"Belakangan lahan sawit di kawasan hutan jadi polemik yang diduga ada keterlibatan pejabat negara"
engusaha kelapa sawit merespons soal dugaan keterlibatan pejabat negara dalam kepemilikan 3,3 juta hektare (ha) lahan sawit di kawasan hutan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
"Belum tau bener apa enggaknya, kan gini apakah itu ada namanya pejabat apa enggak kan gitu. Kita kan enggak tahu persis, kita enggak bisa asal-asal tahu itu punya siapa punya siapa, itu kan masyarakat yang bukan perusahaan jadi saya enggak tahu," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoensia [Gapki], Eddy Martono, di Jakarta, Senin (25/6).
Koordiantor Indonesian Corruption Investigation [ICI] melihat kerugian negara tetap ada dan perlu dilakukan evaluasi kerusakan-kerusakan pada lingkungan hidup.
"Dalam beberapa tahun terakhir muncul upaya untuk menghitung dan menetapkan nilai finansial bagi barang dan jasa dalam ekosistem tropis, terutama dari hutan," kata Koordinator ICI, Darmawi Wardhana Zalik Aris menilai, tadi Rabu (28/6).
Menurutnya, ekosistem hutan seperti yang ada di Riau selama ini menyediakan sumber daya dan jasa dengan nilai-nilai yang luas untuk masyarakat.
Nilai-nilai tersebut meliputi nilai yang bisa dimanfaatkan langsung, terkait dengan sumber daya alam yang dapat dikelola dan dimanfaatkan langsung, serta nilai tidak langsung yang berkaitan dengan keragaman hayati dan jasa ekosistem yang penting bagi masyarakat.
"Selain itu, alam juga menghasilkan berbagai nilai intrinsik dan nilai budaya, agama, serta sejarah yang terintegrasi," sebutnya.
Dia pun menyinggung soal adanya penetapan nilai-nilai tersebut bertujuan untuk menghasilkan rujukan dalam pengambilan keputusan dan dalam perhitungan pajak, serta skema pembayaran. Nilai-nilai ini juga dapat digunakan untuk menghitung kerugian ketika terjadi kerusakan lingkungan," terangnya.
Tetapi Darmawi menilai jika ada keterlibatan pejabat dalam hal ini maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut soal kepemilikan lahan guna membuktikan ada atau tidaknya keterlibatan pejabat itu.
Hal sama juga disebutkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, soal adanya dugaan keterlibatan pejabat dalam penguasaan lahan ini.
Menurut Eddy, adapun keterlibatan pejabat yang dimaksudkan Menko Luhut yaitu main belakang terkait perizinan.
"Nah pejabat itu maksudnya mungkin gini, kalau pejabat itu mungkin dianggapnya pada waktu memberikan izin dia ini kawasan hutan dikasih izin padahal ini sebenarnya itu di dalam UUD sendiri memperbolehkan kawasan hutan jadi kebun, di situ yang tidak boleh itu hutan lindung dan konservasi," bebernya.
Eddy mengungkapkan bahwa ada aturan yang menyatakan bahwa hutan produksi dapat dikonversi dan dipakai untuk budidaya hingga pengembangan kabupaten.
Dalam hal ini, terdapat kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), yaitu kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
"Jadi sebenarnya bukan berarti bahwa ini ilegal, tidak. Tapi ini legal berdasarkan aturan yang sebelumnya," katanya.
"Legal HPK itu hutan produksi yang dapat diproduksi memang itu untuk budidaya salah satunya untuk kebun, untuk tanaman pangan, untuk pengembangan kabupaten/kecamatan, harus ada lahannya kan dibuka dari mana? dilepaskan dari hutan-hutan produksi yang dapat dikonversi atau hutan produksi," bebernya.
Sebelumnya, pemerintah menyebut ada 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan Indonesia.
Hal itu melanggar aturan karena kawasan hutan tidak boleh digunakan untuk kepentingan perkebunan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem di dalamnya.
Menko Luhut Binsar Pandjaitan yang sekaligus kepala Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara mengatakan, dari 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang ada di kawasan hutan tersebut melibatkan pejabat yang main belakang terkait perizinan.
