JAKARTA - Pencemaran udara di Jakarta semakin memburuk, Pemprov DKI melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perhubungan akan membentuk satuan tugas untuk melakukan razia dan memberikan sanksi kepada pemilik kendaraan bermotor yang belum melaksanakan uji emisi.
"Kualitas udara sudah sangat kritis membuat pemerintah buru kenderaan bermotor untuk uji emisi."
"Pergub 66 Tahun 2020 mengamanatkan kami untuk melaksanakan uji emisi menyeluruh. ini amanat publik untuk terus menjaga kualitas udara di Jakarta," ujar Asep Kuswanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dalam konferensi pers pada Jumat (11/8).
Ia mengatakan perlu adanya langkah konkrit agar warga Jakarta yang memiliki kendaraan bermotor menjalankan uji emisi secara masif, salah satunya dengan melakukan razia uji emisi.
"Kami akan godok mekanisme pembentukan Satuan tugas dengan Korlantas Polri, Polda Metro Jaya dan Dishub agar mempercepat pengendalian sumber emisi bergerak," katanya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK, Sigit Reliantoro menyebutkan bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai pihak, sektor transportasi adalah penyumbang emisi terbanyak di Indonesia.
“Sektor transportasi menjadi penyumbang sumber emisi terbanyak di Indonesia, 44% emisi dihasilkan dari mobilitas kendaraan bermotor. Kita harus bersinergi untuk menanggulanginya” ujar Sigit.
Meskipun menurut data Kementerian LHK transportasi menjadi penyumbang polusi udara terbesar, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin, pemerintah juga perlu memperhatikan kawasan industri yang menjadi penyumbang 31% dari polusi udara berdasarkan data inventarisasi KLHK.
Sebab, sampai sekarang masih banyak kawasan industri berupa PLTU dan pabrik-pabrik lainnya yang membuang limbah yang berujung pada pencemaran udara.
“Kita lihat kawasan industri Pulogadung, kemudian kawasan industri termasuk yang di luar DKI Jakarta, apakah di Sentul, kemudian di Bogor, kemudian di Tangerang, dan sebagainya.
“Intinya DKI Jakarta maupun KLHK tidak punya semacam kekuatan untuk mendorong proses penerapan program dan berangkat pengendalian pencemaran udara tadi,” kata Ahmad.
Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia, mengatakan memang ada peningkatan jumlah pengidap penyakit saluran pernapasan pada 2023 dibandingkan pada 2022.
Namun, ia mengatakan tingkatnya hampir sama dengan masa pra-pandemi, yakni pada 2018-2019.
“Intinya, berarti untuk kesehatan kita perlu mengelola, faktor risiko lingkungan akibat polusi dalam bentuk perilaku baik perilaku mulai dari kecil sampai dengan dewasa.
“Termasuk mengurangi faktor risiko untuk penyakit tidak menular. Karena secara teori, polusi juga bisa memberikan dampak kepada penyakit tidak menular,” kata Dwi.
Berdasarkan data Indeks Kualitas Udara (AQI) Air, indeks kualitas polusi udara di Jakarta sudah masuk kategori tidak sehat dan bahkan sempat menduduki peringkat kedua negara dengan kadar udara di dunia pada 178 AQI.
Masalah pencemaran udara sudah lama meresahkan warga Jakarta. Dua tahun lalu, beberapa warga yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta) menggugat sejumlah pihak termasuk Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Gubernur DKI Jakarta berkaitan dengan penanganan polusi udara.
Namun, sampai saat ini, Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melayangkan kasasi terhadap gugatan tersebut.
'Mau sembuh? Keluar dari Jakarta'
Farah Nurfirman merupakan warga DKI Jakarta yang sejak kecil sudah mengidap penyakit asma. Kondisi tersebut membuatnya sulit bernapas ketika udara yang ia hirup terkontaminasi oleh debu atau polusi.
Karena ia sudah tumbuh kembang di Jakarta, ia merasa sulit baginya untuk beraktivitas di tengah pencemaran udara yang belum kunjung membaik.
“Karena asma aku itu berat, turunan juga. Dan ini enggak cuma sekali [kambuh] saja, ini sudah berkali-kali. Setiap dokter suruh aku untuk pindah keluar dari Jakarta.
