Linkungan   2023/04/03 22:1 WIB

Lapisan es di Antarktika Timur Berada dalam Kondisi Tidak Stabil, 'yang Berpotensi Memicu Kenaikan Permukaan Laut

 Lapisan es di Antarktika Timur Berada dalam Kondisi Tidak Stabil, 'yang Berpotensi Memicu Kenaikan Permukaan Laut

LINGKUNGAN - Para ilmuwan pernah mengira bahwa lapisan es Antarktika Timur berada dalam kondisi stabil. Tetapi sekarang, lapisan es yang mengandung cukup air untuk menaikkan permukaan laut setinggi 52m itu, mulai mencair.

Jan Lieser baru saja memantau puluhan citra satelit yang dia lihat setiap hari ketika dia menyadari ada sesuatu yang hilang.

Sebagai seorang ahli glasiologi di Institut Studi Kelautan dan Antarktika Universitas Tasmania, dia hafal setiap bentuk lapisan es yang mencuat dari pantai Antarktika Timur.

Pada 17 Maret 2022, terdapat celah di mana sebagian besar lapisan es gletser Conger pecah menjadi gunung es seukuran kota Wina dan berujung hanyut.

Liester tertegun. Dia telah memantau Conger sejak beberapa bagian terakhir dari lapisan es di sekitarnya, Glenzer, pecah 10 hari sebelumnya. Dia tidak menyangka akan melihat Conger hancur begitu cepat.

“Tiba-tiba sisa daratan es juga runtuh, dan lapisan es bergerak ke utara lalu berbelok 90 derajat ke samping. Dua lapisan es yang telah kami pantau selama bertahun-tahun sudah tidak ada lagi,” kata Lieser.

“Selama 15 tahun saya memantaunya, saya tidak menyangka akan menyaksikan ini di Antarktika Timur.”

Gletser mengalir ke laut, dan lapisan es adalah bagian yang mengapung di permukaan air, bergesekan dengan pulau, pegunungan bawah laut, atau gletser lainnya.

Rak es ini juga dijuluki sebagai “sabuk pengaman” Antarktika.

Ketika mereka pecah, gletser di belakangnya dapat mengalir lebih cepat ke laut, sehingga berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.

Gletser Conger relatif lebih kecil dan lambat, tetapi hilangnya sabuk pengamat dengan cepat tetap membuat para ilmuwan khawatir.

Ini adalah lapisan es pertama yang tercatat runtuh di Antarktika Timur, kubah beku besar yang dipisahkan dari Transantarktika.

Sedangkan lapisan es Antarktika Barat yang mencair mungkin telah mencapai titik kritis.

Para ilmuwan sejak lama mengira bahwa bagian timurnya, yang merupakan titik terdingin di Bumi dapat bertahan dari pemanasan global.

Pada 2012, lapisan es Antarktika Timur bahkan ditemukan mengalami peningkatan massa.

Tetapi penelitian baru mengungkap adanya celah di balik ketangguhan es Antarktika Timur.

Beberapa gletser yang oleh seorang penjelajah dijuluki “rumah badai salju” sedang mencair dan berisiko runtuh secara tiba-tiba.

Perubahan kecil pada lapisan es Antarktika Timur yang mengandung empat per lima es dunia dapat berdampak besar.

Situasi ini dapat memicu sekitar 52 meter potensi kenaikan permukaan laut, jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kenaikan permukaan laut setinggi tiga hingga empat meter di lembar Antarktika Barat.

Para ahli khawatir kondisi ini bisa mulai menaikkan permukaan laut pada abad ini.

"Ini selayaknya beruang besar yang tidak ingin Anda bangunkan," kata ahli glasiologi dari Universitas Minnesota Peter Neff, yang memimpin proyek pengeboran inti es yang berusia 1,5 juta tahun di Antartika Timur.

“Ketika saya menyaksikan hal-hal yang memberi sinyal bahwa saya mungkin meremehkan apa yang terjadi di Antarktika Timur, saya berhenti sejenak dan tentu saja memotivasi penelitian lebih lanjut.”

Gelombang panas Antarktika

Gletser biasanya bergerak dengan kecepatan glasial. Runtuhnya lapisan es Conger terjadi begitu Antarktika mengalami cuaca hangat paling dramatis yang pernah diamati di wilayah ini.

Untuk pertama kalinya sejak pemantauan satelit terhadap Antarktika dimulai pada 1979, luas es laut di sekitar Antarktika turun menjadi di bawah 2 juta kilometer persegi.

