DAIK LINGGA - Dua komplek makam kaum Tionghoa terletak di Bukit Cina dipersimpangan Jalan BK Kuali RT05/RW03 Kelurahan Daik dan di Bukit Cina di perbatasan Singkep dengan Singkep Barat merupakan salah satu makam tertua di Kabupaten Daik Lingga, Kepulauan Riau [Kepri].
Bangsa yang memiliki latar belakang budaya mengagumkan ini juga dikenal sebagai bangsa yang gemar berpetualang ke seluruh penjuru dunia. Tak heran, jika kemudian keturunan Tionghoa banyak ditemukan di berbagai negara, tak terkecuali di Kabupaten Lingga.
"Sejarahnya makam Tionghoa itu sudah ada di Bumi Bunda Tanah Melayu dan sejak Sultan Lingga yakni Sultan Mahmud Syah atau Baginda Lingga (1761-1811) memerintah di Lingga," kata pak As memprediksi keberadaan komplek makam Tionghoa di Kelurahan Daik itu, saat diminta komentarnya yang dihubungi melalaui WhatsApp [WA] nya, Jumat (18/11).
Keberadaan makam tua warga Tionghoa di wilayah Kabupaten Daik Lingga dikenal memiliki sebutan identik dengan Tionghoa. Tetapi memang tidak ada literatur khusus yang menjadi dasar sahih sejak kapan keberadaan orang Tionghoa di Lingga.
Namun, dari mulut ke mulut yang berkembang secara turun temurun, disebut keberadaan orang Tionghoa di Lingga sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, atau tepatnya berbarengan dengan era kolonialisme Jepang masih menyisakan peristiwa tak sedap.
Seperti makam Tionghoa di bukit cina yang berada di bawah kawasan hutan lindung Gunung Lanjut Kabupaten Lingga.
"Isu keberadaan bukit cina ini bukan hanya sekedar penamaan saja," kata Arifin warga Dabo Singkep.
"Buktinya, penunjuk jalan yang tinggal di bawah bukit ini menunjukkan beberapa peninggalan sejarah di era penjajahan Jepang yang erat kaitannya dengan orang Cina."
"Di sini dulunya sebagian besar yang tinggal di bukit ini adalah orang Tionghoa, mereka dipaksa untuk bekerja oleh penjajah Jepang membuat terowongan menembus ke beberapa lokasi strategis di wilayah Singkep, yang memiliki perbatasan dekat dengan Laut Tiongkok Selatan," kata Arifin lagi yang mengaku telah puluhan tahun tinggal di bawah Bukit Cina di perbatasan Singkep dengan Singkep Barat itu.
Penamaan Bukit Cina ini disebut sejak zaman penjajahan Jepang, karena menurut beberapa warga setempat di sinilah tempat para tentara Jepang melakukan penyiksaan kepada pelaku romusha yang sebagian besar warga Tionghoa.
"Yang membuat terowongan bawah tanah ini dan semacam camp Jepang disini adalah orang Tionghoa sehingga bukit ini disebut Bukit Cina," ungkapnya.
Untuk mencapai puncak Bukit Cina di lokasi masih ditemukan beberapa peninggalan tentara Jepang, seperti batu bata bertuliskan 'Tekon' dengan bahan utama tanah merah.
Selain batu bata, di puncak bukit juga ditemukan beberapa jerigen tua dan juga tempat beton bekas tiang bendera. Ada juga tangga besi yang telah rapuh namun utuh terpasang sebagai sarana untuk masuk ke terowongan itu.
"Di setiap penjuru bukit terdapat terowongan yang menurut masyarakat, terowongan itulah yang dikerjakan oleh para tawanan Jepang," kata Arifin.
Terowongan seperti gua tersebut diantaranya menuju ke wilayah Pelabuhan Dabosingkep, Batu Berlubang Desa Kote, Pantai Todak Desa Batu Berdaun, dan Desa Sungai Buluh.
"Sekarang lubangnya sudah mulai tertutup reruntuhan tanah, ini karena ulah nakal masyarakat yang menebang pohon disini. Tapi di dalam terowongan ini kalau secara mistis bisa dilihat ada beberapa benda peninggalan orang Tionghoa dan Jepang yang belum diambil," sebut Arifin.
