INTERNASIONAL - Masyarakat internasional, termasuk AS dan para pejabat tinggi pertahanan dari 12 negara, mengecam keras atas pembunuhan lebih dari 100 orang pemrotes anti-kudeta di Myanmar Sabtu pekan lalu (27/3). Pada hari yang sama, para pejabat militer Myanmar malah berpesta merayakan Hari Angkatan Bersenjata.
Amerika Serikat menuding pasukan keamanan Myanmar menjalankan teror pada Sabtu lalu dengan membunuh lebih dari 100 pemrotes, hari yang paling berdarah sejak kudeta militer 1 Februari. Pada hari itu, pasukan keamanan menewaskan lebih dari 100 orang, 7 di antaranya anak-anak, ungkap kantor berita AFP. Malamnya, pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing dan para pejabat menggelar pesta perayaan Hari Angkatan Bersenjata.
Pada hari Minggu, saat pemakaman para korban digelar, muncul kabar pihak militer berupaya membubarkan jalannya perkabungan. Akibat pembantaian pada Sabtu pekan lalu itu, sudah lebih dari 400 warga sipil tewas di tengah rangkaian aksi protes menentang kudeta militer. Pasukan keamanan Myanmar melepaskan tembakan di lebih dari 40 lokasi pada Sabtu pekan lalu. Mantan ibu kota yang kini jadi pusat dagang, Yangon, jadi lokasi penembakan maut yang menewaskan puluhan orang.
Pembunuhan serupa juga dilaporkan berlangsung di tempat-tempat lain, mulai dari Kachin di utara hingga Taninthartharyi di ujung selatan. Junta militer mengambil alih paksa kepemimpinan setelah partai pimpinan Aung San Suu Kyi, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak pada pemilu 8 November 2020.
Dunia mengecam
Presiden AS, Joe Biden, pada Minggu waktu setempat mengencam respons brutal pasukan keamanan Myanmar atas para pengunjuk rasa yang dia anggap sudah "benar-benar keterlaluan". Muncul kabar sedikitnya 107 orang tewas di penjuru Myanmar pada Sabtu pekan lalu ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah para pemrotes. "Ini mengerikan," kata Biden kepada para wartawan dari kediaman pribadinya di negara bagian Delaware dirilis BBC.
"Benar-benar memalukan dan berdasarkan laporan yang saya terima, begitu banyak orang yang dibunuh dengan semena-mena."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan dia "sangat terkejut" dengan kekerasan yang terjadi. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebutnya sebagai "titik terendah baru".
Sementara itu, Pelapor Khusus PBB Tom Andrews menyerukan pertemuan darurat internasional. Sedangkan para pejabat tinggi pertahanan dari puluhan negara, termasuk Inggris, pada Minggu kemarin menerbitkan pernyataan bersama yang mengecam kekerasan junta militer. Pernyataan itu juga dibuat oleh AS, Jepang, dan Australia. "Militer yang profesional [seharusnya] mengikuti standar perilaku internasional dan bertanggung jawab untuk melindungi - bukan malah menyakiti - rakyat," demikian pernyataan bersama itu.
Pemerintah Inggris pun meminta semua warganya di Myanmar untuk "sesegera mungkin meninggalkan negara itu". Kementerian Luar Negeri Inggris menyatakan bahwa saran itu "menyusul meningkatnya kekerasan secara signifikan pada 27 Maret". "Kami sebelumnya juga meminta warga Inggris untuk pergi kecuali memiliki kepentingan mendesak untuk tetap tinggal," demikian pernyataan Kemlu Inggris.
Di sisi lain, China dan Rusia belum ikut serta menyampaikan kritik serupa. Sikap China dan Rusia itu membuat Dewan Keamanan PBB hingga kini belum bisa memberi reaksi atas kekerasan di Myanmar, mengingat dua negara tersebut memiliki hak veto untuk bisa menggugurkan rancangan resolusi. Pihak militer menyelenggarakan sebuah pesta mewah untuk merayakan Hari Angkatan Bersenjata, yang memperingati perlawanan militer Myanmar terhadap pasukan pendudukan Jepang pada tahun 1945.