Lebih sedikit es laut berarti ada lebih banyak gelombang yang menghantam lapisan es di depan gletser. Hamparan es laut yang dias di Adelie Land, Wilkes Land, dan Princess Elizabeth Land di Antarktika benar-benar hilang.

Kurangnya jumlah es mengejutkan para ilmuwan.

Berbeda dengan di Kutub Utara, es laut Antarktika sedikit meningkat selama dipantau oleh satelit, sehingga beberapa mengisyaratkan bahwa angin sirkumpolar serta arus laut mengisolasi area ini dari pemanasan global.

Sebuah studi kemudian menyebut bahwa rendahnya jumlah es laut Antarktika pada 2022 dipicu oleh pemanasan di lautan serta angin kencang yang dipicu oleh La Niña dan pola cuaca lainnya.

Kemudian pada bulan Maret, ketika musim panas Australia yang singkat berkurang, gelombang panas membawa suhu yang mencengangkan ke Antarktika Timur.

Aliran uap air atmosfer yang ekstrem telah menusuk ke jantung Antarktika, diikuti oleh “kubah panas” bertekanan tinggi yang membuat kondisi hangat ini tidak menyebar.

Di tengah-tengah lapisan es itu, stasiun Vostok Rusia, di mana pernah tercatat suhu terendah di Bumi (-89,2 derajat Celcius) mengalami musim gugur yang relatif sejuk (17,7 derajat Celcius).

Di Dome C, yang merupakan puncak timur dari lapisan es yang landai, para peneliti Eropa dari pangkalan Concordia berfoto menggunakan pakaian renang.

Suhu -10,1 derajat Celcius pada 18 Maret itu tercatat lebih tinggi sebesar 38,5 derajat Celcius dari suhu rata-rata, yang merupakan lonjakan tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah. Pakar Antarktika menyebut gelombang panas ini "mustahil", bahkan "tak terbayangkan".

Gelombang panas mungkin telah berkontribusi menyebabkan runtuhnya lapisan es Conger, namun Lieser menduga gelombang besar dari dua badai di sekitarnya menjadi pukulan telak.

Kekhawatiran bahwa Antarktika mungkin memasuki era baru yang penuh ketidakpastian pun semakin berkembang.

Tahun ini, es laut di sekitar Antarktika menurun ke rekor terendah dalam sejarah. Pada 13 Februari 2023, es laut menyusut menjadi hanya 1,91 juta kilometer persegi.

“Apakah ini akan kembali? Sudahkah kita melampaui titik kritis? Itulah pertanyaan besarnya,” kata Lieser.

'Tempat terkutuk'

Selama berabad-abad, lokasinya yang terpencil dan dingin membuat Antarktika Timur dapat mempertahankan kesunyiannya.

Meskipun area ini adalah bagian pertama dari benua Antarktika yang ditemukan oleh ekspedisi Rusia pada tahun 1820, namun jalur menuju Kutub Selatan jauh lebih pendek apabila melalui Antarktika Barat.

Pada tahun 1911-1914, ekspedisi Antarktika Australasia akhirnya menjelajahi 4.000 kilometer dataran Antarktika Timur.

Ekspedisi itu tidak hanya memberitahu kita temuan ilmiah seperti meteorit pertama di Antarktika, namun juga salah satu kisah bertahan hidup di kutup yang paling luar biasa.

Anggota dari salah satu rombongan penjelajah itu menghilang ke dalam jurang yang dalam dengan sebagian besar makanan dan peralatan mereka, meninggalkan kedua temannya terpaksa memakan anjing yang membawa kereta luncur mereka satu per satu ketika mereka mencoba mencapai kamp mereka yang berjarak 500 kilometer.

Hanya satu di antara mereka, Douglas Mawson, yang selamat.

“Kami telah menemukan negara terkutuk,” tulis Mawson.

“Kami telah menemukan rumah badai salju.”

Selama Perang Dingin, basis-basis penelitian seperti stasiun Kutub Selatan Amundsen-Scott dan stasiun Soviet akhirnya didirikan.

Namun Antarktika Timur lebih jarang dipantau dibandingkan Antarktika Barat karena tampak tidak banyak berubah dan lebih menantang untuk bisa diteliti.

Hingga awal abad ke-21, sebagian besar batuan dasar di bawah lapisan es masih belum diteliti.

