"Percepatan rehabilitasi hutan mangrove terus dilakukan tetapi tata kelolanya tidak baik dan tak terkontrol menyebabkan tumbuhan penahan abrasi terus tergerus karena adanya industri, tambak ikan dan panglong arang"
ebagai salah satu daerah yang memiliki luasan lahan gambut terluas kedua se Indonesia, Provinsi Riau masuk dalam provinsi prioritas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove, oleh Badan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove (BRGM) RI.
Dengan kawasan hidrologis gambut terluas di Indonesia yang mencapai 5,3 juta hektar atau 55,7% dari total kawasan gambut Indonesia di Pulau Sumatera.
Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] malah menyebutkan tata kelola mangrove di Indonesia tidak ditata oleh pihak KLHK dengan baik.
"Seharusnya kalau di kelola dengan baik bisa untuk pelestarian dan berdaya ekonomi seperti HTI khusus mangrove, selain itu perlu sistem tata kelola pelestarian yang berkesinambungan dan terkontrol dengan membentuk KPH Khusus mangrove dengan pelestarian melibatkan masyarakat pecinta lingkungan."
"Penyebab rusaknya magrove adalah industri, tambak ikan, panglong arang yang memanfaatkan pantai sebagai lokasinya, sementara itu program reboisasi pemerintah melalui KLHK dinilai tidak berhasil, bahkan tidak terkontrol dan tidak berkesinambungan," sebut Ir Marganda Simamora M.Si, Ketua Umum [Ketum] Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba], tadi ini menjelaskan melalui Whats App [WA], Selasa (12/3/2024).
Menurutnya, tidak dikelolaanya mangrove di Riau justru sebelumnya sudah dikeluarkannya SK Nomor Kpts.871/ VIII/ 2021 tanggal 18 Agustus 2021, tentang Tim Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Provinsi Riau.
"Komitmen ini merupakan pintu masuk pada proses panjang kolaborasi, nantinya dalam melaksanakan kesepakatan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove di Provinsi Riau.”
Abrasi yang terjadi di Teluk Nibung, Riau. Pertahanan dari mangrove yang menipis, menyebabkan daratan terus terkikis.
“Jika dikelola dengan baik, kami berkeyakinan, TRGMD Riau ini akan berkontribusi nyata dan mendukung terwujudnya tujuan pembangunan Riau hijau, yang mengusung 3 Pilar Utama, yaitu, pertama meningkatkan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam, dan ketiga meningkatkan bauran energi dari, sumber daya alam terbarukan,” katanya.
Tetapi sebelumnya pemerintah sudah menghabiskan Rp6,5 triliun untuk rehabilitasi mangrove yang diperuntukkan bagi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.
Demi karbon biru, Pemerintah Indonesia mempercepat rehabilitasi mangrove melalui program Mangrove for Coastal Resilience (M4CR).
“Hampir 90 ribu hektare dan sisanya akan dilaksanakan dalam dua tahun ke depan. Ini didukung juga oleh mitra strategis internasional antara lain World Bank,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti dalam Konferensi Pers Evaluasi Kinerja 2023 Menuju Indonesia Emas 2045 menyebut, Indonesia telah menanam lebih dari 265 juta mangrove sejak 2020.
Pelaksanaan program M4CR dilaksanakan sejak awal 2023 hingga 2027 dengan dana hibah US$ 419 juta atau Rp 6,5 triliun.
Nani berkata, pada tahap awal, proyek dilaksanakan di empat provinsi antara lain, seperti Riau dengan luas mangrove 5.866 hektare, Sumatra Selatan luas mangrove sebesar 7.904 hektare, Kalimantan Utara luas mangrove sebesar 25.543 hektare, dan Kalimantan Timur luas mangrove sebesar 35.687 hektare.
Menurut Nani, program M4CR diharapkan dapat melindungi dan memulihkan ekosistem mangrove yang terdegradasi, meningkatkan manfaat jasa ekosistem, penyimpanan karbon, dan habitat spesies, serta mengurangi risiko bencana bagi masyarakat pesisir.
Program ini akan berkontribusi pada target Pemerintah Indonesia untuk mengubah sektor tata guna lahan sebagai serapan karbon bersih pada tahun 2030.
