Headline Nasional   2020/09/16 07:27:00 PM WIB

Laut China Selatan: Kapal-kapal China Diprediksi 'Akan Masuk Lagi' 

Laut China Selatan: Kapal-kapal China Diprediksi 'Akan Masuk Lagi' 
Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, 3 Januari lalu. (Foto. ANTARA)

JAKARTA - Insiden masuknya kapal coast guard China ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara diprediksi pengamat akan terus terjadi mengingat China terus berpegang pada klaim teritorialnya yang biasa disebut nine dash lines, atau sembilan garis putus-putus.

Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa fokusnya saat ini adalah merampungkan diskusi seputar Code of Conduct (CoC) atau tata perilaku di Laut China Selatan bersama China dan negara-negara ASEAN lainnya. "Fokus kita sekarang adalah penyelesaian Code of Conduct antara ASEAN dan Tiongkok, dan code of conduct ini kita yakini akan lebih bisa mengelola tata perilaku negara-negara, sehingga menghindari insiden-insiden di wilayah yang sekarang masih disengketakan oleh beberapa negara pesisir yang bersinggungan di Laut China Selatan," ujar Teuku Faizasyah, juru bicara Kemenlu dirilis BBC Indonesia (15/09). 

Ia mengatakan perundingan tersebut kini dihambat oleh pandemi Covid-19, yang tidak memungkinkan negara-negara Asia Tenggara dan China untuk bertemu secara langsung. "Masih berunding, memang kendalanya sekarang adalah adanya Covid-19, tidak bisa bertemu secara fisik untuk menegosiasikan elemen dari CoC tersebut," kata Faizasyah. "Namun yang terus kita garis bawahi adalah CoC ASEAN dan China itu harus juga berpegang pada Konvensi Hukum Laut, UNCLOS, itu yang menjadi posisi mendasar Indonesia dan kita meyakini negara-negara lain juga memiliki posisi yang sama."

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) adalah hukum internasional yang telah disepakati dan ditetapkan PBB pada 1982. Minta penjelasan Beijing. Pada Sabtu (12/09), Badan Keamanan Laut (Bakamla) mendeteksi adanya kapal coast guard China (CCG) dengan nomor lambung 5204 ketika Bakamla sedang menggelar Operasi Cegah Tangkal Tahun 2020 di Zona Maritim Barat yang mencakup perairan Natuna Utara.

Para personel Bakamla di atas KN Pulau Nipah pun berkomunikasi dengan personil CCG melalui radio, dan kedua pihak bersitegang soal klaim wilayah negara masing-masing selama dua hari. Kapal coast guard China keluar dari perairan Indonesia pada Senin (14/09) siang, kata Kabag Humas dan Protokol, Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita. "Mereka mengklaim bahwa ini adalah yurisdiksi Republik Rakyat Tiongkok, mereka patroli. Kami klaim bahwa ini adalah ZTE (zona tangkap eksklusif) Indonesia, Laut Natuna Utara, dan [kami mengatakan] 'Anda harus keluar dari sini.' Jadi saling berdebat di radio komunikasi, dan itu dilaksanakan terus menerus sampai akhirnya mereka keluar juga," kata Wisnu.

Bakamla mengatakan bahwa pihaknya didukung oleh KRI Imam Bonjol 383 milik TNI Angkatan Laut yang berada di belakang KN Pulau Nipah Bakamla, dengan jarak 2-3 mil laut. Setelah CCG 5204 keluar dari perairan Natuna, Bakamla terus melanjutkan patroli di wilayah tersebut guna "mengantisipasi sekaligus secara konsisten menunjukkan kehadirannya di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara."

Ini bukan pertama kalinya kapal coast guard dan nelayan China memasuki wilayah ZEE Indonesia. Pada periode Desember 2019-Januari 2020, sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna, yang didampingi oleh kapal penjaga pantai China. Kemenlu saat itu menyampaikan protes keras dan memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk meminta penjelasan.

Kini, Kemenlu kembali melayangkan nota protes kepada China melalui Kedutaan Besar Indonesia di China pada Minggu (13/09), dan meminta klarifikasi kepada Wakil Dubes China di Jakarta. "Kita sudah memanggil Wakil Dubes Tiongkok pada hari Minggu lalu, dan meminta klarifikasi dan menekankan kembali bahwa tidak ada overlapping issues (masalah yang berbenturan) antara Indonesia dan Tiongkok di utara Pulau Natuna," kata Teuku Faizasyah, jubir Kemenlu.

