Bisnis   2022/12/08 12:49 WIB

Lebih dari 200 Orang Pekerja Migran Indonesia di Inggris Dipulangkan, 'Sebagian Belum Bisa Menutup Utang'

Lebih dari 200 Orang Pekerja Migran Indonesia di Inggris Dipulangkan, 'Sebagian Belum Bisa Menutup Utang'
Para pekerja mengepak strawberi.

JAKARTA - Lebih dari 200 orang pekerja migran Indonesia di Inggris dipulangkan, sebagian belum bisa menutup utangdangadaikan rumah. Kementerian Tenaga Kerja Indonesia meminta perusahaan penempatan pekerja migran, PT Al Zubara, untuk tidak menagih kekurangan biaya keberangkatan para pekerja di Ingggris yang masih berutang namun telah dipulangkan sebelum masa kerja enam bulan selesai.

Data sampai akhir November 2022 lalu menunjukkan sebanyak 239 pekerja migran Indonesia (PMI) yang kembali lebih awal karena musim panen buah yang sudah selesai di Inggris.

Lebih dari 1.400 pekerja migran - kelompok pertama dari Indonesia yang diberangkatkan ke Inggris - ditempatkan di setidaknya 15 perkebunan mulai April lalu. Namun banyak di antara mereka yang berangkat pada Juli dan Agustus, di saat musim panen hampir selesai.

"Kami telah meminta kepada PT Al Zubara apabila terdapat PMI yang berutang untuk membiayai penempatan ke Inggris sejumlah Rp45 juta, maka para PMI yang tidak dapat menyelesaikan masa bekerjanya bukan karena kesalahan PMI itu sendiri, maka biaya tidak dapat ditagihkan kepada PMI," kata Suhartono, Direktur Jendral Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja seperti dirilis BBC News Indonesia.

Suhartono juga mengatakan, "apabila PMI membayarkan kepada pihak PT Al Zubara melebihi Rp45 juta, maka yang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kelebihan atau selisih biaya adalah PT Al Zubara."

Sejauh ini, KBRI London menyatakan ada sekitar 600 PMI yang masih berada di Inggris. Ada yang masih bekerja di perkebunan (biasanya mengurus tanaman) dan sebagian lain menanti kepulangan.

Dalam sekitar tiga bulan terakhir, menurut KBRI London, sekitar 200 pekerja yang tidak memiliki pekerjaan lagi di perkebunan menanyakan soal kemungkinan mereka bekerja di bidang lain. Berdasarkan ketentuan, visa yang mereka dapatkan, Seasonal Worker Visa, para PMI tidak boleh bekerja di sektor lain.

Para pekerja musiman ini direkrut melalui PT Al Zubara berdasarkan permintaan dari AG Recruitment, salah satu agen resmi pekerja musiman di Inggris yang menempatkan para pekerja di berbagai perkebunan yang membutuhkan.

PT Al Zubara melalui direkturnya, Yulia Guyeni mengakui bahwa masalah pekerja yang dipulangkan lebih awal dari masa kerja enam bulan ini adalah karena keterlambatan pengiriman dan menuding "AG tidak bertanggung jawab."

AG Recruitment belum memberikan jawaban. Namun dalam jawaban sebelumnya, pada Agustus 2022 lalu, AG Recruitment menyatakan tengah menyelidiki apa saja biaya yang harus dikeluarkan pekerja "selain penerbangan dan visa," di tengah pemberitaan tingginya biaya yang harus dikeluarkan pekerja.

Menggadaikan rumah dan berharap berangkat lagi tahun depan

Biaya keberangkatan yang ditetapkan perusahaan penempatan pekerja migran sebesar Rp45 juta itu termasuk biaya pelatihan, administrasi perusahaan, visa, dan tiket penerbangan. Biaya sebesar ini dikritik Migrant Care, badan advokasi perlindungan pekerja migran.

Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi, Migrant Care mengatakan biaya seperti ini dikategorikan ilegal karena seharusnya "penempatan tenaga kerja tidak dikenakan biaya," sementara pelatihan juga diberikan di perkebunan. Namun Kemenaker mengatakan biaya Rp45 juta berdasarkan perjanjian kerja dengan PMI dan telah diverifikasi BP2MI.

BBC mengontak setidaknya 20 pekerja dan sebagian besar membayar sekitar Rp65 juta dan bahkan ada yang sampai Rp100 juta kepada pihak ketiga. Banyak di antara mereka yang terpaksa berutang.

Salah seorang pekerja yang sudah kembali ke Indonesia mengatakan dia baru membayar setengah dari pinjaman keseluruhan dan berharap dapat kembali lagi tahun depan.

"Sangat tidak cukup, bahkan minus, mungkin dikarenakan proses keberangkatan yang telat dari skema waktu panen di perkebunan Inggris. Kami harap pada kesempatan kedua akan tepat waktu sehingga kami dapat bekerja penuh dan mendapat gaji yang sesuai untuk menutup kekurangan sebelumnya," kata seorang pekerja asal Jawa Tengah yang tak mau disebutkan namanya.

Para pekerja migran Indonesia ini pada umumnya menandatangani kontrak dua tahun untuk bekerja selama enam bulan dalam dua tahap.

Sejumlah pekerja bahkan ada yang menggadaikan rumah, termasuk yang ditemui Ernesta, wartawan di Nusa Tenggara.

"Saya bertemu dengan sekitar 10 pekerja yang sudah pulang dari Inggris. Mereka berangkat dikenakan biaya antara Rp65 juta sampai Rp95 juta yang tak bisa mereka bayar lunas. Mereka gadaikan sertifikat rumah," cerita Ernesta.

Sebagian dari mereka ada yang bekerja hanya dua atau tiga bulan sebelum dipulangkan karena musim panen telah selesai. Musim panen buah biasanya mulai April dan mulai habis pada Oktober. Sejumlah buah, termasuk apel, biasanya masih tersedia untuk dipanen sampai November.

"Setelah kembali ke Indonesia, mereka tak bisa menebus sertifikat rumah. Bahkan untuk bayar lagi untuk pergi tahun depan, yang mereka sebutkan sekitar Rp25 juta (untuk tiket dan visa), mereka harus bayar lagi sendiri. Jadi semakin terlilit utang, dari awal berangkat sampai harus berangkat lagi. Mereka berharap bisa berangkat lagi untuk melunasi utang mereka," tambah Ernesta.

Tudingan kerja paksa dan memicu orang terjerat utang

Andy Hall, pegiat hak pekerja migran, menyebut apa yang terjadi dengan kelompok pertama pekerja migran Indonesia di Inggris ini sebagai bentuk "kerja paksa dengan jeratan hutang, perekrutan ilegal tanpa etika dan penipuan kontrak."

Andy menyebut para pekerja migran adalah yang paling rentan dalam menghadapi risiko pengabaian akibat "ekspolitasi supermarket di Inggris".

Dalam satu bulan terakhir ini, supermarket-supermarket besar melakukan berbagai pertemuan mendesak untuk mencari cara mencegah kemungkinan eksploitasi pekerja berdasarkan skema visa pekerja musiman.

David Camp, direktur Association of Labour Providers mengatakan kepada the Guardian, "Kami telah meminta dilakukannya perubahan sejak bertahun-tahun. Namun sayangnya, orang sudah terkena dampaknya sebelum diambil tindakan."

Camp mengatakan pemerintah perlu mengambil keputusan terkait alokasi visa sehingga pihak perekrut memiliki waktu untuk menyeleksi.

"Kita harus memiliki sistem di mana para pekerja tidak perlu berutang untuk bisa datang dan bekerja di Inggris," kata Camp.

Skema ini pertama diterapkan untuk mempersiapkan Brexit pada 2019. Ketika itu hanya 2.500 pekerja musiman yang datang. Namun data sampai September, menurut Kementerian Dalam Negeri, lebih dari 33.000 pekerja yang datang ke Inggris melalui skema ini.