Program Rehabilitasi Mangrove Nasional merupakan prioritas Presiden Indonesia dan bertujuan untuk merehabilitasi 600 ribu hektare mangrove yang terdegradasi hingga tahun 2024.
“Di mana 200 ribu hektare direstorasi (penanaman) dan 400 ribu hektare dikonservasi dan ini terus bergerak sampai akhir 2023,” sebutnya, Selasa 9 Januari 2024 lalu.
Dia menjelaskan, berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang resmi dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2021, total luas ekosistem mangrove Indonesia mencapai 3.364.076 hektare atau 20,37 persen dari total luas dunia.
Namun sayangnya berbagai aktivis di Riau masih meyoroti penggunaan anggaran rehabilitasi mangrove untuk di Riau.
Yang menjadi sorotan para aktivis dalam kegiatan rehabilitasi mangrove ini seperti terdapat pada mata anggaran dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2021, 2022 dan tahun 2023 dengan total anggaran sebesar Rp 1.2 triliun untuk wilayah Provinsi Riau.
Anggaran rehabilitasi mangrove pada tahun 2021 dianggarkan melalui Dana APBN sebesar Rp 462 miliar dan langsung ditangani oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dinilai pengerjaanya hanya khusus di lokasi Kabupaten Bengkalis.
Kemudian, tahun 2022 Menteri Bappenas meminjam Uang dari World Bank Sebesar 400 jt $ dengan konversi Rupiah sebesar Rp 5,7 Triliun.
Pinjaman tersebut dilakukan pada tahun 2022 lalu dan Provinsi Riau mendapatkan kembali dana segar untuk kelanjutan Rehabilitasi Mangrove yang berada di enam Kabupaten Kota Provinsi Riau sebesar Rp 800 miliar.
Bahkan adanya dugaan 'permainan' di proyek rehabilitasi mangrove ini kabarnya telah bergulir di Kejaksaan Tinggi [Kejati] Riau.
Tetapi pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) Riau, malah mengakui keberhasilannya dalam melakukan pengelolaan hutan mangrove, saat dilakukan rapat koordinasi tim restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove Provinsi Rau, bersama BRGM dan Pemerintah Kabupaten Kota, serta NGO, di Hotel Premier, Pekanbaru.
“Melalui rapat koordinasi ini kita mengangkat tema, kolaborasi para pihak sebagai kunci keberhasilan pelaksanaan restorasi gambut dan rehabilitasi mengrove di Riau,” kata Dr Mamun Murod masa menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) Riau, Selasa 14 Desember 2023 lalu.
"Selain memiliki lahan gambut yang luas, Riau juga memiliki luas kawasan mangrove lebih kurang 223 ribu hektare yang tersebar di sepanjang pantai Timur pulau Sumatra," sambung Mamun Murod.
Menurut Mamun Murod, dengan adanya kedua tipe ekosistem ini diwilayah Riau mengalami degradasi atau kerusakan yang cukup parah, di ekosistem gambut kerusakan terjadi akibat deforestasi dan kebakaran hutan, sedangkan di Kawasan mangrove juga terjadi deforestasi dan abrasi pantai.
“Oleh karena permasalahan tersebut, Provinsi Riau ditetapkan menjadi salah satu Provinsi prioritas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove oleh BRGM. Di Indonesia hanya ada tiga provinsi yang melaksanakan restorasi gambut, dan rehabilitasi mangrove secara bersamaan yakni Riau, Kalimantan Barat dan Papua,” jelasnya.
Dijelaskan Murad, dari kegiatan ini merupakan kerja besar, kerja yang tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Keberhasilan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove, sangat ditentukan dengan peran para pihak yang berkolaborasi dengan baik.
“Tim Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove Provinsi Riau tetap komitmen dan ini merupakan pintu masuk pada proses panjang kolaborasi, nantinya dalam melaksanakan kesepakatan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove di Provinsi Riau,” ungkapnya.
