"Industri perhotelan mengklaim sudah 'Berdarah-darah' [semakin terpuruk] setelah pemerintah memperketat aktivitas libur natal dan akhir tahun 2020"
emotongan cuti bersama dan kewajiban lolos uji usap sebelum masuk ke daerah pariwisata telah memicu pembatalan reservasi hotel besar-besaran, kata asosiasi perhotelan. Namun pakar kesehatan masyarakat menilai kebijakan pemerintah ini justru yang paling tepat untuk menekan penyebaran virus corona.
Jika cuti bersama akhir tahun ini tidak dipangkas dan tak ada pengetatan aktivitas liburan, industri perhotelan tetap belum akan pulih, kata Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran. Karena cuti bersama dipotong dan pemerintah baru saja menerapkan syarat baru untuk kawasan wisata, Maulana menyebut para pemilik hotel justru semakin terpuruk. "Dampak kebijakan itu sudah muncul, yaitu pembatalan reservasi hotel yang masif. Kami jenuh pemerintah gonta-ganti kebijakan. Itu sama saja membunuh kami," ujar Maulana Yusran via telepon dirilis BBC News Indonesia, Selasa (16/12).
"Sekitar 70% okupansi hotel di Bali dari turis mancanegara. Sekarang okupansi masih dari turis domestik. Dan padahal, apapun liburannya, kondisi perhotelan tetap sulit," kata dia.
Maulana geram karena sepekan jelang libur akhir tahun bergulir, pemerintah kembali menetapkan aturan baru soal pengendalian pandemi. Menko Maritim Luhut Pandjaitan menyatakan pemerintah melarang kerumunan selama libur ini, baik saat perayaan natal maupun momen pergantian tahun. Adapun Pemprov Bali mengharuskan turis yang masuk lewat bandara untuk menunjukkan bukti negatif tes usap Covid-19. Sementara turis yang masuk ke Bali lewat jalur darat diwajibkan bebas Covid-19 lewat tes rapid antigen.
Sejumlah daerah menerapkan ketentuan yang hampir serupa dengan Bali. Di beberapa wilayah, pemerintah lokal bahkan mewajibkan pendatang untuk mengisolasi diri selama beberapa hari. Sebelumnya, awal Desember lalu, pemerintah pusat lebih dulu membatalkan tiga hari cuti bersama akhir tahun. Menurut Maulana, pemerintah mesti memberikan kompensasi agar industri pariwisata tetap bisa bergulir normal pada periode liburan ini. Dia berkata, tes usap semestinya digratiskan agar turis tidak berpikir dua kali untuk berlibur. "Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan, jangan bebankan ke kami. Beranikah pemerintah subsidi PCR? Kalau mau melarang, laranglah dari jauh-jauh hari. Pelaku usaha perhotelan di Bali berbenah di tengah kesulitan 10 bulan tidak dapat menghasilkan, karena inilah momentumnya. Industri pariwisata baru bisa hidup saat semua orang berlibur," kata Maulana.
Dampak libur panjang
Setiap periode libur panjang tahun ini berakhir, Satgas Covid-19 mencatat kenaikan kasus positif. Pengetatan libur akhir tahun ini, kata Ketua Bidang Data Satgas Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, dijalankan agar persoalan yang sama tidak kembali berulang. "Setelah libur Idul Fitri (empat hari) terjadi kenaikan kasus hingga 70-90%. Dari yang awalnya 600 per hari naik jadi 1100 kasus per hari," ujar Dewi dalam siaran di akun Youtube Badan Nasional Penangangan Bencana (BNPB).
"Bulan Agustus, liburnya lebih lama dari periode libur lebaran. Dampaknya pada pekan pertama sampai pekan ketiga September, kasusnya naik terus. Positivity rate (jumlah yang positif dari seluruh orang yang diperiksa) juga naik sampai 3,9%. Ini menunjukkan penularan terjadi semakin cepat," kata Dewi.
Empat daerah yang kasusnya melonjak tinggi setelah masa libur panjang itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Walau dikritik pebisnis di sektor turisme, pengetatan ini dianggap jitu oleh epidemiolog dari Universitas Padjajaran, Deni Kurniadi Sunjaya. Menurut Dedi, syarat mobilitas orang dari satu daerah ke daerah lain selama pandemi ini bahkan semestinya didasarkan pada hasil negatif tes usap — uji Covid-19 yang relatif lebih mahal ketimbang jenis tes lain seperti tes cepat. "Kerumunan akan meningkatkan transmisi, ada libur atau tidak. Saat tidak libur pun kerumunan sangat jelas terjadi di depan mata kita," kata Dedi.
"Indonesia tidak ada gelombang kedua pandemi karena masih terus terjadi. Perilaku masyarakat yang harus dikendalikan pemerintah. Rapid test tidak banyak berguna. Yang penting swab test PCR. Jika dilakukan PCR setiap orang memasuki tempat baru, itu akan sangat baik," tuturnya.
Bagaimanapun, Dedi menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat agar pengetatan libur natal dan akhir tahun benar-benar terwujud di lapangan. Tugas itu, menurutnya, ada di pundak pemerintah daerah. Di Bali, pemerintah lokal mengklaim akan mengerahkan banyak petugas untuk memastikan pengetatan dijalankan secara tertib. Kepala Dinas Pariwisata Bali, I Putu Astawa, mengklaim akan mengawasi setiap pengelola penginapan dan tempat wisata. Pengetatan ini, kata dia, vital agar kondisi parwisata segera normal. "Kami bukan paranoid, tapi merujuk pengalaman sebelumnya, jadi harus ada pengetatan seperti itu," ujarnya.
"Kami ingin pandemi Covid-19 cepat selesai di Bali, jadi yang berwisata ke sini harus sehat dengan membuktikan hasil PCR. Hasil PCR dipantau di setiap bandara dan pelabuhan. Pihak hotel juga wajib melihat keterangan sehat itu. Di objek wisata ada satgas yang akan mengawasi. Pelaku industri wisata sudah kami beritahu agar mematuhi aturan ini secara tertib," kata Putu Astawa. (*)
Tags : Libur Natal dan Tahun Baru, Industri Hotel, Ruang Gerak Dibatasi, Pengusaha Hotel Terpuruk,