Sejumlah gambar dari tayangan televisi pemerintah beredar di media sosial. Gambar-gambar tersebut menunjukkan para pejabat militer, termasuk Jenderal Min Aung Hlaing, mengenakan seragam putih dan dasi kupu-kupu. Mereka berjalan di atas karpet merah sambil tersenyum sebelum kemudian duduk di meja-mejar besar untuk menikmati makan malam. Acara tersebut menuai kemarahan dari beberapa orang di media sosial, termasuk seorang aktivis setempat bernama Maung Zarni.
Sejumlah unggahan di Twitter menempatkan foto-foto pesta di samping gambar para korban. Sebelumnya pada hari Sabtu itu, militer juga mengadakan parade. Dalam acara itu, Min Aung Hlaing menyampaikan sebuah pidato dimana ia mengatakan ingin "menjaga demokrasi" tetapi juga memberi peringatan soal "aksi kekerasan". Perwakilan dari Rusia, China, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos dan Thailand turut hadir dalam acara parade itu.
Pada hari Minggu, sejumlah keluarga mengadakan pemakaman untuk beberapa dari korban yang terbunuh sehari sebelumnya. Salah satunya adalah Kyaw Win Maung, yang ditembak mati di Mandalay. Acara pemakaman di kota itu juga diadakan untuk Aye Ko, seorang ayah dari empat anak. "Kami diberitahu oleh para tetangga bahwa Aye Ko ditembak dan dilempar ke dalam api," kata seorang kerabat kepada kantor berita AFP. "Dia satu-satunya yang memberi makan keluarga, kehilangan dia adalah kerugian besar bagi keluarga."
Sementara di kota Bago, sejumlah saksi mata mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pasukan keamanan melepaskan tembakan ketika warga menggelar upacara pemakaman untuk seorang siswa usia 20 tahun yang terbunuh. "Saat kami [sedang] menyanyikan lagu revolusi untuknya, aparat keamanan datang dan menembak kami," kata seorang perempuan yang berada di acara pemakaman itu. "Orang-orang, termasuk kami, lari saat mereka melepaskan tembakan."
Tidak ada laporan tentang protes berskala besar di Yangon atau Mandalay, yang mencatat korban paling banyak dalam tindakan keras pada Sabtu. Namun, ada aksi unjuk rasa di kota-kota lain, termasuk Katha dan Hsipaw, menurut sejumlah laporan. Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mencatat dua belas orang yang terbunuh pada Minggu (28/03). Sebelumnya, setidaknya hampir seratus orang di Myanmar dikabarkan tewas saat aparat lokal menindak pedemo yang menentang kudeta militer di negara tersebut, Sabtu (27/03).
Sejumlah kalangan menyebut Sabtu kemarin sebagai hari paling mematikan sejak militer Myanmar merebut kekuasaan sipil, Februari lalu. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, menuding pembunuhan itu menunjukkan bahwa "pemerintahan junta militer Myanmar akan mengorbankan nyawa masyarakat demi kepentingan segelitir orang". Adapun Utusan khusus Uni Eropa untuk Myanmar menyatakan, Sabtu kemarin, yang diperingati sebagai Hari Angkatan Bersenjata, akan terukir menjadi hari penuh teror dan aib.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengaku sangat terkejut dengan peristiwa ini. Tindakan keras yang mematikan terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, terjadi saat pengunjuk rasa menentang peringatan Hari Angkatan Bersenjata. Pedemo turun ke jalan-jalan di berbagai kota. Kelompok aktivis bernama Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), menyebut setidaknya 91 pedemo tewas Sabtu kemarin. Namun beberapa media massa lokal memperkirakan angka korban tewas lebih tinggi. "Mereka membunuh kami seperti burung atau ayam, bahkan saat kami tengah berada di rumah kami," kata warga Myanmar, Thu Ya Zaw, kepada kantor berita Reuters, di kota Myingyan.