"‘Mau sembuh, ya keluar dari Jakarta atau kamu bakal begini terus’,” kata Farah yang mengingat kembali kata-kata dokternya.
Ia sendiri merasa kualitas udara dalam beberapa minggu terakhir telah menjadi semakin buruk. Sebab, ia lebih sering terkena serangan asma. Bahkan ia sekarang harus membawa alat bantu pernapasan alias inhaler dan obat asmanya ke mana pun ia pergi.
“Dan sebenernya capek, karena aku nggak bisa ngapa-ngapain. Dan ini tempat tinggal aku. Jadi pencegahannya aku cuma bisa pakai masker. Tapi ujung-ujungnya enggak banyak yang bisa aku lakuin,” keluhnya.
Ia merasa pencemaran udara sudah lama menjadi masalah di Jakarta. Hanya saja, baru sekarang mulai disorot oleh warganet dan kemudian pemerintah.
“Kenapa orang baru bergerak mentang-mentang udah viral. Mereka dari dulu ke mana? Ini masalah udah dari dulu bahkan Covid sempat naik — udara Indonesia sempat terbersih gara-gara pandemi itu,“ ungkap Farah.
Farah yang kini sedang menjalani program magang di sebuah agensi pemasaran di Jakarta, selalu memakai masker setiap keluar rumah. Selain itu, ia juga membawa pengukur oksigen guna mengantisipasi serangan asma.
“[Kadar oksigen] turun sedikit saja sudah kerasa banget. Itu buat orang asma turun 2% aja, itu udah sesak. Dan enggak cuma sesak, dadaku sakit banget. Jadi susah bernapas,” kata Farah.
Tak hanya pengidap asma seperti Farah yang merasakan dampak buruknya kualitas udara di Jakarta, Juan Emmanuel Dharmadjaya yang pernah menderita Tuberkulosis (TBC) dan kini mengidap sinus juga mulai khawatir akan kesehatannya akibat menghirup udara yang tercemar.
“Jadi memang lagi buru, jadi itu memicu [sinus]. Jadi tiba-tiba hidungku meler, itu yang paling berasa. Terus di rumah aku pakai air purifier (penyaring udara). Dan saat pakai air purifier terus tidur, itu beda banget, hidungku langsung plong,” kata Juan.
Ia membandingkan kualitas udara di Jakarta dan saat ia melakukan studi gelar gandanya di Jerman. Ia merasakan perbedaan udara sangat signifikan berdasarkan respons tubuhnya.
“Di Eropa, aku enggak pernah ada meler, batuk, pilek meskipun itu di winter, suhunya minus, atau misalkan lagi musim semi juga suhunya masih rendah sampai 10 derajat, itu aku enggak pernah sampai pilek segala macam.
“Tapi saat aku balik ke Indonesia, itu langsung hidungku meler. Pokoknya parah, mampet,” katanya.
Oleh karena itu, ia sendiri mulai mempertimbangkan apakah ia harus pindah dan menetap di luar negeri. Karena kualitas udara di Jakarta mulai berdampak buruk pada kesehatannya.
“Aku rasa akan susah buat aku tetap tinggal [di Indonesia]. Meskipun aku sangat ingin tetap tinggal di sini karena ada keluargaku. Aku lahir di sini, di Indonesia.
“Tapi aku juga harus memprioritaskan kesehatan. Dan juga masa depan saya, jika saya punya keluarga atau anak-anak saya juga harus diperhatikan,” kata Juan.
KPBB sebut pencemaran udara “sudah sangat krisis”
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, menyebut masalah kualitas udara di Jakarta sudah mencapai tingkat yang bisa dibilang “sangat krisis”. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya warga yang terkena penyakit saluran pernapasan.
“Sudah terjadi secara kronis, kemudian dampaknya sudah sedemikian akut mengenai warga masyarakat. Jadi sebenarnya ini enggak bisa dianggap enteng lagi,” kata Ahmad.
Dampak kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara dapat bervariasi, dengan beberapa penyakit yang sering timbul berupa asma bronkial, bronkopneumonia, ISPA, pneumonia, jantung koroner, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maupun kanker nasofaring.
