JAKARTA - Keberpihakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipertanyakan karena lembaga ini belum menepati janji merevisi peraturan soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.
Titi Anggraeni dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan KPU “lebih tunduk pada kepentingan yang disuarakan partai politik, khususnya partai politik parlemen” dan mengesampingkan aspirasi masyarakat soal potensi berkurangnya jumlah caleg perempuan akibat peraturan baru ini.
“Ini indikasi yang sangat berbahaya bagi kredibilitas Pemilu 2024, sebab KPU telah terbuka menunjukkan kecenderungan untuk berpihak kepada kepentingan partisan atau partai-partai politik daripada berdiri di atas aspirasi masyarakat,” kata Titi.
Sebelumnya, KPU sempat berjanji akan merevisi pasal yang mengatur pembulatan ke bawah bagi jumlah representasi bakal caleg perempuan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.
Namun, sikap itu berubah setelah hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI pada Rabu (17/5), yang justru menyepakati agar aturan tersebut tidak direvisi.
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito, serta Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar turut hadir dan menandatangani kesimpulan rapat itu.
Menanggapi keputusan yang dinilai “tidak berpihak kepada perempuan” itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan mereka telah melayangkan somasi kepada Bawaslu untuk mendesak KPU merevisi aturan tersebut.
Jalan lain yang juga akan mereka tempuh adalah mengajukan uji materi terhadap PKPU itu ke Mahkamah Agung dalam pekan ini.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyatakan sudah “berinisiatif mengakomodasi kepentingan keterwakilan perempuan” melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah sekalipun peraturan dipersoalkan belum direvisi.
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan mereka menolak merevisi aturan ini “karena baru disahkan” dan dapat “memengaruhi proses yang sudah berjalan”.
Apalagi, proses pendaftaran bacaleg telah berakhir pada 14 Mei 2023 dan akan memasuki tahap verifikasi bacaleg.
“Kurang elok sesuatu yang sudah kita sahkan, malah kita revisi. Yang terpenting, substansi pelaksanaannya tidak melanggar hak perempuan,” kata Guspardi ketika dihubungi.
Lagipula, sambungnya, dalam RDP tersebut KPU telah menyatakan bahwa tingkat keterwakilan perempuan dari 18 partai politik “telah lebih dari 30%”.
“Artinya substansi dari keterwakilan perempuan itu diakomodir oleh parpol peserta pemilu,” kata Guspardi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Menurut Guspardi, itu berarti “tidak ada yang dilanggar” dan PKPU tersebut “tidak mengubah situasi apapun”.
Dia membantah bahwa partai politik “terbebani” dengan kewajiban memenuhi keterwakilan sebesar 30% itu.
Alasan mengapa aturan ini diubah, sebatas memperhitungkan “rumus matematika” di mana pembulatan terhadap angka desimal yang kurang dari 0,5 pasti berlaku ke bawah.
“Tidak ada satupun partai politik yang menghambat pencalonan perempuan, justru yang ada kami malah merayu agar para perempuan mau mencalonkan diri,” klaim Guspardi.
Menurutnya, masyarakat yang tidak setuju dengan kesimpulan rapat itu dapat mengajukan uji materi ke MA.
Klaim capaian keterwakilan 30% diragukan
Perludem meragukan klaim KPU bahwa tingkat keterwakilan perempuan telah melebihi 30%. Sebab, data itu sulit diverifikasi karena KPU belum membuka data bacaleg di setiap daerah pemilihan.
Titi khawatir klaim keterwakilan itu hanya terjadi pada tingkat DPR. Belum ada bukti bahwa tingkat keterwakilan 30% itu telah tercapai di setiap daerah pemilihan hingga level kabupaten/kota.
“Tidak tepat untuk menghitung keterwakilan perempuan berdasarkan rata-rata nasional seluruh dapil, karena itu bisa menolerir kondisi sejumlah dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30%,” jelas Titi.
Itikad KPU untuk membuka data itu secara jernih pun dipertanyakan, setelah dalam salah satu unggahan di akun Instagram resmi KPU RI, Sekretaris Jenderal Bernad Dermawan Sutrisno justru menekankan kerahasiaan data informasi bakal calon masing-masing partai politik.
“Artinya, ada yang ditutup-tutupi. Meski baru bakal caleg dan masih masa perbaikan, justru dengan dibuka publik bisa ikut memantau dan mencermati dinamika pencalonan agar tidak terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan,” jelas dia.
Mike Verawati menenggarai perubahan pasal ini, sejak awal, adalah desakan dari partai politik “yang merasa memenuhi kewajiban 30% itu sulit”.
“Mungkin partai politik sudah berhitung untuk 2024 ini pendek sekali dan kewajiban memenuhi 30% ini dirasa membebani partai politik, termasuk bagaimana politik bagi-bagi kekuasaan yang nanti terjadi dalam partai politik. Ini akan mengganggu,” kata Mike.
