LINGKUNGAN - Keputusan pemerintah mengeluarkan limbah penyulingan kelapa sawit atau spent bleaching earth (SBE) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) dikritik pegiat lingkungan hidup karena disebut mengorbankan hak masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebab, kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial di Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Wahyu Perdana, dengan dikeluarkannya limbah sawit dari kategori B3 maka perusahaan bisa lepas dari jerat hukum jika terjadi pencemaran.
Tapi kalangan pengusaha kepala sawit mengklaim limbah yang berbentuk tanah dan mengandung kadar minyak di bawah tiga persen itu tidak beracun dan bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Sementara pemerintah memastikan pengawasan terhadap limbah tersebut akan tetap dilakukan dan jika terjadi pelanggaran akan diseret secara hukum.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan limbah kelapa sawit yang dikeluarkan dari kategori bahan berbahaya dan beracun adalah jenis SBE atau spent bleaching earth.
Limbah SBE ini, kata dia, sudah diekstrak kandungan minyaknya dari 20% menjadi di bawah tiga persen. Kadar tersebut, secara kajian teknis dan ilmiah sudah tidak lagi menunjukkan karakteristik limbah yang berbahaya dan beracun, lanjut Vivien.
"Dan lebih mudah untuk pemanfaatannya karena tidak lagi mengandung minyak serta logam berat," kata Rosa Vivien seperti dirilis BBC News Indonesia, Minggu (14/03).
"Sehingga walaupun bukan limbah B3, tapi tetap limbah harus dikelola dengan standar-standar," sambungnya.
Kendati limbah hasil pemurnian untuk minyak goreng ini sesuai ketentuan aman bagi lingkungan, tapi KLHK akan tetap melakukan pengawasan terhadap proses pengelolaannya.
Apa kata pengusaha kelapa sawit?
Sejalan dengan KLHK, Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang, menjelaskan, spent bleaching earth atau SBE merupakan limbah hasil pemurnian yang dipakai untuk pengolahan minyak goreng.
Bentuknya seperti tanah yang mengandung minyak. Jika tanpa pengolahan, minyak yang terkandung dalam limbah itu berkisar 20% dan ada kemungkinan 'terbakar sendiri' dalam cuaca atau kondisi tertentu.
Karena itulah, SBE masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun atau B3 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014. Namun begitu, ia mengklaim di negara-negara lain, termasuk Malaysia, limbah SBE tidak lagi dianggap sebagai limbah B3. "SBE tidak hanya dipakai di Indonesia tapi di seluruh dunia dan pabrik olahan minyak goreng dan minyak mentak memakai pemurnian seperti ini," imbuh Togar Sitanggang.
"Di negara-negara Eropa dan Malaysia, SBE tidak termasuk limbah B3. Tapi di Indonesia karena masuk daftar B3 harus diolah untuk kemudian dibuang."
Dalam Peraturan Pemerintah yang teranyar, limbah SBE yang dikeluarkan dari kategori B3 yakni yang kandungan minyaknya di bawah tiga persen.
Togar mengklaim, limbah tersebut tidak berbahaya berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya yang bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Kajian berulang kali sudah kita lakukan termasuk kadar toxic. Hasil pembuktian bahwa tidak toxic (beracun). Dugaan saya diturunkan menjadi tiga persen supaya tidak ada kemungkinan terbakar sendiri."
Lagipula, katanya, limbah berupa tanah tersebut bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan seperti pembuatan batu bata daripada ditimbun menjadi tumpukan tanah.
'Warga yang terdampak pencemaran tak bisa menuntut'
Keputusan mengeluarkan limbah penyulingan minyak kelapa sawit menjadi minyak goreng ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tapi Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial di Walhi, Wahyu Perdana, menuding pemerintah melakukan pemutihan terhadap kejahatan lingkungan hidup.
Penelitian yang pernah dilakukan Walhi menunjukkan, limbah SBE terbukti memengaruhi tingkat keasaman tanah sehingga mengganggu pertumbuhan tumbuhan sekitar.
Karena itulah, kata Wahyu Perdana, dengan dikeluarkannya SBE dari kategori B3, warga yang terdampak pencemaran tak bisa lagi menggugat secara hukum seperti yang selama ini dilakukan.
Padahal risiko pencemaran lingkungan dari limbah ini cukup tinggi. "Jadi kalau misalnya limbah sesuai baku mutu, tapi volume dan pengolahannya asal-asalan dan berdampak, warga tidak bisa menuntut. Sehingga hak masyarakat ketika terjadi pencemaran, semakin sulit," ujar Wahyu Perdana.
"Artinya hak warga melakukan komplain, tertutup. Padahal dulu kalau masih dalam B3, pertanggung jawaban mutlak. Masyarakat bisa protes dan menuntut."
Itu mengapa ia mendesak pemerintah agar membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang menurut Walhi lebih banyak mengorbankan hak masyarakat dan lingkungan hidup ketimbang menyediakan tenaga kerja dan hanya menguntungkan korporasi.
"Apakah cost produksi berkurang? Iya pasti, apakah mengancam hak orang lain? Iya juga."
Salah satu kasus dampak buruk pembuangan limbah SBE, terjadi di Desa Sendang Mulyo, Kecamatan Sluke, Rembang, Jawa Tengah. Perwakilan dari Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Rembang, Boma Subkhan, mengatakan jarak antara lokasi pembuangan limbah dengan permukiman warga sekitar tiga kilometer.
Dampak yang dirasakan warga, bau menyengat. "Bau minyak menyengat, kalau sampai sekarang ke lokasi itu, pusing sampai dua hari baru hilang," tutur Boma.
Tak cuma itu, puluhan hektar tanaman warga mati. Hitungan Boma, satu petani menanggung rugi antara Rp15 juta sampai Rp40 juta. "Tanaman bawang merah, cabai, mati. Terus yang signifikan tanaman pohon cengkeh yang umurnya di atas 10 tahun mati total,"
Limbah tersebut, sambungnya, dibuang oleh kapal tongkang pada Februari tahun 2020 kemudian ditempatkan di lokasi bekas galian tambang di empat tempat berbeda di Kabupaten Rembang. Saat itu, menurut Boma, pihak yang membuang mengaku jika limbah tersebut tidak berbahaya.
Katanya, jika ditotal, limbah tersebut berkisar 30 ribu ton dengan ketinggian 2-3 meter. Kini warga, kata Boma, menginginkan agar limbah itu segera dipindahkan. (*)
Tags : Politik, Hukum, Libah Sawit, Lingkungan,