Untuk mengisi kekosongan terakhir di peta permukaan tanah Bumi, ahli glasiologi Martin Siegert dan rekannya mengorganisir proyek Icecap dan Icecap 2 mulai tahun 2008.

Proyek ini terbang melintasi lebih dari 150.000 kilometer persegi wilayah Antarktika Timur menggunakan pesawat ski DC-3 era Perang Dunia II yang dimodifikasi.

Ketika model komputer menjadi lebih akurat, para ilmuwan perlu mengetahui kontur batuan dasar di kawasan ini untuk memprediksi aliran gletser, juga kenaikan permukaan laut, dalam skenario pemanasan yang berbeda.

“Tidak ada gunanya menerapkan model yang sangat canggih pada topografi yang datar karena tidak memilki data,” kata Siegert.

Es Antarktika mencair bukan dari atas, melainkan dari bawah. Karena air laut yang relatif hangat menggerogoti bagian bawah lapisan es yang landai, garis landasan yang bertemu dengan dasar laut pun menyusut. Proses itu harus berhenti di pantai, kecuali apabila dasar gletser ada di bawah permukaan laut.

Radar penembus es pesawat Icecap membantu menemukan “titik lemah” di bawah gletser Totten, gletser terbesar di Antarktika Timur yang memiliki potensi kenaikan permukaan air laut setara seluruh Antarktika Barat.

Aurora Basin, semangkuk es raksasa yang menopang gletser Totten, jauh lebih dalam dan lebih luas dari yang diperkirakan, dan terhubung ke pantai melalui jalur yang terletak di bawah permukaan laut.

Apabila garis landasan Totten mundur melalui saluran ini, air laut pada akhirnya bisa mulai mengalir ke bawah cekungan dan mulai mencair tak terkendali.

Kondisi itu pernah terjadi beberapa kali di masa lampau, menurut temuan penelitian. Garis landasan Totten ternyata sekarang mundur pada saat lapisan esnya mencair.

Pada musim panas 2015, sebuah lubang di lautan es memungkinkan para ilmuwan di kapal pemecah es Australia Aurora Australis mencapai permukaan lapisan es Totten yang menjulang tinggi untuk pertama kalinya.

Mereka menemukan 220.000 meter kubik air yang relatif hangat mengalir ke dasar lapisan es per detiknya melalui palung sedalam satu kilometer, yang melelehkan hingga 80 miliar ton es setiap tahun.

Meningkatnya curah hujan di daratan, di mana salju berubah menjadi es, dapat mengkompensasi kehilangan itu, namun tidak untuk selamanya.

Apabila 4,2% lapisan es Totten lainnya mencair, studi menemukan bahwa lapisan es itu bisa runtuh dan memungkinkan gletser di belakangnya tumpah ke laut.

"Kami tidak mengabaikan kemungkinan bahwa Antarktika Timur bisa mulai menambah massa ke lautan dalam abad ini,” kata Siegert.
Kejutan besar

Untuk mengukur berapa banyak air hangat yang masuk ke Totten sepanjang tahun, para ilmuwan Australia mulai memarkir 360 robot kuning berbentuk torpedo --yang disebut Argo-- mengapung di lautan untuk bertahan selama musim dingin di bawah es laut.

Tetapi ketika es laut pecah pada tahun 2020 dan robot laut itu muncuk ke permukaan untuk mulai mengirimkan data suhu, ternyata ada yang hanyut hingga sejauh 700 kilometer di sepanjang pantai menuju ujung es Denman.

Di sinilah gletser Denman menabrak rak es Shackleton untuk mencapai laut yang oleh salah satu anggota ekspedisi digambarkan sebagai “air terjun es yang hancur, sehingga menonjol serupa luka putih besar yang ditutupi oleh es”.

Titik hanyutnya pelampung itu dianggap sebagai keberuntungan, karena para ilmuwan sebelumnya hampir tidak memiliki informasi tentang laut di sekitar Denman, selain sejumlah data dari sensor yang diikatkan pada gajah laut pada 2011.

"Itu adalah kejutan besar," kata Laura Herraiz Borreguero, seorang ahli kelautan di Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization di Tasmania.

"Saya sangat bersemangat. Saya pergi dan mengunduh semua data dari pelampung."

Data yang diterbitkan pada akhir tahun lalu itu mengungkapkan lebih banyak hal tentang perjalanan panas menuju titik ini dibandingkan di Totten.