"Karena itu pasti pelanggaran dilakukan pejabat juga, bukan hanya si rakyatnya, pengusahanya, tapi juga pejabatnya," kata Luhut dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Marves, Jumat (23/6).
Meski begitu Luhut tidak menjelaskan terkait siapa pejabat yang terlibat dalam pelanggaran tersebut. Diamenyebut saat ini pemerintah tengah menyiapkan formula untuk menindak soal pelanggaran tersebut. "Misalnya penalti untuk perusahaan tersebut," tukas purnawirawan jenderal TNI itu.
Luhut menambahkan, 3,3 juta lahan sawit itu bisa juga diputihkan asalkan perusahaan tersebut harus taat hukum yang berlaku. Dirinya juga memastikan pemerintah akan tegas terhadap pelanggaran tersebut.
'Ekspansi perkebunan sawit korupsi struktural'
Namun menurut Darmawi Wardhana lagi, secara normatif, pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan yang bisa dirujuk untuk perhitungan kerugian negara, misalnya kebijakan tentang ganti kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2011.
"Selain itu juga ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan, serta Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut."
Namun, selain dari potensi kerugian negara melalui PSDH-DR dan hilangnya potensi tegakan kayu, menurutnya, aktivitas pembukaan lahan juga telah berdampak pada kerusakan lingkungan.
Jadi salah satu metode yang digunakan oleh pemerintah adalah menghitung valuasi ekonomi dari kerusakan yang ditimbulkan dan kemudian menghitung kerugian negara dari praktik korupsi yang dilakukan.
Contoh kasus yang bisa dirujuk adalah dampak kebakaran hutan oleh PT Kalista Alam di Aceh dan kasus korupsi Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara.
Kalangan masyarakat sipil menilai hal itu merupakan terobosan yang menunjukkan bahwa jaksa KPK cukup progresif dalam memperhitungkan kerugian negara akibat korupsi di sektor sumber daya alam ini.
KPK menggunakan penghitungan kerugian negara bukan hanya dari kerugian materiil saja, tapi memperhitungkan juga kerugian lingkungannya, bahkan sampai biaya pemulihannya.
Terobosan semacam ini, kata Darmawi, seharusnya bisa diterapkan ke kasus-kasus korupsi sumber daya alam lainnya.
Di sisi lain, terobosan KPK ini bisa menjadi yurisprudensi dan bisa digunakan untuk menyasar kasus korupsi serupa yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup.
"Jadi bukan semata akan mampu memutus korupsi, tapi diharapkan juga dapat memutus kerusakan lingkungan hidup," kata Darmawi menilai.
Menurutnya, sanksi terhadap perilaku koruptif, khususnya di ranah SDA yang merugikan negara dan merusak lingkungan, juga harus mampu memutus manfaat rantai hubungan antara politisi, pejabat negara, dan terutama korporasi yang mendapatkan keuntungan dari proses tersebut.
Misalnya, industri minyak sawit merupakan salah satu bisnis komoditas ekspor di mana telah ditemukan potensi kehilangan penerimaan pajak karena ada aktivitas under-invoice dan over-invoicing dalam perdagangan masuk maupun keluar Indonesia.
Ia menduga, ada dugaan mengalirnya uang gelap dari minyak sawit senilai AS$19,98 juta hingga ke negara yang bahkan tidak menjadi tujuan ekspor minyak sawit Indonesia.
"Selain itu, banyak perusahaan yang mencoba menyembunyikan praktik penerima manfaat untuk menghindari tanggung jawab hukum dan pungutan pajak."
ICI, kata dia menduga ada skema pencucian yang jelas oleh kelompok yang dirancang untuk menyembunyikan hubungannya dengan berbagai konsesi yang tidak berizin atau melanggar aturan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), termasuk modus lain dengan cara menyembunyikan pemilik saham utama dan penerima manfaat dari perusahaan.
"Jadi disini ada dugaan terjadinya kebocoran yang cukup besar akibat korupsi sumber daya alam yang mengakibatkan, negara kehilangan sumber pendapatan yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan publik yang lebih prioritas, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan agenda peningkatan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia," terang Darmawi.