“Padahal banyak kader perempuan yang didekati, tapi partai tidak memprioritaskan itu. Lebih memperhitungkan koalisi besar dan koalisi kecil,” sambungnya.
Pada praktik yang sudah terjadi pun, meski perempuan mendapatkan suara terbanyak, keputusan akhirnya tetap pada partai politik untuk menentukan siapa yang memperoleh kursi.
Dalam kasus seperti ini, Mike mengatakan sering kali caleg perempuan dikorbankan.
“Keterwakilan perempuan ini kerap dianggap sebagai beban, berkaitan dengan bagaimana proporsi perolehan di daerah pemilihan masing-masing. Partai punya trik-trik sendiri. Mungkin itu juga bagian dari memangkas kewajiban yang wajib dipenuhi oleh partai politik.
“Kami menenggarai para penyelenggara pemilu tunduk pada parpol. Padahal seharusnya mereka independen, mandiri, dan tunduk pada peraturan yang berlaku”.
Pada akhirnya, menurut Mike, yang diuntungkan dari kondisi ini adalah sosok-sosok caleg yang lebih memiliki keistimewaan dan posisi yang kuat di dalam partai politik tersebut.
Untuk saat ini, Mike mengatakan perjuangan mereka kemungkinan tidak bisa langsung berdampak bagi proses Pemilu 2024 yang telah kepalang berjalan.
Namun setidaknya, upaya melalui somasi dan uji materi diharapkan bisa memberi kepastian bahwa aturan serupa tidak akan muncul lagi dalam pemilu-pemilu berikutnya.
“Pemilu 2024 ini akan menjadi tumbal kalau ternyata peraturannya tidak jadi direvisi sama sekali, dihambat atau dipanjang-panjangkan prosesnya. Taruhlah ini dikorbankan, tapi jangan sampai aturan seperti ini lolos terus sampai Pemilu 2029 dan selanjutnya,” kata Mike.
Sebelumnya, setelah mendapat gelombang protes, KPU sempat berjanji akan merevisi peraturan yang dikhawatirkan akan mengurangi jumlah caleg perempuan untuk bersaing dalam Pemilu 2024.
Dalam waktu dekat, KPU akan mengubah Pasal 8 ayat (2) tentang aturan teknis penghitungan dari Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023
Yang semula penghitungannya dibulatkan ke bawah, akan diubah menjadi pembulatan ke atas.
Sebelumnya, perhitungan dengan membulatkan ke bawah itu dikritik karena bakal membuka ruang jumlah caleg perempuan di sejumlah daerah pemilihan, menjadi "kurang dari 30%".
"Akan dilakukan perubahan menjadi dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas," kata Hasyim Asy'ari dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (10/05).
Perubahan itu dilakukan KPU setelah melakukan diskusi dengan Bawaslu dan DKPP.
Lebih lanjut dikatakan, partai politik yang merasa keterwakilan perempuannya tidak memenuhi teknis penghitungan versi revisi, dapat memperbaiki daftar bacaleg.
Hasyim menjelaskan pihaknya akan segera berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI terkait revisi ini.
Konsultasi ini adalah tahapan yang, menurut UU Pemilu, harus dilalui dalam pembentukan peraturan KPU.
Janji KPU untuk merevisi aturan itu disampaikan setelah dikritik para pegiat perempuan.
Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 berpotensi menyebabkan jumlah caleg perempuan di sejumlah daerah pemilihan menjadi kurang dari 30%.
Padahal, selama 20 tahun terakhir, Undang-Undang Pemilu mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, mengatakan hal itu dapat “mengeliminasi” ribuan politisi perempuan yang hendak mencalonkan diri.
KPU didesak untuk merevisi aturan yang dianggap sebagai "sebuah kemunduran" dan “bertentangan dengan Undang-Undang” tersebut.
Menurut Titi, KPU "tidak berpihak" kepada perempuan, di saat sejumlah partai politik masih menganggap syarat keterwakilan perempuan "sebagai beban".
Terkait desakan itu, Komisioner KPU, Idham Holik mengklaim “KPU berkomitmen pada keterwakilan perempuan” dan “meyakini partai politik juga berkomitmen memberi peluang” bagi caleg perempuan.
Mengapa aturan KPU berpotensi ‘mengeliminasi’ caleg perempuan?
Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memberlakukan pembulatan ke bawah apabila perhitungan 30% keterwakilan perempuan dari total bakal caleg yang dibutuhkan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai contoh, apabila di suatu daerah pemilihan dibutuhkan delapan bakal caleg, maka 30% keterwakilan perempuan semestinya adalah 2,4 orang.
Namun karena angka desimalnya kurang dari koma lima, maka di dapil tersebut ada dua bakal caleg perempuan untuk memenuhi syarat.