Bahkan, berdasarkan hasil riset KPBB pada 2019 menemukan tingginya prevalensi kondisi pernapasan di antara penduduk Jakarta, yakni sebanyak 1,4 juta kasus asma, 200.000 kasus bronkitis, 172.000 kasus.
“Jadi, dalam konteks ini, biar tidak menjadi masalah yang kritis untuk kesehatan warga kota, sebenarnya tidak hanya Jakarta, kota-kota lain juga mengalami hal serupa, cuma tidak terdeteksi. Ya mau tidak mau harus kita coba perbaiki kualitas udara ini,” ujarnya.
Berdasarkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2023 memang terjadi peningkatan kasus warga yang mengalami penyakit saluran napas dibandingkan tahun lalu.
“Tapi kurang lebih ini sama dengan gambaran kita yang kita lihat tadi di penyampaian Pak Dirjen, bahwa sebenarnya ini kondisi yang kurang lebih kita lihat juga di era sebelum Covid,” kata Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DKI Jakarta, Dwi Oktavia pada konferensi pers.
Dwi menjelaskan bahwa selama periode 2020-2021 penyakit saluran pernapasan sebagian besar didominasi oleh pasien Covid-19. Sementara kini, dengan Indonesia mencabut status epidemi Covid-19, penyakit saluran pernapasan di luar Covid-19 mengalami peningkatan.
Pola tersebut menurutnya sudah sesuai dengan angka kasus penyakit saluran pernapasan pada 2018-2019, yakni pra-pandemi.
“Untuk DKI Jakarta kita harus tadi berperilaku lebih aktif, dengan menggunakan kendaraan umum, bersepeda.
"Itu merupakan bentuk-bentuk juga upaya bagaimana kita mengurangi risiko kesehatan dan itu sangat penting dan signifikan untuk memperbaiki kondisi kesehatan kita,” ungkap Dwi
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama, polusi udara memang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai kota di berbagai belahan dunia.
“WHO menyatakan bahwa di sekitar 90% anak di dunia hidup dalam lingkungan yang kadar polusi udaranya melebihi ambang batas,” jelas Prof Tjandra.
Prof Tjandra menyebut tiga kemungkinan dampak polusi udara pada Kesehatan. Yang pertama yaitu penyakit infeksi akut, seperti ISPA yang dapat berupa radang tenggorok, bronkitis dan lainnya.
Kedua, adalah penyakit kronik seseorang yang menjadi semakin parah akibat menghirup udara tercemar.
“Misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu jiuga pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan lebih mungkin eksaserbasi akut,” ungkapnya.
Kemudian, menurut Prof Tjandra, jikalau polusi udara terjadi secara berkepanjangan selama bertahun-tahun, maka secara teoritis hal tersebut dapat menimbulkan penyakit paru kronik,
Namun, lanjutnya, pada kenyataannya polusi udara cenderung berfluktuasi. Sehingga ia tidak yakin kualitas udara akan terus buruk. Artinya, yang terjadi bukanlah dampak berkepanjangan.
“Jadi dampak terjadinya penyakit paru kronik sampai mungkin kanker paru dll bukanlah terjadi akibat polusi udara yang memburuk hanya dalam beberapa hari atau minggu saja seperti sekarang ini.”
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK, Sigit Reliantoro, mengatakan saat ini pemerintah sedang fokus pada upaya mengendalikan polusi udara di bidang transportasi.
Beberapa solusi yang ditawarkan mencakup penerapan uji emisi kendaraan dengan tarif parkir lebih tinggi untuk kendaraan yang tidak lolos uji emisi, perbaikan fasilitas transportasi umum dan mendorong penggunaan kendaraan listrik.
“Dari uji emisi itu ada kesepakatan di semua pemerintah daerah di Jabodetabek untuk bersama-sama mengatasi pencemaran udara di Jabodetabek itu. Di pertemuan pertama, kita selain sepakat untuk bersama-sama.
“Kita juga sudah mulai menerapi, karena yang low hanging fruit-nya kan uji emisi kendaraan bermotor. Itu yang akan kita fokus,” ujar Sigit.
