JAKARTA - Jumlah kasus harian Covid-19 terlihat naik turun atau tidak stabil di beberapa daerah yang dijadikan prioritas penanganan oleh pemerintah Indonesia dalam dua pekan terakhir. Salah satu provinsi yang mencatatkan kenaikan jumlah kasus harian Covid-19 adalah Jawa Barat.
Dalam dua minggu terakhir, Jawa Barat mencatatkan penambahan kasus harian terendah pada 16 September dengan 299 kasus, dan tertinggi sebanyak 807 kasus pada 24 September, menurut peta sebaran Covid-19 dari Kementerian Kesehatan. Tidak ada pasien meninggal dunia pada 19 September, namun angka kematian naik menjadi 18 orang pada 26 September. Presiden Joko Widodo telah meminta Luhut Pandjaitan dan Ketua Satuan Tugas Penanganan covid-19, Doni Monardo pada 15 September lalu untuk menangani pandemi di sembilan provinsi dengan tingkat penularan tinggi.
Sembilan provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali. Keduanya diberi tugas untuk menurunkan penambahan kasus harian, meningkatkan angka kesembuhan, dan menurunkan angka kematian. Mereka diberi target dua minggu oleh Presiden Jokowi untuk mewujudkan ketiga target tersebut.
Pemerintah mengatakan penambahan kasus harian 'sudah melandai'?
Jodi Mahardi, juru bicara Luhut Pandjaitan, mengatakan bahwa penambahan kasus harian di beberapa wilayah sejak 15 September "sudah melandai". "Berdasarkan data mingguan penambahan kasus konfirmasi paska 14 September 2020, penambahan kasus harian di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sudah melandai, di Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan, penambahan kasus harian turun. Di Jawa Barat memang meningkat, tapi itu di Bogor, Bekasi dan Depok," ujarnya.
Meski demikian, Jodi mengatakan tingkat kematian karena Covid-19 meningkat di Jawa Barat dan Jawa Tengah meningkat. "Terkait data kematian mingguan, trennya itu di DKI Jakarta dan Sumatera Utara itu melandai, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Kalimantan Selatan menurun, yang meningkat memang di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kami yakin dengan koordinasi yang sangat erat antara para kepala daerah dan komunikasinya juga sangat lancar, Pangdam, para Kapolda, semua bergerak sama-sama, kami bisa menekan peningkatan kasus," ujarnya.
Apa penilaian pakar penyakit menular?
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan bahwa penurunan kasus harian di beberapa wilayah 'tidak terlihat bermakna' mengingat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat. "Di Jakarta ada penurunan kasus, artinya dari positivity rate-nya bisa terlihat [turun], tapi dari jumlahnya, tidak terlihat bermakna. Di Indonesia [jumlah kasus harian] masih sekitar 3000-an sehari, tidak menurun. Jumlah tes meningkat dari 20.000-an [tes per hari] ke 25.000-an atau 26.000-an seharinya, jadi lebih banyak [dari awal pandemi], maka jumlah kasus yang ditemukan akan lebih banyak," jelas Tri.
Pada 15 September, DKI Jakarta mencatatkan penambahan kasus harian sebanyak 1.076 kasus, sedangkan 898 kasus baru tercatat pada 28 September. Jumlah kasus Covid-19 yang bertambah per harinya bisa menurunkan tingkat kematian di beberapa wilayah, kata Tri.
"Angka kematian paling tinggi di Jawa timur sekitar 6% atau 7%, di Jawa Tengah sekitar 6%, kemudian Jakarta juga tinggi, sempat 4% tapi sekarang sudah menurun karena temuan kasusnya meningkat.
"Jadi kalau mau menurunkan case fatality rate ya temukan kasus Covid-19 sebanyak-banyaknya, dan tes sebanyak-banyaknya, pasti menurun angka kematiannya. Menurut saya strategi yang dilakukan pemerintah itu salah," ujar Tri.
Apa yang terjadi di Jawa Barat?
Berli Hamdani, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, mengatakan bahwa jumlah kasus harian "meningkat" di provinsi tersebut dalam dua minggu terakhir, karena upaya pengetesan yang "masif". "Untuk penambahan kasus dalam dua minggu terakhir, itu karena pertama kita mungkin mendekati puncak pandemi di Jawa Barat, sehingga penemuan-penemuan kasus terkonfirmasi cukup tinggi, positivity rate-nya cukup tinggi, berkisar antara 28%. Dari hasil pengetesan masif itu tentunya berimbas pada peningkatan kasus di Jawa Barat yang dalam dua minggu terakhir ini memang cukup signifikan dan cukup banyak, di mana per harinya rata-rata bisa mencapai 600 kasus terkonfirmasi positif," kata Berli dirilis BBC News Indonesia (28/09).
Dari kasus-kasus harian itu, 95% merupakan kasus tanpa gejala, sehingga mereka dapat melakukan isolasi mandiri. Berli mengatakan Pemprov Jawa Barat kini tengah fokus melakukan pengetesan di klaster industri dan pondok pesantren, serta menyediakan fasilitas kesehatan bagi isolasi orang-orang tanpa gejala namun positif Covid-19. Menurut Berli, Pemprov Jawa Barat telah berkoordinasi dengan Luhut Pandjaitan "dengan mengadakan rapat dua hari sekali, dan dalam rapat tersebut salah satu yang dibahas dan yang selalu dilaporkan adalah kesiapan dari tempat-tempat isolasi mandiri tersebut."