Ini berbeda dengan peraturan KPU sebelumnya, di mana berlaku pembulatan ke atas sehingga dalam kasus tadi, keterwakilan perempuan semestinya bisa menjadi minimal tiga orang.
“Kalau pembulatan ke bawah, yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak politik perempuan. Undang-Undang kan menyebutnya ‘paling sedikit’ 30 persen, kalau lebih ya lebih bagus. Ini berdampak pada hilangnya hak politik perempuan,” kata mantan komisioner KPU, Ida Budhiati dalam konferensi pers di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat.
Titi Anggraini dari Perludem pun mempertanyakan asal muasal ayat yang memberlakukan pembulatan ke bawah ini.
Sebab, di dalam draf PKPU yang disajikan saat uji publik, ketentuan soal pembulatan masih berlaku ke atas seperti sebelum-sebelumnya.
Namun substansi yang tercantum dalam aturan yang disahkan berbunyi sebaliknya. Belum jelas bagaimana akhirnya klausul tersebut muncul, pada saat UU Pemilu yang menjadi cantolannya tidak berubah sama sekali.
“Ini jadi pertanyaan, siapa yang kemudian mengubah pendirian KPU tersebut?” kata Titi kepada BBC News Indonesia.
Yang jelas, kata Titi, KPU sempat menyatakan bahwa PKPU itu sudah merupakan hasil diskusi dan konsultasi dengan DPR.
“Tapi terlepas dari siapa yang memengaruhi KPU, ketika KPU tunduk, mengikuti dan mengubah regulasinya, berarti KPU secara sadar menegasikan konsep keterwakilan perempuan di dalam pasal 245 UU Pemilu dan memilih jalan untuk mendistorsi itu,” sambungnya.
Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan ketentuan soal pembulatan ke bawah itu muncul karena “memang yang namanya perkalian persentasi semuanya kan harus dibulatkan”.
Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh aliansi ini, pembulatan desimal ini ternyata berpotensi memengaruhi ribuan politisi perempuan yang hendak mencalonkan diri.
Ketentuan itu akan membuat keterwakilan perempuan pada daerah pemilihan dengan jumlah caleg empat, tujuh, delapan, dan 11 menjadi kurang dari 30%.
Pada daerah dengan empat caleg, misalnya, hanya diwajibkan satu caleg perempuan untuk bisa memenuhi syarat. Padahal satu dari empat caleg berarti keterwakilan perempuan hanya mencapai 25%.
Ketika disimulasikan dengan kursi DPR, Titi mengatakan ada 38 dari total 84 daerah pemilihan yang keterwakilan perempuannya menjadi kurang dari 30%.
“Itu hanya di DPR RI, dan hanya dari satu partai. Bayangkan kalau dikalikan 18 partai politik peserta pemilu, berapa banyak hak politik perempuan yang akan tercederai dan tereliminasi oleh ketentuan ini?”
“Perempuan yang seharusnya bisa berkompetisi pada 2024 lalu tidak mendapatkan tiket itu, karena keterwakilan perempuan didistorsi dan dieliminasi oleh ketentuan itu,” kata Titi.
“Itu belum termasuk di DPRD provinsi yang dapilnya ratusan, DPRD kabupaten/kota itu dapilnya ribuan, bisa dikalikan dengan jumlah partai politik kita, berapa ribu perempuan politik yang akan terdampak oleh kebijakan yang dibuat oleh KPU ini?” sambungnya.
Terkait itu, Idham Holik menyatakan bahwa KPU “meyakini partai politik memiliki komitmen untuk memberikan perempuan kesempatan untuk maju dalam kandidasi”.
Namun bagi Titi, KPU tidak bisa sepenuhnya menggantungkan komitmen itu pada partai politik.
“Pernyataan bahwa partai akan patuh pada komitmen memenuhi keterwakilan perempuan, itu kan baru asumsi. Akan tetap ada ruang dan kemungkinan partai yang memanfaatkan ruang tersebut karena itu tidak menyimpang,” tutur dia.
Realitanya, masih ada politisi yang menyebut keterwakilan perempuan dalam pendaftaran bakal caleg sebagai “beban”.
Dengan ketentuan keterwakilan minimal 30% dalam tahap pendaftaran itu pun, Titi mengatakan jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi legislatif belum pernah mencapai 30%. Padahal jumlah pemilih perempuan dalam setiap pemilu tidak pernah kurang dari 49%.
Saat ini, hanya 20,5% kursi di DPR yang diduduki oleh perempuan.
Politisi perempuan dari Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan dalam konteks saat ini, politisi perempuan masih menghadapi tantangan-tantangan yang berpotensi meredam upaya mereka untuk mencalonkan diri.