Sementara itu, Kapokja Program dan Anggaran BRGM, Teguh Prio Adi Sulistyo, mengatakan, Riau memiliki kepulauan-kepulauan yang luas dan menjadi provinsi kedua terluas yang memiliki lahan gambut setelah Kalimantan. Untuk itulah Riau menjadi Provinsi penanganan gambut yang serius.
“Provinsi Riau masuk nomor dua terluas setelah Provinsi Kalimantan lahan gambutnya. Untuk itu menjadi konsen dari BRGM untuk melakukan kegiatan secara riset di Provinsi Riau ini. Mulai tahun 2021 BRG diselesaikan dan sesui arahan bapak Presiden selain restorasi gambut juga diamanati untuk melakukan restorasi mangrove,” kata Sulistyo.
Penanganan restorasi mangrove
Kembali seperti disebutkan Marganda Simamora lagi, jika tidak cepat dilakukan penanganan restorasi mangrove, dikhawatirkan batas wilayah Riau yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga akan semakin berkurang.
Dengan semakin terkikisnya akibat hempasan ombak laut, yang mengkikis daratan mangrove semakin rusak.
“Disini menjadi penting karena di Riau itu banyak pulau-pulau yang langsung berbatasan dengan negara tetangga dan sebagian disitu menjadi penting dilakukan restorasi gambut dan mangrovenya," sebutnya.
Karena apabila terjadi abrasi yang besar, itu menjadi menimbulkan masalah baru yaitu batas negara jadi berkurang secara signifikan oleh karena itu di kepulauan-kepulauan Meranti, Itu menjadi prioritas untuk dilakukan restorasi mangrove, ujarnya.
Presiden Joko Widodo sudah melantik Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono, pada 23 Desember 2020 lalu. Pengangkatan yang tertuang dalam Keppres Nomor 78/M 2020 ini menjawab kelanjutan BRG yang masa kerja berakhir tahun lalu. Presiden menambah satu pekerjaan lagi dalam badan itu: pemulihan mangrove.
Menurut Marganda Simamora, mangrove di Indonesia termasuk di Riau, banyak alami kerusakan karena berbagai penyebab, antara lain, tergerus penebangan liar, tambak udang, kebun sawit dan alih fungsi lain. Di Riau, selain masalah kerusakan mangrove, data pun berbeda-beda dari masing-masing lembaga.
Sedangkan lembaga yang diberi jangka waktu kerja selama empat tahun itu, masih dalam persiapan pelaksanaan. Ihwal target rehabilitasi mangrove per tahun mereka masih proses konsolidasi data dan peta.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No120/2020, BRGM mengemban tugas merehabilitasi 600.000 hektar mangrove pada sembilan provinsi. Yakni, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat. Tanggungjawab itu meliputi, persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pembangunan persemaian modern.
Bicara Riau, Bagaimana kondisi hutan mangrovenya?
Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, dicontohkan Marganda, data luasan mangrove dari sejumlah instansi sangat beragam dari tahun ke tahun.
Meskipun begitu, data-data itu menunjukkan hal sama soal tren penurunan hutan mangrove dari tahun ke tahun sekarang alias sudah simpang siur.
Data Dinas Kehutanan Riau 2007, mangrove seluas 261.285,3 hektar, dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) 2009 luas 206.292,6 hektar. Kemudian data mangrove Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau 2010: 175.295,2 hektar serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau pada 2012 seluas 140.169,3 hektar.
Pada statistik 2013, Dinas Kehutanan Riau merilis sisa hutan mangrove seluas 138.434 hektar, berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), maupun tata batas hutan maupun fungsi kawasan hutan. Sekitar 93.094 hektar dari luasan itu dalam keadaan kritis.
Saat laporan itu keluar, hutan mangrove tersebar di tujuh wilayah, yakni, Bengkalis 21.981 hektar, Kepulauan Meranti 25.619 hektar, Dumai 11.583 hektar, Siak 6.831 hektar, Rokan Hilir 8.441 hektar, Pelalawan 445 hektar dan paling luas Indragiri Hilir 63.534 hektar.
Identifikasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung (BPDASHL) Indragiri-Rokan menyatakan, keadaan hutan mangrove Riau, rusak berat 50,95%, rusak sedang 47,41% dan hanya 1,65% dalam kondisi baik. Jurnal itu tidak menyebut waktu atau tahun catatan itu keluar.
