Nasional   2021/02/06 18:7 WIB

Malaysia, Indonesia Serukan ASEAN Pertemuan 'Khusus' Bahas Kudeta di Myanmar

Malaysia, Indonesia Serukan ASEAN Pertemuan 'Khusus' Bahas Kudeta di Myanmar
Presiden Joko Widodo bertemu Perdana Menteri (PM) Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin di Istana Merdeka, Jakarta, (05/02).

JAKARTA - Kepala negara Malaysia dan Indonesia menyerukan pertemuan menteri luar negeri ASEAN untuk membahas kudeta di Myanmar, langkah yang disebut PM Muhyidin Yassin sebagai "langkah mundur" dalam demokrasi dan dapat mengganggu stabilitas kawasan.

Muhyidin mengatakan hal itu setelah pertemuan dengan Presiden Joko Widodo Jumat (05/02) di Istana Merdeka, Jakarta. Muhydin mengatakan pertemuan "khusus" menteri luar negeri ini penting untuk menghadapi "satu langkah mundur" dalam proses demokrasi di Myanmar. "Adalah dikhuatiri (dikhawatirkan) pergolakan politik di Myanmar boleh (dapat) menganggu (mempengaruhi) keamanan dan kestabilan di rantau (kawasan) ini. "Sehubungan ini, saya sangat bersetuju dengan cadangan supaya kedua-dua Menteri Luar Negeri [Indonesia dan Malaysia] diberi mandat untuk mencari kesepakatan supaya satu mesyuarat (pertemuan) khusus ASEAN diadakan bagi membincangkan perkara ini dengan lebih mendalam," kata Muhyiddin Yasin dirilis BBC News Indonesia. 

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo mengatakan konflik di Myanmar dapat diselesaikan berdasarkan hukum dan sesuai prinsip ASEAN, di antaranya demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan pemerintahan yang konstitusional. Ia menambahkan masalah krisis Rohingya di Myanmar juga akan terus menjadi perhatian. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan tengah berupaya mendapatkan kejelasan posisi dan informasi tentang apa yang terjadi di Myanmar untuk kemudian memutuskan hal-hal yang bisa dilakukan. 

Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, menambahkan pemerintah Indonesia berharap Brunei sebagai Ketua ASEAN dapat melakukan langkah strategis untuk menghadapi krisis Myanmar. "Kita hormati posisi Brunei selaku ketua ASEAN. Kita harap atau dorong Brunei lakukan langkah-langkah strategis dalam rangka ASEAN," kata Faizasyah.

Apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar periode 2013-2018, Ito Sumardi, mengatakan selama ini Indonesia melakukan pendekatan yang disebutnya "konstruktif" ke Myanmar, tanpa mencampuri urusan negara itu, dengan merujuk pada prinsip ASEAN yaitu saling tidak menginterfensi (non-interference). Dalam hal ini, Ito mengatakan yakin pemerintah sudah melakukan non-megaphone diplomacy (diplomasi yang tidak mengeluarkan pernyataan keras untuk memaksa suatu negara melakukan sesuatu).

Salah satunya, kata Ito, adalah dengan mendorong penegakan HAM di negara itu. "Kita hanya memberi saran-saran yang sifatnya membangun. Bagaimana mereka bisa melakukan sesuatu, namun tak melanggar kesepakatan ASEAN," ujarnya.

Ito memberi contoh, sebelumnya Indonesia mencoba merespons krisis Rohingya tak dengan melakukan intervensi, tapi dengan membangun empat sekolah untuk warga Rohingya dan warga Myanmar lainnya. Indonesia juga mendirikan rumah sakit di Myanmar yang tak hanya bisa dipakai warga Rohingya, tapi masyarakat umum lainnya. Pendekatan seperti itulah yang menurut Ito berhasil dan akan berhasil terkait masalah peralihan keuasaan di Myanmar ke militer. 

Sementara itu, Ito menjelaskan, semasa dia menjabat sebagai dubes Indonesia untuk Myanmar dalam pemerintahan junta militer, hubungan Indonesia dengan militer Myanmar sangat akrab. Dia bahkan pernah menawarkan dan menggagas program pelatihan polisi Myanmar di Indonesia "agar mereka memiliki standar dunia," ujarnya.

Meski begitu, hubungan kedua negara juga selalu dibatasi oleh sanksi internasional yang diterima Myanmar dalam pemerintahan junta militer. Misalnya, penjualan Alutsista Indonesia ke Myanmar pernah terhalang karena ada spareparts yang dibuat di negara Eropa, yang waktu itu mengenakan sanksi pada Myanmar. Di sisi lain, katanya, Indonesia juga punya hubungan yang sangat baik dengan pemimpin sipil Myanmar. Di tahun 2015, KPU Myanmar pernah belajar sistem Pemilu di Indonesia.