"Dia akan melaporkan ke Beijing dari hasil pemanggilan tersebut. Kita minta penjelasan atas keperluan apa kapal itu ada di wilayah ZEE kita."

Hingga Selasa (15/09), Beijing belum mengeluarkan pernyataan terkait insiden terbaru ini. Pada 8 Januari lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang, menanggapi ketegangan di Laut Natuna Utara saat itu, mengatakan: "Kami telah berulang kali dan dengan jelas mengatakan bahwa China memiliki kedaulatan di Kepulauan Nansha, dan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi di perairan terkait. Posisi kami sesuai dengan hukum internasional.

"[Indonesia dan China] memiliki klaim hak-hak dan kepentingan maritim berbenturan di beberapa area di Laut China Selatan. China berharap Indonesia akan tetap tenang. Kami ingin menangani perbedaan kami dengan Indonesia dengan cara yang pantas, dan mempertahankan hubungan bilateral kami, serta perdamaian dan stabilitas wilayah."

Akan terus berulang

Dr Ian Storey, periset senior dan editor jurnal akademik internasional 'Contemporary Southeast Asia' di ISEAS-Yusof Ishak Institute, badan riset yang berbasis di Singapura, menengarai bahwa hal ini akan "pasti" terjadi lagi, dan Indonesia hanya akan bisa terus melayangkan nota protes diplomatik untuk meresponnya.

height=371

Cuplikan video yang menunjukkan KRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, akhir Desember lalu.

"Indonesia harus protes, jika berbicara dari sisi legal, karena jika tidak, itu akan dianggap sebagai tanda persetujuan, jadi dari satu aspek, protes ini adalah pro forma, ini tidak akan mengubah apapun. Namun, [dengan nota protes ini] Indonesia kembali menegaskan posisinya dan Indonesia bukan satu-satunya negara Asia Tenggara yang telah mengirimkan protes, Filipina, Vietnam, Malaysia, juga telah protes ke pemerintah China," jelas Ian.

"Indonesia memiliki opsi terbatas, mereka tidak memiliki kekuatan militer atau penjaga pantai untuk mengonfrontasi kapal-kapal China, dan mereka juga tidak mau memperkeruh situasi, jadi Indonesia akan terus mengirimkan nota protes diplomatik, mendorong dibentuknya Code of Conduct antara Asean dan China, dan menegaskan klaim wilayah dan yurisdiksi dalam ZEE-nya."

Sementara itu Gilang Kembara, periset di Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, mengatakan bahwa terhentinya negosiasi CoC Laut China Selatan dimanfaatkan oleh China untuk intrusi wilayah-wilayah sengketa. "Sebenarnya kita tidak ada sengketa atau apapun, tapi Tiongkok akan terus memainkan kartu, diri mereka memiliki klaim di seluruh wilayah Laut China Selatan, dan penekanan ini diperparah saat ini karena tidak ada negosiasi code of conduct yang sedang terjadi," jelas Gilang.

"Karena terhenti maka Tiongkok sekarang meluncurkan kebijakan-kebijakan asertif di Laut China Selatan untuk menekankan klaim mereka," tambahnya. Berkaca dari insiden yang terjadi Desember 2019, Gilang mengatakan bahwa "mungkin ada kapal-kapal coast guard China berikutnya yang datang dan masuk lagi ke ZEE Indonesia."

Perlu badan penjaga pantai terintegrasi

Dr Ian Storey dari ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan bahwa Indonesia harus dengan serius membentuk badan penjaga pantai untuk memperkuat kekuatan maritimnya di wilayah sengketa. "Bakamla pada dasarnya adalah lembaga koordinasi. Indonesia perlu meniru langkah Malaysia 20 tahun lalu. Malaysia saat itu juga memiliki banyak lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan maritim yang saling berbenturan, sehingga Malaysia menciptakan satu badan penjaga pantai. Indonesia telah mencoba membentuk itu selama beberapa waktu, tapi belum sukses.