Ia merujuk pada data yang tertera pada kajian inventarisasi emisi pencemar udara yang menunjukkan transportasi menjadi penyumbang terbesar polusi udara, dengan 44%. Sementara bidang industri menyumbang polusi udara sebesar 31%.
Padahal, riset Center for Research on Energy and Clean Air yang diterbitkan pada Agustus 2020 mendapati pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan pabrik industri sebagai pencemar udara utama.
Dalam Inventarisasi emisi yang dilakukan lembaga tersebut di daerah Banten, Jawa Barat dan Jakarta, mereka menemukan bahwa Banten dan Jawa Barat memiliki emisi PM2.5, SO2 dan NOx yang jauh lebih tinggi daripada Jakarta. Dan sebagian besar disebabkan oleh industri dan pembangkit listrik.
Bahkan, kawasan industri diyakini menjadi penyebab mengapa Ketika kegiatan lalu lintas menurun namun pencemaran udara tidak kunjung turun. Sebab, polusi dari daerah-daerah kawasan industri berpindah ke Jakarta, sebuah fenomena yang disebut pencemaran udara lintas batas.
Sehingga, kesimpulan dalam riset itu mengatakan pengendalian emisi dari sektor transportasi tidak cukup untuk menangani polusi udara di Jakarta.
Menanggapi perbedaan data yang menunjukkan sumber pencemaran udara, Sigit mengakui pihaknya masih perlu melakukan pencocokkan data hasil inventarisasi dengan lembaga-lembaga lain.
“Itu yang akan kita samakan metodologinya, sekaligus sharing data. Di kami sudah ada sekitar 1000-an informasi mengenai titik-titik sumber pencemaran dari industri atau teropong. Kemudian yang kita masih belum punya data lengkap itu yang dari sumber tidak bergerak,” ujar Sigit.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah sedang menyiapkan Undang-Undang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Udara yang akan dibuat berdasarkan Perda yang sudah ada di tingkat DKI Jakarta.
“Yang DKI sudah ada, itu yang kita jadikan backbone-nya untuk se-Jabodetabek. Tentu kita memerlukan dukungan,” ujar Sigit.
Dua tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan empat pihak yang digugat oleh Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta) telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara.
Para tergugat dalam perkara mencakup Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, tergugat mencakup Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.
Namun, sampai saat ini, Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melayangkan kasasi terhadap gugatan tersebut.
Apa yang perlu masyarakat lakukan agar terlindung dari dampak pencemaran udara?
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan masyarakat di kala kualitas udara sedang tidak sehat.
Pertama, berupaya membatasi aktivitas fisik berat di daerah dimana polusi udara memang sedang tinggi. Sebagai contoh, di daerah yang padat kendaraan atau di dekat kawasan industri.
Ia juga menyarankan agar masyarakat mengenakan masker untuk melindungi diri ketika polusi udara sedang tinggi.
“Tentu masker tidak sepenuhnya dapat mencegah polutan udara masuk ke paru, tetapi setidaknya dapat membantu, selain juga mencegah penularan penyakit lain,” ujar Prof Tjandra.
Kemudian, mengingat bahwa udara sedang penuh dengan polusi, maka ia tidak menyarankan masyarakat menambah polusi lain masuk ke paru dan saluran napas.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar masyarakat tidak merokok ataupun membakar sampah di lahan terbuka.
“Upayakan jangan melakukan kegiatan yang menambah polusi udara di sekitar kita,” katanya.
Sementara, untuk masyarakat yang memiliki penyakit kronik pernapasan, ia menyarankan agar obat untuk penyakit tersebut rutin dikonsumsi sesuai aturan yang ada
“Kalau ada pemburukan dan keluhan tambahan - serangan asma misalnya - maka segera berkonsultasi ke petugas kesehatan, atau setidaknya gunakan obat yang memang sudah dianjurkan untuk mengatasi pemburukan keluhan,” tegas Prof Tjandra. (*)
Tags : kualitas udara, pencemaran udara, kualitas dan pencemaran udara memburuk, jakarta, polusi udara, kesehatan, kualitas udara sangat kritis, pemerintah terapkan uji emisi,