"Pernah rombongan dari Pemprov Kepri yang datang juga menemukan beberapa pecahan piring atau guci yang terbuat dari tanah, di dekat dengan terowongan," katanya menceritakan.
Beberapa benda bukti sejarah ini menurut masyarakat juga sudah banyak yang diambil.
Jalan yang dilewati di lokasi bukan jalan utama. Untuk melewati jalan utama jaraknya sangat sulit ditempuh karena kondisi medan yang sangat sulit, kata Supri yang juga ikut menunjukkan jalan menuju ke arah bukit.
"Wilayah ini sangat terasing, sehingga tidak banyak orang yang berani menaiki puncak Bukit Cina ini," sebutnya.
Tetapi Supri menambahakan ceritanya, kaitan Jepang pernah singgah di Bukit Cina bukan tidak beralasan. "Ini dibuktikan dengan adanya penemuan meriam di Pulau Berhala yang dekat dengan Pulau Singkep," ungkapnya sambil menunjukkan keberadaan meriam.
"Daerah ini boleh dibilang sangat angker, jadi tidak sembarang orang bisa naik ke puncak bukit ini, tapi kalau niatnya baik pasti tidak apa-apa," sebutnya lagi.
Kebenaran tentang orang Tionghoa menjalani kerja paksa dan ditawan oleh Jepang di Bukit Cina juga disampaikan Khui Pa warga setempat.
Ia mengaku pernah bekerja di wilayah tersebut. Karena sekarang usianya hampir 90 tahun ini tidak dapat banyak bercerita, namun dia membenarkan bahwa tempat itu pernah ditinggali orang Tionghoa.
"Itu saya sama keluarga pernah di tempat itu, ya itu cerita lama saya sudah tak bisa cerita lagi," ungkapnya.
Kondisi terowongan di Bukit Cina kini tak utuh lagi. Menurut warga, terowongan itu dihancurkan oleh Jepang saat mereka kalah di Perang Pasifik tahun 1945.
Ming Tong, salah satu warga keturunan Tionghoa yang lahir di Dabosingkep dan saat ini berdomisili di Rokan Hilir Riau ini menceritakan, dari perjalanannya menelusuri orang Tionghoa yang masuk ke Lingga sebagian besar adalah yang berasal dari Suku Hakka, Hokkian dan Tiochiu.
"Kalau Hokkian mereka itu datang dari Batam dan Bangka Belitung karena Lingga dekat dengan Babel. Hokkian mereka datang dari Pekanbaru dan Jambi karena Singkep sangat dekat dengan Jambi, dan untuk Tiochiu itu datang dari Pontianak melalui Natuna," kata Ming.
Ada banyak suku Tionghoa di Lingga, sebut Ming lagi. "Tetapi kalau wilayah Lingga dan Singkep khususnya kebanyakan hanya ada tiga suku saja," sebutnya.
"Beberapa suku Tionghoa yang ada di Indonesia antara lain Hakka, Hainan, Hokkian, Kantonis, Hokchia dan Tiochiu."
"Kalau untuk wilayah Dabosingkep saya kira juga sudah banyak yang tidak mengaku orang Tionghoa," kata Ming.
Selain Bukit Cina, Kampung Cina di Daik juga menjadi bukti nyata eksistensi warga Tionghoa di Lingga. Keberadaannya, juga disebut sejak jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan sejak Sultan Lingga memimpin.
"Suku-suku ini tersebar di beberapa wilayah di Lingga dan saat ini mereka sudah banyak yang menikah dengan masyarakat asli sehingga banyak yang sudah melupakan suku asli mereka," kata As menambahkan.
"Tapi kalau bukti sejarah tidak ada baik Bukit Cina dan Kampung Cina di Lingga, tapi makam ada juga yang sudah berusia ratusan tahun seperti makam Toa Pek kong dan Vihara," ungkapnya.
Memang hasil pantauan orang Tionghoa di Kabupaten Lingga sebagian besar banyak yang masuk Islam, sehingga untuk penganut Buddha hanya beberapa persen dari jumlah penduduk. (rp.sdp/*)
Tags : Makam Tionghoa, Daik Lingga, Kepri, Kuburan Tua Tionghoa, Kuburan Tionghoa Sejak Kemerdekaan RI, Makam Tionghoa Sejak Sultan Lingga Bertahta,