'Perlu siapkan mental, fisik, dan bahasa Inggris'

Tetapi sejumlah pekerja mengaku berhasil menutup utang mereka.

Ozzy Agista Indrawan, pekerja asal Tegal, Jawa Tengah, serta Gede Suardika Widi Adnyana, asal Bali di perkebunan Clock House mengatakan mereka kembali sesuai jadwal.

Ozzy yang datang April telah kembali November lalu. Sementara Suardika yang datang pada Juli akan kembali ke Bali pada Selasa (06/12).

Suardika mengatakan telah menutup utang sebesar Rp70 juta dan membawa sisa "sedikit" sementara Ozzy yang membayar ongkos keberangkatan sekitar Rp60 juta bisa menutup pinjaman dalam waktu dua bulan dan "membawa pulang lumayan banyak."

"Namun yang punya keluarga mungkin dengan biaya yang tinggi membuat mereka terbebani karena jujur, saat di Inggris banyak mendengar curhat yang mengeluh biaya keberangkatan yang tinggi," kata Ozzy.

Ia juga mengatakan ada rekan-rekannya yang tidak mendapatkan penghasilan cukup karena dianggap "bekerja terlalu lambat" sehingga dipulangkan ke akomodasi mereka.

"Saat awal sudah diinfokan setelah training, ada target atau pencapaian perusahaan perkebunan yang harus dipenuhi. Bila yang kerjanya mungkin sangat lambat dipulangkan ke karavan," kata Ozzy.

Ia juga bercerita biasanya mereka mulai bekerja pada pukul 05:00 pagi selama sekitar delapan jam sehari dengan waktu istirahat dua kali.

Agus Hariyono dan Pingkan Lidya yang sebelumnya bekerja bersama di Perkebunan Dearnsdale, Stafford, juga mengaku biayanya telah ditutup.

Namun Agus - yang di Indonesia bekerja sebagai pengembang properti dan sedianya kembali pada Januari - harus pulang terlebih dahulu ke kota asalnya di Temanggung, Jawa Tengah, karena sudah tidak ada pekerjaan lagi.

Sementara Pingkan - guru TK di Jakarta - masih bekerja di perkebunan di Skotlandia dan akan kembali pada awal Januari.

Kementerian Tenaga Kerja Indonesia menyatakan akan melakukan pengawasan lebih ketat untuk penempatan tahun depan bekerja sama dengan dinas tenaga kerja di daerah-daerah dan juga dengan KBRI London.

Salah satu langkah mencegah calo, menurut Kemenaker, adalah melakukan perekrutan online.

Sejauh ini, menurut PT Al Zubara, sudah lebih dari 3.500 peminat yang mendaftar melalui situs perusahaan itu.

Yulia Guyeni, Direktur PT Al Zubara mengatakan pihaknya mulai membuka pendaftaran melalui online karena "animo yang begitu besar."

"Douglas (Amesz - direktur AG Recruitment) sempat menyatakan ada kebutuhan 10.000 pekerja, dan itu sudah disampaikan ke LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) di daerah-daerah di seluruh Indonesia yang sudah menjalin kerja sama dengan kami. Jadi kami beharap job itu memang ada," kata Yulia.

Banyak di antara para pekerja menyatakan ingin kembali ke Inggris untuk musim panen tahun depan, termasuk Ozzy, Suardika, Agus dan Pingkan. Namun bagi banyak pekerja lain, keberangkatan tahun depan ditujukan untuk menutup utang mereka.

Bagi Ozzy, satu pesan yang ia ingin sampaikan ke mereka yang tertarik adalah untuk "persiapkan fisik, mental dan juga bahasa Inggris bila ingin bekerja tanpa banyak pikiran dan beban". (*)

Tags : Pekerja Migran Indonesia, Pekerja Indonesia di Inggris Dipulangkan, Pekerja migran, Inggris raya, Pekerjaan, Indonesia,