Selama empat bulan, pelampung tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar air hangat mengalir ke palung yang dalam di bawah lapisan es Denman. Cukup untuk mencairkan 70,8 miliar ton es per tahun.

Ini juga memberi penjelasan yang masuk akal soal mengapa garis landasan di mana es bertemu dengan dasar laut telah surut lebih dari 5 km dalam dua dekade sebelumnya.

Itu kemungkinan akan terus berlanjut, karena perubahan pola angin di sekitar Antarktika telah membawa air hangat dari laut dalam lebih dekat ke benua.

Yang paling mengkhawatirkan adalah bentuk tanah di bawah gletser Denman.

Peta batuan dasar Antarktika yang lebih rinci pada tahun 2019 menemukan bahwa gletser itu mengalir di atas ngarai sedalam 3,5 kilometer di bawah permukaan laut, yang juga merupakan titik terdalam di Bumi.

Selanjutnya, ngarai ini mencapai pantai, dan tidak seperti Totten, Denman mulai mundur ke dalamnya.

Saat gletser mundur ke belakang menuruni lereng, semakin banyak esnya akan terpapar air laut. Para peneliti khawatir alirannya akan dipercepat hingga tidak dapat diubah.

Jika seluruh lapisan es Denman mencair, maka permukaan laut global akan naik 1,5 meter.

Kondisi itu bisa menyebabkan negara-negara di dataran rendah seperti Bangladesh berada di bawah permukaan laut sehingga ratusan juta orang terancam mengungsi.

Seberapa cepat itu bisa terjadi?

Sulit untuk memperkirakannya tanpa mengetahui, misalnya, berapa banyak air hangat yang mengalir di bawah lidah es yang sampai ke garis landasan.

“Sebagian besar ketidakpastian tentang seberapa banyak dan seberapa cepat permukaan laut akan naik berasal dari bagaimana kondisi lapisan es Antarktika Timur di bawah iklim yang menghangat,” kata Borreguero.

'Raksasa tidur'

Perlu penelitian lebih lanjut untuk menjawab hal itu, terutama di laut. Palung laut adalah kuncinya, karena memungkinkan air dalam yang hangat di sekitar Antarktika mengalir ke landas kontinen dan mencairkan lapisan es.

Namun hanya sekitar 23% dari dasar laut di Antartika Timur yang telah dipetakan.

Pelayaran Geoscience Australia ke Cape Darnley saat ini memetakan petak-petak dasar mengandalkan gema dari pengeras suara multibeam.

Ekspedisi tersebut juga mengambil sampel air dan sedimen untuk melihat perubahan produksi air bawah Antarktika, air dingin dan asin yang tenggelam dan menggerakkan “sabuk konveyor samudra besar”, yang mengalirkan panas ke tempat lain seperti Eropa.

Air tawar dari gletser yang mencair mungkin mengerem sabuk konveyor itu.

"Kami ingin memahami apakah di masa lalu produksi air dalam melambat saat cuaca sedikit lebih hangat," kata ahli geosains kelautan Alix Post melalui telepon satelit dari kapal pelayaran Geoscience Australia seperti dirilis BBC.

Pada 2023-2024, kapal pemecah es Polarstern Jerman akan mengambil sampel air dan sedimen di dekat rak es Amery dan Shackleton, juga lidah es Denman.

Pada 2025, pemecah es Australia Nuyina juga akan pergi ke Denman.

Divisi Antartika Australia juga telah mulai membangun perkembahan di Perbukitan Bunger yang berangin, sehingga para ilmuwan bisa mengebor inti es, mengumpulkan sedimen, dan mendirikan stasiun pemantauan otonom di gletser Denman.

Upaya penelitian seperti ini mencerminkan bahwa telah berkembang kesadaran soal Antarktika Timur yang bisa jadi mulai memengaruhi permukaan laut dan sistem iklim dalam beberapa dekade, kata peneliti Universitas Texas di Austin, Shuai Yan.

Tahun lalu, Yan menemukan sebuah danau pada kedalaman 3,2 kilometer di bawah es yang mungkin menyimpan catatan sedimen pembentukan lapisan es.

“Itu adalah raksasa yang sedang tidur, dan jika kita terus menyusuri jalan yang kita lalui sekarang, saya khawatir dia akan bangun suatu hari nanti,” ujarnya. (*)

Tags : lapisan es antarktika timur, lapisan es mencair, lapisan es antarktika timur tidak stabil, lapisan es antarktika timur memicu kenaikan permukaan laut, perubahan iklim,