"Isolasi mandiri ini memang saat ini lebih didorong untuk bisa dilaksanakan di pusat isolasi mandiri, bukan di rumah, karena kalau di rumah kita mengkhawatirkan kualitas isolasinya itu yang justru tidak akan terpantau dengan baik dan proses penyembuhan jadi lebih lama dari yang diharapkan," jelas Berli.
Pemprov Jabar telah menyediakan fasilitas isolasi mandiri di gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi, yang berkapasitas hampir 650 tempat tidur. Mereka juga akan berbicara dengan pengelola hotel untuk mengubah hotel bintang tiga, empat dalima menjadi fasilitas isolasi mandiri, kata Berli. Meski demikian, ia mengatakan pihaknya kekurangan tenaga kesehatan untuk membantu penelusuran, seperti di kota Bandung. "Untuk rasio tracing ini memang beberapa kabupaten dan kota berbeda. Untuk Bandung hanya satu berbanding tiga atau empat, jadi kalau satu terkonfirmasi positif, maka ada tiga atau empat kontak erat yang kita tes hari ini. Karena kalau di Bandung ini selain keterbatasan sumber daya, juga adanya tenaga kesehatan yang kita fokuskan juga untuk pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, jadi tidak bisa semuanya membantu dalam tracing."
"Itulah mengapa kami membutuhkan tambahan tenaga rekrutmen untuk tenaga kesehatan yang mampu melakukan tracing ini. Ini sudah disampaikan ke [kepala] Badan Nasional Penanggulangan Bencana selaku ketua satuan tugas nasional," jelas Berli.
Mengapa peningkatan penelusuran kontak dianggap penting?
Tri Yunis Miko Wahyono, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa penelusuran kontak belum dilakukan oleh pemerintah secara maksimal, sehingga berpotensi menambah penularan Covid-19. "Saya lihat di bulan April, rata-rata kontaknya 20 orang per satu kasus, atau bisa di atas 20 orang, ada 30-an. Sekarang kontaknya 5-10 orang, kenapa? Itu artinya orang sudah berbohong terhadap [jumlah] kontaknya. "Mungkin yang melakukan contact tracing sudah kewalahan kalau kasusnya kebanyakan, tapi tenaganya tetap.
"Itu sebabnya juga karena contact tracing-nya berkurang, kasusnya semakin banyak, karena kontak yang tidak di-tracing kemungkinan besar akan jadi kasus," jelas Tri.
Selain itu, pemerintah juga belum menerapkan kewajiban isolasi mandiri yang ketat, yang jika dilakukan bisa menurunkan penyebaran virus corona di Indonesia. "Isolasi mandiri tidak dilakukan pemerintah. Saya baru ke Padang, di Padang [prosedurnya] sudah cukup baik, namun di banyak provinsi, termasuk di Jakarta, [hal itu] baru dilakukan pemerintah. Di Padang, kalau dia mau isolasi secara mandiri, akan disurvei dulu rumahnya, apakah layak, atau keluarganya telah siap. Kemudian dilihat apakah tetangganya juga siap, jadi tidak ada penularan. Kalau keluarganya tertular, maka [semua penghuni rumah] dibawa ke fasilitas pemerintah, harus ada kesepakatan itu. Kalau ada yang tertular di rumah maka wajib dibawa ke fasilitas pemerintah, harusnya pemerintah melakukan itu," kata Tri.
'Tidak ada jalan pintas keluar dari pandemi'
Hal senada disampaikan oleh Elina Ciptadi, salah satu pendiri Kawal Covid-19, organisasi masyarakat pemerhati pandemi Covid-19 di Indonesia. "Apakah target penurunan kasus itu dibarengi dengan syarat peningkatan testing dari para kontak erat. Kunci penanggulangan pandeminya di situ: tes semua kontak erat, lalu isolasi yang positif. Kalau takut kehilangan mata pencaharian harian, beri allowance supaya tidak menolak diisolasi karena alasan perut. Tidak ada jalan pintas keluar dari pandemi. Tidak bisa pilih tes saja, trace saja, treat saja. Harus simultan," ujar Elina.
Apa tanggapan Luhut Pandjaitan?
Jodi Mahardi, juru bicara Luhut, mengakui bahwa waktu dua minggu yang diberikan oleh Presiden Jokowi bukan berarti bahwa Luhut dan jajaran pemerintah lainnya dipastikan bisa menurunkan penyebaran virus corona secara signifikan. "Tentunya bukan berarti Pak Luhut ditugaskan [dengan tenggat waktu] dua minggu terus harus turun, itu kan tidak mungkin. Tapi yang kita harapkan adalah sekarang menekan laju peningkatan kasus dan ada perbaikan juga di hulu, itu yang sekarang jadi fokus Pak Luhut dan semua pihak yang bekerja sama. Kita melakukan ini secara terintegrasi dan kerjasama erat dengan semua pihak, ini bukan pekerjaan sendiri, ini pekerjaan bersama. Ini bukan pekerjaan dua mingguan, ini pekerjaan jangka panjang," pungkas Jodi. (*)
Tags : Luhut Binsar Pandjaitan, Menekan Penyebaran Virus Corona, Covid-19,