Bila merujuk pada tahun jurnal itu terbit, sebaran mangrove di Riau berdasarkan catatan BPDASHL Indragiri-Rokan 2014, seluas 422.607,70 hektar. Statusnya, dalam kawasan 251.653,63 hektar (lebat 297,38 hektar, sedang 47.121,83 hektar; jarang 126.544,50 hektar dan potensi mangrove 77.689,93 hektar). Di luar kawasan hutan seluas 170.954,07 hektar (kondisi lebat 62,57 hektar, sedang 8.944,67 hektar, jarang 29.948,37 hektar serta potensi mangrove 131.998,46 hektar).
Perbedaan data BPDASHL sangat jauh bila dibanding luasan dalam statistik Dinas Kehutanan Riau setahun sebelumnya, bahkan dibanding data lembaga lain pada 2007.
Luasan itu anjlok dibanding data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, yang mencatat hutan mangrove Riau tersisa 174.000 hektar (mengutip Kompas.com, 24 Juli 2020).
Jadi menurut Marganda, belum ada peta tutupan hutan mangrove yang seragam di Riau. Tetapi pihak DLHK Riau sendiri mengaku, mereka sudah sering membicarakan itu, tetapi belum ada waktu untuk merumuskan bersama.
Meskipun begitu, Marganda, tidak mempersoalkan itu. Sampai saat ini, DLHK mengklaim, masing-masing lembaga rutin komunikasi dalam menentukan lokasi target rehabilitasi dan tak pernah tumpang tindih.
Pesisir yang terkikis di Riau. Seperti yang terjadi di Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsang, abrasi pertahun puluhan hektar, mengancam keberadaan pulau-pulau itu.
Model atau teknis penanaman pun diseragamkan.
“Tidak masalah beda, asal tidak sama lokasi kegiatannya. Yang penting sama-sama tahu. Yang dihitung itu kan nilai indeks kualitas tutupan lahan atau tingkat keberhasilannya.”
"Sayangnya, DLHK Riau belum memberikan data terbaru mengenai kondisi tutupan hutan mangrove, baik luasan keseluruhan maupun beberapa wilayah sebaran berikut kondisi serta laju pengurangan dan tingkat keberhasilan rehabilitasi dalam empat tahun terakhir," kata dia.
Namun Marganda mengaku, belum pernah menghitung luasan mangrove keseluruhan di Riau. Saat ini, dia lebih fokus melihat rehabillitasi pantai untuk mengembalikan fungsi, baik pada mekanisme rehabilitasi pantai bergambut dan berpasir.
Sebenarnya, kata Marganda, mudah saja ahli dalam penginderaan jauh menghitung luasan mangrove, bahkan hutan mangrove 30 tahun lalu yang sudah lenyap bisa teridentifikasi.
“Apalagi kondisi terkini, bisa diselesaikan dalam dua bulan.”
Empat tahun terakhir, BPDASHL Indragiri-Rokan telah merehabillitasi hutan mangrove seluas 410 hektar.
Selain pemulihan rutin, pada Oktober-Desember tahun lalu, BPDASHL juga menjalankan program padat karya mangrove (PPKM) guna pemulihan ekonomi nasional (PEN) dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Luas rehabilitasi mangrove lewat kerjasama masyarakat ini mencapai 692 hektar di kawasan hutan, area penggunaan lain (APL) 18 hektar dan hutan lindung 674 hektar. Pembagian kerja berdasarkan kelompok perhutanan sosial 300 hektar, program kampung iklim 100 hektar dan luar binaan 292 hektar.
Realisasinya, melebihi target yang direncanakan 500 hektar.
Pemulihan mangrove sekaligus ekonomi masyarakat itu tersebar di lima kabupaten. Indragiri Hilir, Bengkalis, Siak, Rokan Hilir, dan Kepulauan Meranti. Kegiatan ini menyerap 48.539 hari orang kerja (HOK) dan 1.658 orang yang menyebarkan 3.625.900 bibit mangrove.