"Yang kedua, Indonesia perlu investasi di kapal-kapal patroli, dan bukan kapal yang besar seperti kapal selam atau kapal tempur yang berukuran lebih besar, mereka tidak memberikan nilai-nilai yang strategis bagi Indonesia. Anda tidak butuh kapal selam untuk menghadapi inkursi ini," jelas Ian.

Januari lalu Kementerian Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan berencana mengirim nelayan dari Jawa ke perairan Natuna untuk memperkuat kehadiran negara di wilayah sengketa. Meski demikian, Gilang Kembara dari CSIS Indonesia mengatakan, jika nelayan-nelayan dari wilayah lain di Indonesia benar akan dikirim ke Natuna, peran mereka bukan untuk "menghadang" kapal-kapal nelayan asing.

Peran mereka menurutnya adalah "menjadi titik komunikasi atau pertama yang menginformasikan kepada pihak berwenang adanya intrusi dari nelayan asing atau kapal-kapal asing yang seharusnya tidak berada di posisi tersebut". "Lalu informasi tersebut akan dikirimkan ke Bakamla, TNI AL atau pihak yang berwenang dan mereka akan mobilisasi patroli gabungan untuk memukul mundur kapal-kapal ilegal tersebut."

Untuk sementara, Bakamla mengatakan telah mengirim satu lagi kapal patroli, Tanjung Datu 301, ke Laut Natuna Utara. Wisnu Pramandita dari Bakamla mengakui bahwa kemampuan mereka terbatas sehingga membutuhkan sinergi kekuatan dengan militer. "Salah satunya jalan adalah memang [dengan meningkatkan] kehadiran ya, jadi kita harus selalu hadir di sana. Memang dari kondisi kapasitas unsur, patroli kita yang cuma sedikit, jadi memang membutuhkan kerjasama juga dengan TNI AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki armada, jadi membutuhkan sinergisme di dalam wilayah, dan dibutuhkan kehadiran yang terus menerus," pungkas Wisnu. 

Nelayan merasa 'lebih aman' sejak kapal perang Indonesia ditambah

Sebagian nelayan Indonesia mengaku salah satu kendala yang mereka alami saat melaut di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, adalah keberadaan nelayan asing yang mengganggu aktivitas penangkapan ikan, menurut Herman, ketua nelayan di Lubuk Lumbang, Kabupaten Natuna.

Wilayah perairan itu adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang artinya negara berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan. Namun, Herman mengatakan bahwa nelayan Indonesia sering merasa tidak aman saat bekerja di zona yang berada di laut lepas itu. "Itu yang menjadi kendala kita, sehingga di situ kan terjadi semacam pengusiran antara nelayan asing dan nelayan Natuna [Indonesia], padahal itu kan masih wilayah tangkapnya, masih wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."

"Dan dia kendala utama kan, terjadinya semacam terancam mereka. Kadang mereka diusir, diuber oleh nelayan asing," ujar Herman.

Namun, ia menjelaskan bahwa pemerintah saat ini tengah memberi perhatian lebih intensif pada nelayan di perairan Natuna, mengikuti kejadian pada bulan Desember dimana sejumlah kapal nelayan China melintasi ZEE Indonesia didampingi oleh kapal Penjaga Pantai negara itu.

Herman mengatakan perhatian ini memang terbukti dengan bertambahnya KRI yang menjaga di wilayah ZEE itu yang membuat nelayan Indonesia dapat bergerak lebih bebas di perairan yang merupakan laut lepas itu. "Dengan ada pengawasan di laut dari KRI, misalnya dari Bakamla, itu mereka lebih leluasa. Semacam ada percaya diri [dengan] didampingi. Karena mereka meyakini jika ada kapal KRI di perbatasan tersebut, kapal asing nggak ada yang berani memasuki wilayah kita. Itu yang mereka menjadi aman untuk bekerja," kata Herman.

Pada Selasa (07/01) TNI AU Landasan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru menerbangkan empat pesawat tempur F-16 ke Natuna. Menurut Komandan Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Marsma TNI Ronny Irianto Moningka, pesawat tempur itu menjalankan misi operasi rutin untuk menjaga kedaulatan. Perairan Natuna adalah wilayah ZEE, yaitu kawasan yang telah ditentukan berdasarkan UNCLOS, atau konvensi PBB tentang hukum laut, yang menetapkan zona sejauh 200 mil dari pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang berada dalam kolom air itu. 

