Total luas perkebunan sawit di Provinsi Riau tahun 2020 mencapai 4,058 juta hektar sehingga pabrik kelapa sawit dan kebun sawit yang tak jelas 'juntrungnya' dan berakhir merusak kawasan hutan terancam dikembalikan ke negara.
PEKANBARU - Mahkamah Agung [MA] sudah memerintahkan pemerintah mencabut aturan yang membolehkan hutan lindung diubah menjadi perkebunan. Putusan MA yang mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] atas Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 104 Tahun 2015. Peraturan Pemerintah [PP] yang dimaksud adalah PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Adapun pasal yang digugat adalah Pasal 51 ayat [2] yang berbunyi:
Dalam hal kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang sebelumnya namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi UndangUndang, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi konservasi dan/atau lindung, diberikan kesempatan untuk melanjutkan usahanya selama 1 (satu) daur tanaman pokok.
Walhi menyambut baik atas putusan MA ini. Menurut Manager Kajian Kebijakan Walhi, Boy Even Sembiring pada pemerintahan SBY, PP ini diterbitkan sebagai dasar untuk melegalkan keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan dengan fungsi produksi. Selanjutnya, pada Pemerintahan Jokowi, keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan diperluas hingga kawasan hutan fungsi konservasi dan lindung. Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Supandi. Perkara nomor 77 P/HUM/2019 itu juga diadili oleh anggota majelis Irfan Fachruddin dan Yosran.
Atas putusan ini, Penerbitan PP 104/2015 merupakan salah satu kebijakan di tahun awal Pemerintah Jokowi paling buruk. Penerbitan PP ini melanjutkan sekaligus memperluas upaya penghapusan kejahatan dan perilaku buruk konspirasi korporasi perkebunan khususnya kelapa sawit dengan penerbit izin. "Penerbitan aturan dalam situasi Indonesia sedang sibuk menghadapi persoalan karhutla 2015. Semangat melawan karhutla dalam Inpres 11/ 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang diterbitkan pada 24 Oktober 2015 seolah runtuh dengan adanya PP ini. Langkah awal Kebijakan bermuka dua Pemerintah Jokowi dimulai,” papar Boy dikutip dari website MA.
Menyimak kembali MA yang sudah memerintahkan untuk pencabut aturan yang membolehkan hutan lindung diubah menjadi perkebunan sawit itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia [APKASINDO], Gulat Medali Emas Manurung juga setuju atas keputusan itu. Dia malah menggambarkan yang terjadi atas kerusakan hutan lindung yang terjadi di Riau. Dimana berdasarkan data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera [P3ES] KLHK total luas perkebunan sawit di Provinsi Riau tahun 2020 mencapai 4,058 juta hektar, 36 persennya atau seluas 1,457 juta hektar adalah milik dari korporasi.
Seluas 2,601 juta hektar atau 64 persen adalah kebun kelapa sawit milik petani kelapa sawit. Sementara dari total keseluruhan kebun kelapa sawit milik korporasi yakni seluas 1,457 juta hektar di Riau, jumlah kebun kelapa sawit yang dianggap ilegal dan berada pada kawasan hutan ditemukan seluas 33.242 hektar atau 2,28 persen juga terancam dikembalikan ke negara. "Kami akan bersurat ke Presiden, jangan sampai terjebak dengan aturan yang dirancang oleh para pembantunya. Presiden wajib harus tahu ini," kata Gulat Medali Emas Manurung, mengakui bahwa penanaman sawit yang terlanjur dilingkungan hutan lindung dipastikan hanya untuk satu periode tanam dan pemerintah daerah tidak memperpanjang izinnya.
Menurutnya, pada Undang Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Omnibus Law, maka telah terancamlah keberlangsungannya. Sebab, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk kebun kelapa sawit milik petani yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi akan dikembalikan kepada negara. Pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur hidup atau selama satu masa usia hidup sekali penanaman kelapa sawit. Selanjutnya lahan pertanian kelapa sawit seluas 1,628 juta hektar itu tidak lagi dapat dikuasai petani.