"Kami akan terus melancarkan protes," ujarnya
Pada Jumat malam sebelumnya, stasiun televisi milik pemerintah menyiarkan pernyataan bahwa "warga Myanmar harus belajar dari tragedi kematian yang buruk sebelumnya dan bahwa mereka terancam ditembak di kepala dan punggung". Pasukan keamanan mengerahkan kekuatan untuk mencegah unjuk rasa. Berbagai foto yang diunggah di media sosial menunjukkan orang-orang dengan luka tembak dan keluarga yang berduka.
Direktur Jaringan Hak Asasi Manusia Myanmar di Inggris, Kyaw Win, berkata kepada BBC bahwa militer negara itu tidak memiliki batasan dan tidak memegang prinsip. "Ini pembantaian, bukan lagi tindakan keras," kata Kyaw Win.
Tindakan keras dengan peluru tajam dilaporkan terjadi di lebih dari 40 lokasi di seluruh Myanmar. Situs berita lokal, Myanmar Now, menyebut jumlah korban tewas mencapai 114 orang. Sementara PBB mengaku menerima laporan tentang "puluhan orang tewas" dan ratusan lainnya yang terluka. AAPP mengatakan, seorang anak perempuan berusia 13 tahun adalah satu di antara korban tewas. Dia ditembak mati saat berada di dalam rumahnya.
Sejumlah saksi dan sumber mengatakan kepada BBC tentang kematian pengunjuk rasa yang juga terjadi di kota lainnya, seperti Magway, Mogok, Kyaukpadaung, dan Mayangone. Kematian juga dilaporkan terjadi di Yangon dan di jalan-jalan kota terbesar kedua di Myanmar, yaitu Mandalay. Di Mandalay para pengunjuk rasa membawa bendera Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Mereka juga menunjukkan salam tiga jari, simbol anti-otoriter mereka. Pihak militer belum mengeluarkan pernyataan apapun terkait pembunuhan yang terjadi.
Dalam pidato pada seremoni Hari Angkatan Bersenjata yang disiarkan di televisi, pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, menyebut tentara ingin "bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk menjaga demokrasi". "Tindakan kekerasan yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan untuk menyatakan tuntutan adalah perbuatan yang tidak tepat," ujarnya.
Sementara itu, kelompok etnis bersenjata di timur Myanmar mengatakan, sejumlah pesawat tempur militer menjadikan wilayah yang mereka kuasai sebagai target. Serangan terhadap wilayah itu dilancarkan beberapa jam setelah kelompok bernama Karen National Union itu mengeklaim telah menyerbu sebuah pos militer dekat perbatasan Thailand. Peristiwa ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara kelompok itu dengan militer Myanmar. Selama beberapa tahun terakhir, hubungan mereka relatif damai.
Di seluruh Myanmar, anak-anak turut menjadi korban yang terluka dan tewas pada hari paling berdarah sejak kudeta tanggal 1 Februari. Seorang Ibu dari anak berusia empat belas tahun, bernama Pan Ei Phyu, berkata bahwa dia bergegas menutup semua pintu rumah saat mendengar pasukan tentara militer turun ke permukimannya. Namun dia tidak cukup cepat. Tak lama setelahnya, dia memegangi tubuh putrinya yang berlumuran darah. "Saya melihatnya pingsan dan awalnya mengira dia terpeleset dan jatuh. Tapi kemudian darah muncrat dari dadanya," katanya kepada BBC Burma dari Kota Meiktila di Myanmar tengah.
Pembunuhan secara acak ini sangat mengejutkan. Berbekal senjata perang, pasukan keamanan tampaknya bersedia menembak siapa pun yang mereka lihat di jalanan. Kebrutalan itu menunjukkan mereka mampu mengambil tindakan yang lebih ekstrem ketimbang yang telah kita saksikan sejak kudeta. Pihak militer maupun gerakan pro-demokrasi belum mau mengendurkan sikap mereka. Militer mengira dapat meneror masyarakat untuk mencapai "stabilitas dan keamanan". Namun gerakan jalanan yang dipimpin oleh orang-orang muda bertekad membersihkan Myanmar dari kediktatoran militer untuk selamanya. Sungguh menyakitkan menghitung jumlah korban tewas, terutama anak-anak. (*)
Tags : Kudeta Myanmar, Warga Sipil Tewas, Tewas Dibantai,