Dalam pemulihan ekonomi masyarakat pesisir di Riau berbasis rehabilitasi hutan mangrove ini, BPDASHL mengelola anggaran hampir Rp11 miliar untuk disalurkan pada masyarakat maupun kelompok, mulai dari pembibitan hingga penanaman.
Tidak perlu tangan ketiga, lembaga di bawah KLHK itu langsung menyalurkan dana ke rekening masyarakat yang berpartisipasi.
Sedangkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Riau juga turut menyelamatkan pesisir yang kian tergerus ombak, dengan penanaman bibit bersama kelompok masyarakat.
Selama lima tahun, DKP menyebar 84.500 bibit mangrove pada 8,45 hektar bekas daratan yang dihantam abrasi. Terhitung, 2015-2019, luasan tanam selalu bertambah dari dana APBD provinsi.
Meski pada 2020, DKP Riau harus menyesuaikan kembali mata anggaran karena pagebluk COVID-19 yang berdampak penanaman mangrove hilang.
Organisasi perangkat daerah (OPD) ini dapat jatah menjalankan program PKM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjelang akhir tahun lalu. Kegiatan pada lahan 5000 meter persegi di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Bengkalis.
DKP menggandeng Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap.
Tidak hanya menanam, Belukap juga ada rumah bibit mangrove lengkap dengan segala fasilitas.
Untuk keberlanjutan dan memudahkan semua pihak mendapatkan bibit mangrove, sekaligus sebagai sumber pendapapat kelompok itu.
Rencana awal mempekerjakan 50 anggota kelompok, baru satu bulan itu menyerap 100 orang tenaga kerja. Pembangunan dan penyediaan bibit dengan sistem kontrak lewat pihak ketiga, sedangkan upah penanaman langsung dibayar KKP ke para pekerja.
“Selain mempertahankan ekosistem laut, juga menjemput ekonomi masyarakat. Mangrove bagus, ikan pun bertelur. Menggandeng masyarakat mengembalikan mangrove sekaligus menumbuhkan rasa memiliki mereka terhadap sumber ekonomi nelayan,” kata Herman Mahmud, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Riau.
Sebenarnya, DKP Riau sempat menghubungi beberapa kelompok, namun hanya Belukap yang memberi respon cepat. Kelompok itu juga memenuhi segala administrasi yang diwajibkan, hingga dalam waktu singkat, langsung diputuskan sebelum tim survei lapangan.
Belukap merupakan pemain lama dalam rehabilitasi mangrove pada tataran masyarakat, sejak 2004. Mereka didukung bupati hingga kepala desa setempat. Ketersediaan lahan dan kondisi lapangan juga jadi pertimbangan DKP Riau, menetapkan wilayah dan kelompok itu melaksanakan program kementerian.
Adapun rehabilitasi mangrove pada DKP Riau sudah tertuang dalam rencana strategis (renstra) dan rencana program jangka menengah daerah (RPJMD). Ia disebut rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ada tujuh kabupaten basis nelayan di Riau, yakni, Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Siak dan Indragiri Hilir.
Pulau Rangsang di Kepulauan Meranti, kemudian Pulau Bengkalis serta Pulau Rupat di Bengkalis, katanya, saat ini jadi prioritas pemerintah daerah dan pusat untuk diselamatkan dari abrasi. Pulau-pulau itu berhadapan langsung dengan Selat Melaka, atau negeri jiran, Malaysia.
Keterbatasan anggaran dalam rehabilitasi hutan dan lahan juga dialami DLHK Riau. Sejak 2017-2019, hanya 76 hektar realisasi penanaman mangrove di beberapa wilayah.
Tahun lalu, rencana penanaman lanjutan batal karena terjadi rasionalisasi anggaran menghadapi situasi pandemi.
Padahal, katanya, 48 hektar target tanam mestinya tiba di Bengkalis, Rokan Hilir dan dua desa di Indragiri Hilir.
Tahun ini, ucap Herman, bila tidak terjadi penyesuaian anggaran di tengah jalan, kegiatan itu kembali jalan meski dengan target 10 hektar di Bengkalis.
Penanaman lokasi baru biasa juga disertai pemeliharaan lokasi yang sudah jalan sebelumnya. Hal ini, katanya, guna memastikan bibit mangrove tumbuh baik.