'Tidak ada kapal asing masuk di laut teritorial Indonesia'

Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, pada hari Rabu (08/01) mengunjungi Kepulauan Natuna untuk memastikan adanya penegakan hukum hak berdaulat Indonesia atas sumber daya alam di ZEE. Dalam kunjungan itu, presiden juga menegaskan perbedaan antara ZEE dan laut teritorial Indonesia untuk meluruskan perbincangan yang hangat dibahas publik mengenai apa yang ia sebut terkait "kapal asing" yang memasuki wilayah Indonesia.

height=351

Presiden Joko Widodo menyimak penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat melakukan kunjungan kerja di Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (08/01).

Jokowi mengatakan bahwa tidak ada kapal asing yang masuk laut teritorial Indonesia, melainkan berada di ZEE Indonesia, dan secara jelas membedakan antara kedua pembagian tersebut. Ia menjelaskan bahwa kapal internasional dapat melintas dengan bebas di ZEE. Namun, pada waktu yang bersamaam, Jokowi juga menegaskan bahwa di zona tersebut, Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya. "Itu lewat semua kapal bisa. Tapi hati-hati kalau dia nyuri ikan, nah itu baru boleh diusir atau ditangkap," kata Jokowi.

Dalam kesempatan ini, presiden juga menegaskan soal perbatasan wilayah negara yang tidak dapat dinegosiasikan. "Sekali lagi, bahwa kedaulatan itu tidak bisa dan tidak ada yang namanya tawar menawar," ujarnya.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada acara Pernyataan Pers Tahunan Menteri (PPTM) pada hari Rabu dalam pidatonya juga menggunakan kesempatan itu untuk menekankan posisi Indonesia. "Saya ingin menekankan satu prinsip, terkait kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan Indonesia, bahwa klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak sesuai dan tidak diakui oleh hukum internasional," kata Retno.

'Paradigma wilayah yang berbeda'

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menjelaskan bahwa kejadian di perairan Natuna yang melibatkan kapal asal China bulan lalu memang tidak terkait perdebatan masalah wilayah, atau yang juga diketahui sebagai hak daulat. Melainkan, kata Hikmahanto, yang disebut dengan hak berdaulat, yaitu hak memanfaatkan segala potensi sumber daya alam.

Ia jelaskan bahwa terkait wilayah, Indonesia dan China, memang ada perbedaan pada dasar klaim wilayah. Hikmahanto mengatakan bahwa dalam posisi ini, klaim ZEE Indonesia adalah berdasarkan hukum internasional dan UNCLOS, yang sesungguhnya China adalah bagian dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada tahun 1982 tentang hukum laut itu.

Walaupun demikian, China mengganggap sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia beririsan dengan wilayah historis mereka dengan merujuk pada klaim berdasarkan sembilan garis putus-putus. Klaim ini tidak diakui Indonesia dengan alasan bersifat unilateral dan tidak memiliki dasar hukum. Dengan demikian, kata Hikmahanto, perdebatan ini berpotensi terus berlangsung selama tiap pihak memegang pada klaim masing-masing.

Namun, dalam kasus terbaru ini, ia menjelaskan bahwa salah satu langkah aktif yang Indonesia ambil adalah untuk menambahkan kehadiran negara di perairan itu, termasuk melalui penambahan jumlah nelayan. Hal itu adalah sebagai bentuk menunjukkan kehadiran Indonesia di wilayahnya untuk menjalankan hak berdaulatnya. "Saya katakan mengirim lebih banyak nelayan kita, karena kan sebenarnya yang diperebutkan di sini bukan wilayahnya. Ini bukan biacara soal kedaulatan yang 12 mil tapi ini bicara soal hak berdaulat kita di laut lepas yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif. Jadi ada sumber daya alam yang ada di kolom air. Itu yang menjadi untuk dimanfaatkan bagi negara pantai, yaitu Indonesia," kata Hikmahanto.

Ia menjelaskan bahwa, beda dengan ZEE, laut teritorial merupakan kawasan laut dengan lebar hingga 12 mil laut dari garis pangkal pantai. (*)

Tags : Laut China Selatan, Kapal-kapal China, Perairan Laut China Selatan,