"Total ada 2,601 juta hektar kebun kelapa sawit milik petani di Provinsi Riau, 62,61 persennya adalah kebun ilegal dalam kawasan hutan. Ini yang gawat, karena lahan kebun kelapa sawit milik dari para petani ini sudah terancam akan segera ditarik atau dikembalikan kepada negara. Sesuai aturan dalam UU Ciptaker Omnibus Law setelah satu masa daur hidup," kata Gulat Medali Emas Manurung yang sebelumnya di konfirmasi lewat WhatsApp [WA] nya dan Iapun sebelumnya telah mengeluarkan statemennya salah satu media, Rabu [16/12].
Terlanjur sudah mereka tanam dan kemungkinan adanya restu, "maka kita rekomendasikan untuk yang akan datang perkebunan rakyat yang menggunakan lahan ini hanya diberikan izin untuk satu kali tanam," kata dia dan APKASINDO sebelumya telah melakukan penelusuran rantai pasokan sawit di beberapa daerah Provinsi Riau.
Dalam penelusuran tersebut ditemukan beberapa pabrik sawit mengisi kebutuhannya akan tandan buah segar [TBS] sawit dengan 67,83 persen dari perkebunan internal dan 32, 17 persen dari luar. TBS dari luar berasal dari 12 pemasok yang terdiri dari perorangan maupun yang sudah berbentuk badan usaha. Atas gambaran itu Gulat Manurung mengatakan Lembaga APKASINDO memberikan rekomendasi agar pemerintah daerah tidak memperpanjang izin kepada petani yang sudah terlanjur memakai hutan lindung. "Kami rekomendasikan agar pemerintah setempat tidak lagi memberikan perpanjangan bagi petani yang terlanjur menggunakan kawasan hutan lindung, hanya diizinkan untuk masa satu tanam, begitu halnya terhadap pabrik sawit yang tak jelas perolehan bahan sebagai pemasokan industri," kata dia.
Menurutnya, penutupan tidak bisa langsung dilakukan karena berimplikasi kepada mata pencaharian masyarakat. Selain itu, dia juga merekomendasikan agar pabrik kelapa sawit [PKS] ketika mengurus izin harus mencantumkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan akan TBS agar tidak mendorong orang untuk merambah hutan secara liar. "Agar di dalam mendirikan izin perlu dilampirkan kejelasan dan kecukupan kebutuhan bahan baku sehingga ke depan tidak lagi bermasalah terkait produk CPO. Pendiri PKS yang akan datang perlu melampirkan asal usul bahan, kecukupan lahan dan CPO, sehingga tidak menstimulus masyarakat untuk merambah hutan yang bukan hutan produksi," katanya.
Gulat membenarkan data P3ES Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan [KLHK], terdapat 1,628 juta hektar kebun kelapa sawit ilegal yang berada dalam kawasan hutan. Data hingga Oktober 2020 itu diketahui merupakan kebun milik petani sawit di Riau. Namun diakuinya pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk kebun kelapa sawit milik petani yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi akan dikembalikan kepada negara. "Pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur hidup atau selama satu masa usia hidup sekali penanaman kelapa sawit. Selanjutnya lahan pertanian kelapa sawit seluas 1,628 juta hektar itu tidak lagi dapat dikuasai petani".
"Total ada 2,601 juta hektar kebun kelapa sawit milik petani di Provinsi Riau ini. Namun, 62,61 persennya adalah kebun ilegal dalam kawasan hutan. Ini yang gawat, karena lahan kebun kelapa sawit milik dari para petani ini sudah terancam akan segera ditarik atau dikembalikan kepada negara. Sesuai aturan dalam UU Ciptaker Omnibus Law setelah satu masa daur hidup," sebutnya. (rp.sdp/*)
Tags : Mahkamah Agung, Aturan Kebun Sawit, Hutan Lindung, Kebun Sawit Ilegal di Riau,