DLHK Riau, akan menyisip kembali bibit mangrove yang gagal tumbuh.
DLHK Riau, katanya, juga menjalin komunikasi dengan kepala desa dan kelompok terkait untuk mengawasi hasil kerja-kerja di lapangan.
“Kalau (mangrove) mati, masih ada bibit untuk penyulaman yang kita cadangkan 10% dari seluruh pengadaan bibit per tahun,” kata Icha.
Tiap satu hektar tanam, biasa DLHK Riau perlu 5.200 bibit.
Sigit menilai, rehabilitasi mangrove saat ini belum masif dan tak sebanding dengan laju degradasi.
Untuk rehabilitasi ini, katanya, masih bergantung dan terbatas pada anggaran.
Dia bilang, dalam pemulihan, harus ada bangunan fisik pemecah gelombang terlebih dahulu sebelum penanaman mangrove.
Tingkat keberhasilan pertumbuhan mangrove, katanya, sangat ditentukan pelindung dari ombak. Setelah mangrove tumbuh kuat, ia akan jadi pelindung yang baik.
“Memang, pelindung pantai paling bagus adalah mangrove. Selain meredam gelombang juga sebagai habitat makhluk hidup seperti kepiting, kerang dan udang.”
Riau dapat bantuan bank dunia rehabilitasi mangrove
Sedangkan tahun 2023 lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau memperoleh Rp800 miliar bantuan Bank Dunia untuk merehabilitasi mangrove melalui program Mangrove for Coastal Resilience (M4CR).
"Untuk seleksi lokasi rehabilitasi didasarkan pada usulan dari provinsi sudah dijalankan beberapa bulan lalu, kemudian melalui proses verifikasi sebelum ditetapkan untuk mendapatkan bantuan rehabilitasi tersebut," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Mamun Murod.
Menurut Mamun Murod, Riau justru menjadi salah satu provinsi percontohan dalam program rehabilitasi mangrove dengan dukungan dana sebesar Rp800 miliar itu.
Tanaman mangrove untuk lindungi pantai
Karena itu, dia menyebutkan anggaran sebesar Rp800 miliar itu adalah untuk mendukung upaya rehabilitasi dengan target seluas 7.498 hektare lahan mangrove tersebar di enam kabupaten dan kota di Riau.
"Keenam daerah tersebut adalah Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Pelalawan, dan Kota Dumai dengan luas masing-masing area rehabilitasi yang bervariasi," katanya pula.
Luas lahan yang direhabilitasi tercatat Kabupaten Indragiri Hilir menjadi kabupaten terluas yang direhabilitasi 3.660 hektare, disusul Bengkalis seluas 1.400 hektare, Pelalawan 1309 hektare, Rokan Hilir 674 hektare, Kepulauan Meranti seluas 385 hektare, dan Dumai seluas 70 hektare.
Rehabilitasi mangrove selain di Riau, juga dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Kalimantan Utara.
"Rehabilitasi mangrove merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab pemulihan ekosistem mangrove, diharapkan kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar ekosistem mangrove dan juga menjadi ekosistem mangrove semakin lestari," katanya lagi.
Selain itu, kata Mamun Murod pula, program rehabilitasi mangrove selain menandai komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, juga memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat dan berkontribusi besar dalam mewujudkan Riau Hijau.
Percepat rehabilitasi hutan mangrove
Kerusakan mangrove
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Republik Indonesia mempercepat rehabilitasi hutan bakau di beberapa daerah yang tersebar di tujuh kabupaten dan kota yang di Provinsi Riau.
Kepala BRGM Hartono di Pekanbaru, Kamis, menyebutkan salah satu sumber pendanaan percepatan rehabilitasi mangrove ialah dukungan dana dari World Bank.
Di wilayah Riau sendiri ditargetkan seluas 6.300 hektare untuk percepatan rehabilitasi mangrove dengan dana sebesar Rp93 miliar.
"Dana ini tak hanya untuk penanaman, namun juga kegiatan pendukung lainnya seperti sosialisasi dan desa mandiri peduli mangrove," kata Hartono usai audiensi dengan Gubernur Riau.