Sejumlah negara Barat mengecam apa yang terjadi di Myanmar. AS bahkan mempertimbangkan menjatuhkan sanksi lagi pada Myanmar. Namun, tak ada negara ASEAN yang mengecam kudeta itu. Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, menyatakan keprihatinan dan mendesak pihak-pihak yang terkait pengambilalihan kekuasaan di Myanmar untuk menyelesaikan sengketa melalui "mekanisme hukum" dan "dialog yang damai".

Sebelumnya, Ketua ASEAN, yang kini dijabat Brunei Darussalam mendesak dilakukannya dialog, rekonsiliasi, dan pengembalian keadaan ke kondisi normal sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat Myanmar. Vietnam dan Laos belum mengeluarkan pernyataan. Terkait itu, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, mengatakan ketika berbicara soal ASEAN, perlu dilihat pula berapa negara yang betul-betul demokratis.

Indonesia, menurutnya, adalah satu negara yang paling berhasil mewujudkan demokrasi di kawasan, sementara mayoritas anggota tidak. Selain itu, ia menilai ada kesalahan ASEAN dalam memandang kudeta sebagai urusan dalam negeri anggota. "Menurut saya itu keliru karena urusan memajukan demokrasi adalah kesepakatan ASEAN yang sudah tertuang dalam piagam ASEAN. Semua negara di ASEAN berkomitmen melaksanakan itu... Yang terjadi di Myanmar itu mencederai demokrasi," ujar Hassan.

Kudeta itu, kata Hassan, juga melanggar prinsip lain yang dikeluarkan setelah KTT ASEAN di Laos pada tahun 2004, bahwa perserikatan itu tak mendukung pemerintahan yang tak demokratis, yang salah satunya diraih dengan cara kudeta. Sebelumnya, pernyataan ASEAN bahwa kudeta merupakan "urusan dalam negeri" anggota juga pernah dinyatakan saat kudeta militer di Thailand. Indonesia, kata Hassan, bisa bersikap kepada Myanmar dengan mengingatkan bahwa negara itu "terikat dengan dua prinsip tersebut". "Anda Myanmar terikat dua dokumen tadi yang langsung terkait dengan kudeta."

Dia menghargai inisiasi Indonesia dan Malaysia untuk mengadakan pertemuan Menlu ASEAN. "Tapi apa yang dihasilkan pertemuan itu harusnya yang lebih bagus," ujarnya.

Sementara itu, Ito Sumardi mengatakan apa yang terjadi terkait pemilu 2020 di Myanmar perlu dipahami lebih mendalam, apalagi daerah tertentu tak mendapat hak pilih. "Kita tak bisa mengecam tanpa kita ketahui mengapa kudeta dilakukan. Mungkin secara konstitusi kita [Indonesia] itu kudeta, tapi mereka katakan itu bukan kudeta, tapi untuk menegakkan konstitusi. "Kita harus pelajari dulu konstitusi di sana," ujarnya.

Anggota Komisi I DPR yang membawahi urusan luar negeri, Sukamta, mengatakan dalam jangka panjang Indonesia perlu mengambil peran lebih di ASEAN, mengingat Indonesia adalah salah satu pendiri perserikatan itu. Masalah ini, katanya, juga harus menjadi momentum ASEAN mendefinisikan ulang prinsip-prinsipnya. "Karena dalam Piagam ASEAN diatur soal prinsip non-interference, artinya ASEAN tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri anggotanya. Ini ke depan perlu dipikirkan untuk ditinjau ulang. ASEAN belum punya gigi untuk menyelesaikan urusan-urusan seperti ini. Kasus ini bisa jadi momentum untuk meredefinisi ASEAN agar tidak hanya jadi ajang kumpul-kumpul saja," katanya. 

Ia mengatakan jika ASEAN punya fungsi dan kewenangan yang lebih kuat, setidaknya krisis politik dan HAM yang terjadi di negara-negara ASEAN dapat ditindaklanjuti secara regional. "Bukan dalam rangka turut campur 100% urusan dalam negeri suatu negara, tapi untuk memastikan pelindungan terhadap warga sipil, karena biasanya warga sipil menjadi korban jika ada perang di dalam negeri, meskipun sudah ada hukum humaniter," ujarnya menambhakan kalau Ia berharap sebelum masa reses, Komisi 1 DPR dapat mengeluarkan pernyataan resmi tentang konflik Myanmar. (*)

Tags : Malaysia dan Indonesia, Pertemuan ASEAN, Bahas Kudeta di Myanmar,