'Korupsi sawit dan krisis ruang hidup'
Darmawi melihat mengaitkan potret sengkarut korupsi sumber daya alam ini yang diduga juga terjadi di Riau, terutama dalam kasus korupsi ekspansi perkebunan sawit dengan beragam dampak penciptaan krisis sosial-ekologis yang memberi dampak lanjutan pada penghancuran ruang hidup rakyat di tingkat mikro, komunitas, atau suku tertentu.
"Dampaknya nyata seperti multidimensi sawit secara sosial-ekonomi dan ekologis, namun umumnya penjelasan dampak tersebut lebih di ranah data yang lebih bersifat makro-meso di pedesaan, skala kabupaten, provinsi, kepulauan atau nasional," sebutnya.
Dalam kasus di Riau misalnya, juga terlihat dampak ekspansi sawit akibat korupsi penggelapan perizinan dan beragam modus manipulasi jahat agar masyarakat lokal “terpaksa” melepaskan tanah mereka ke perkebunan sawit.
"Ini tak lepas dari keberhasilan dari “bujuk rayu” dan harapan palsu janji perusahaan sawit berupa materi-ekonomi, rumah, alat/teknologi, posisi pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dst., yang dalam praktiknya tidak terbukti," katanya.
Di sisi lain, menurutnya dalam banyak kasus industri sawit yang terjadi di tanah bumi Lancang Kuning adalah, tuntutan dan protes masyarakat seolah dianggap selesai dengan skema “ganti rugi” semata.
Asumsinya, protes dan penolakan masyarakat adat/lokal/tempatan lainnya adalah soal “kurang uang” kompensasi hilangnya tanah dan hutan mereka.
"Hal yang jarang dilihat dan diuraikan lebih mendalam adalah dimensi kehilangan masyarakat adat/lokal/tempatan dari suku di Riau, jadi bukan semata tanah dan hutan. Tapi jauh lebih kompleks dan berlapis-lapis. Sebab, hubungan masyarakat adat/lokal/tempatan dengan tanah dan alam mereka juga kompleks dan berlapis, dari soal sosial-budaya, ekonomi, politik, ekologi, religio magic, dst," katanya.
Hilang dan terampasnya tanah adat, rusaknya ekosistem hutan, sungai, danau, kebun sagu, lembah/bukit, savana, rawa-rawa, gambut, dan alam mereka bukan semata hilangnya sumber pangan, sumber ekonomi atau sumber penghasilan harian, tapi terikut hilang yang melekat di dalamnya, seperti: sistem nilai, tradisi, ritual lokal, pengetahuan, kearifan, dan bahkan peradaban mereka secara menyeluruh.
Inilah, kata Darmawi, hal-hal yang tidak bisa diukur dan kalkulasikan dalam skema “valuasi ekonomi” dan ganti rugi uang. Akibat hilangnya hal-hal di atas secara sosio-antropologis bisa jadi lebih mendasar dan berdimensi jangka panjang bagi penghancuran sendi-sendi ruang kehidupan orang di Riau.
"Tepat di titik inilah hubungan sengkarut korupsi sawit pada berbagai level kebijakan, rezim izin, dan gurita aktor oligarki nasional-globalnya mendarat dan menemukan fakta empiriknya di tingkat mikro," sebutnya.
Dengan dasar itu pula, menurutnya, atas sengkarut korupsi sawit (dalam makna luasnya) dan beragam dampaknya di multilevel ruang kehidupan dengan menghadirkan cerita krisis ruang hidup dari tingkat mikro komunitas dan suku-suku adat lokal/tempatan, inisiatif lokal bahkan terjadinya aksi perlawanan yang dilakukan masyarakat.
Atas keberadaan dan dampak industri perkebunan sawit di Riau sendiri misalnya, kata Darmawi lagi seharusnya bisa menjadi cerminan bagi daerah-daerah lain. Sehingga seluruh pihak perlu memikirkan ulang siapa sebenarnya yang paling banyak diuntungkan dan dirugikan dari keberadaan industri perkebunan sawit ini. (*)
Tags : lahan sawit, riau, kawasan hutan jadi polemik, lahan sawit ilegal, diduga keterlibatan pejabat negara hadirnya lahan sawit ilegal,