“Realitanya kita masih hidup di budaya patriarki, realitanya kalau mau maju banyak dari mereka enggak bisa maju karena harus dapat izin dari suami, dari bapaknya atau yang lain. Kalaupun punya kemampuan intelektual dan akademis, belum tentu dia punya kemampuan dan independensi ekonomi,” kata Rahayu.
Meski partai politik umumnya menyatakan “mendukung 30% keterwakilan perempuan”, Rahayu mengatakan tidak semua partai benar-benar menerapkannya dengan alasan “sulit mencari caleg perempuan”.
“Tapi saya rasa ini bukan alasan untuk bisa memberlakukan hitungan seperti itu,” kata Rahayu.
“Dengan kondisi saat ini masih sangat sulit dan dengan semua tantangan itu, kita butuh aturan yang mendukung perempuan,” ujar dia.
Dalam audiensi yang digelar pada Senin (8/5), Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan memberi waktu 2x24 jam kepada Bawaslu menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk merevisi aturan tersebut.
Apabila rekomendasi itu tidak diterbitkan dalam batas waktu yang ditentukan, mereka akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Menanggapi desakan tersebut, Bawaslu menyatakan akan segera mengadakan pertemuan tripartit dengan KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) “untuk mendorong bagaimana aspirasi ini bisa dilihat, dipertimbangkan, dan direvisi”.
“Kenapa tripartit? Karena tentu saja proses [pencalonan] yang sudah berjalan tidak boleh terganggu, kedua, harus ada solusi cepat yang tidak mengamputasi dan membatasi keterlibatan perempuan dalam politik,” kata Anggota Bawaslu Lolly Suhenty dalam konferensi pers di Jakarta.
Sejumlah politisi perempuan menilai berkurangnya jaminan soal keterwakilan perempuan dapat menghambat upaya untuk mengarusutamakan perspektif gender dalam berbagai kebijakan.
Menurut Rahayu, Peraturan KPU ini sendiri adalah bukti dari “kurangnya perspektif perempuan” dalam perumusannya.
“Contoh seperti [aturan] ini, dengan kurangnya anggota perempuan di Komisi II, apalagi di tingkat pimpinan, kalau misalkan enggak punya sosok yang kuat di partainya masing-masing, sudah pasti tidak bisa memengaruhi keputusan,” kata Rahayu.
Senada, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Diah Pitaloka, menyebut bahwa isu-isu terkait perempuan yang kini mewarnai ruang-ruang di DPR adalah wujud dari perspektif para perempuan itu sendiri.
Misalnya dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga, serta Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Namun dia juga menekankan bahwa perspektif perempuan tidak cuma dibutuhkan dalam isu-isu yang berkaitan dengan perempuan saja.
“Juga isu politik yang dinilai maskulin pun perlu ada perspektif perempuan dalam kepemimpinan. Kebijakan apapun perlu perspektif perempuan, termasuk masalah lingkungan hidup, karena perempuan bsia melihat permasalahannya lebih detil karena mereka berhubungan langsung dengan level mikro,” jelas Diah.
Namun kenyataannya, di parlemen saat ini, politisi perempuan yang kalah jumlah “belum dipandang sebagai subjek”.
“Itu yang kami rasa, perempuan hanya jadi kelas kedua dalam pemilu, pelengkap dalam pemilu, pemenuh daftar caleg, perempuan belum dilihat sebagai subjek politik yang dominan di Indonesia,” ujarnya.
“Kalau kami enggak bergerak, nanti perempuan makin terjepit posisi politiknya.”
Upaya memperjuangkan kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30% keterwakilan perempuan dimulai sejak awal era Reformasi.
Menurut catatan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, aspirasi itu muncul setelah hasil Pemilu 1999 –yang merupakan pemilu demokratis pertama di Indonesia usai Refirmasi—perempuan hanya berhasil menduduki 9% kursi di DPR.
Padahal pada pemilu-pemilu sebelumnya di era Orde Baru, jumlahnya tidak pernah kurang dari dua digit.
Afirmasi itu untuk pertama kalinya diteguhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang mewajibkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif.
Persentase keterwakilan caleg perempuan pun terus meningkat sejak saat itu, yakni 29% pada 2004, 33,6% pada 2009, 37,6% pada 2014, lalu 40% pada 2019.
Meski demikian, jumlah caleg perempuan yang berhasil menduduki kursi di parlemen belum pernah mencapai 30%.
Pada 2004, jumlahnya hanya 11,8%, lalu 18% pada 2009, 17% pada 2014, dan 20% pada 2019. Padahal, jumlah pemilih perempuan sejak Pemilu 2004 tidak pernah kurang dari 49%. (*)
Tags : komisi pemilihan umum, kpu dikritik, pemilu 2024 tidak membawa keterwakilan perempuan, pemilu 2024, pilpres 2024, perempuan, gender,