih baik,“ katanya.
Kedua, ujarnya, hindari konsumsi minuman manis, baik karena gula maupun pemanis sirup jagung yang banyak pada minuman kemasan.
Selanjutnya, batasi asupan garam dan tidak sembarangan meminum obat. Terakhir adalah dengan berolahraga secara teratur yang baik untuk organ-organ tubuh.
Apa pertimbangan pemerintah kendalikan konsumsi GGL?
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal erat kaitan dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya akibat konsumsi GGL berlebih.
Brian menjabarkan beberapa data. Pertama dia mengutip data WHO [tahun 2018] yang menyebut bahwa diabetes melitus [DM] menjadi penyebab kematian tertinggi [71%], di mana 8,5% populasi dunia atau sekitar 422 juta jiwa mengidap diabetes melitus [DM].
“Indonesia menempati urutan keempat, dengan kasus DM terbanyak di dunia,” kata Brian.
Brian menambahkan, sepanjang 2023, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial [BPJS] mencatat peningkatan klaim terhadap delapan penyakit katastropik, yang mencapai Rp34,7 triliun dengan 29,7 juta kasus.
Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp24,05 triliun dengan 23,27 juta kasus.
“Penyakit jantung menempati urutan pertama, diikuti oleh kanker, stroke, dan gagal ginjal. Penyakit tersebut sangat erat kaitannya dengan hipertensi dan diabetes melitus sebagai faktor risiko, yang salah satunya akibat konsumsi gula, garam dan lemak yang berlebihan.”
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,” katanya.
Terkait dengan cukai, Brian mengatakan, PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besaran cukainya.
“PP ini mengamanatkan Kemenko PMK untuk berkoordinasi dengan kementerian terkait. Kemungkinan aturan ini akan masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Barang Kena Cukai [BKC] ,“ kata Brian.
Senada, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmisi mengatakan, aturan pengendalian GGL bertujuan untuk mencegah penyakit tidak menular.
“Konsumsi gula, garam dan lemak yang berlebihan merupakan faktor resiko yang memicu munculnya penyakit tidak menular,” katanya.
Saat dikonfirmasi mengenai pernyataan dari pengamat kesehatan dan komunitas cuci darah itu, Nadia mengatakan, “Ini kan PP mengamanatkan bukan hanya Kemenkes tapi lembaga dan kementerian lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Nanti bila perlu ada aturan teknisnya,“ katanya.
Dilansir dari situs Kemenkes, pengenaan cukai pada produk kemasan disebut sebagai salah satu intervensi yang cukup efektif untuk mengatasi penyakit tidak menular, dan ada sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan itu.
Jadi pihak Kemenkes berharap, penerapan kebijakan ini dapat memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat. (*)
Tags : Diet dan Nutrisi, Pangan, Penelitian medis, Hukum, Gaya hidup, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan, Indonesia, Anak-anak, Kesehatan,