Lanjutnya, agendanya menghadap Gubernur Riau ialah untuk melaporkan kepada seluruh Forkopimda tentang percepatan rehabilitasi mangrove tahun 2022.
"Kami berharap mendapatkan dukungan dari Pemerintah Provinsi Riau agar target yang kita kerjakan di 2023 dapat terealisasi dengan segera," sebutnya.
Sementara, BRGM telah membantu pembangunan mangrove di wilayah Riau. Ada 72 desa di tujuh daerah di Riau yang menjadi sasaran kegiatan ini yaitu di Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Pelalawan dan Siak.
Tetapi kembali disebutkan Marganda Simamora lagi, perlu adanya upaya menggalang gerakan secara masif untuk pemulihan hutan bakau (mangrove) di Tanah Air karena tidak cukup maksimal jika hanya dijalankan pihak pemerintah dari pusat hingga daerah.
"Model pemulihan hutan mangrove yang kita usulkan itu model gerakan yang digalang secara masif artinya jangan hanya pemerintah saja yang semangat sementara tidak ada dukungan dari stakeholder," katanya.
Menurutnya, kekayaan hutan mangrove di Indonesia merupakan yang tersebar di dunia dengan luas mencapai sekitar 3,4 juta hektare atau setara dengan 22,4 persen dari total luas hutan bakau dunia.
Marganda mengatakan, dengan potensi kekayaan mangrove yang besar, Indonesia berperan besar dalam memproduksi karbon, namun ekosistem hutan mangrove berada dalam kondisi kerusakan yang kritis.
"Karena itu model pemulihan hutan mangrove itu adalah model gerakan secara masif, ada partisipasi pemerintah, NGO, BUMN, masyarakat, dan lainnya," katanya.
Ia mengatakan, upaya pemulihan hutan mangrove melalui skema insentif seperti yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI melalui padat karya mangrove pada masa pandemi COVID-19 sudah cukup baik.
Skema tersebut, kata dia, tidak hanya berdampak pada pelestarian hutan mangrove namun juga memberikan pendapatan bagi warga di wilayah pesisir pantai.
Menurut dia, skema serupa masih relevan untuk dijalankan secara berkelanjutan, namun perlu ada kriteria yang disesuaikan dengan tingkat kerusakan ekosistem mangrove serta kondisi kemiskinan masyarakat di daerah-daerah.
Marganda mengatakan, meski demikian, program pemulihan hutan mangrove yang sudah berjalan juga perlu dievaluasi guna memastikan bibit-bibit bakau yang sudah ditanam dapat tumbuh dan bermanfaat.
"Jangan sampai yang sudah ditanam habis itu dibiarkan begitu saja tanpa pemeliharaan, sehingga banyak yang mati karena tidak dipantau atau dikawal," katanya.
Pemeliharaan, kata dia, perlu terus dilakukan dengan cara menjaga bibit mangrove yang ditanam bisa tumbuh, terhindar dari kerusakan akibat ombak laut, badai, dan sebagainya.
Ketua Umum Nasional Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) itu menambahkan, dalam hal ini, pemerintah daerah melalui dinas terkait bertanggung jawab untuk memastikan efektivitas bibit-bibit mangrove yang sudah ditanam sekaligus mengevaluasi program yang sudah berjalan sudah cocok atau tidak cocok untuk masyarakat.
Kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi mangrove
Mangrove jadi menghilang
Kawasan mangrove merupakan suatu ekosistem unik yang lingkungan hidupnya harus berada di area yang dipengaruhi pasang surut air laut yang berpengaruh terhadap pola sebaran mangrove hingga ke berbagai tempat.
Menurut Marganda Simamora, keunikan tersebut membuat kawasan mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi namun sangat rentan terhadap kerusakan akibat ulah manusia.
Kawasan mangrove memiliki peran penting sebagai sistem penyangga kehidupan.
Kawasan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi seperti menjadi tempat hidup berbagai flora fauna khas ekosistem mangrove, sebagai pemecah ombak, sebagai mitigasi dalam peningkatan muka air laut, dan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) dari udara.
"Pentingnya peran terhadap lingkungan dan banyaknya kerusakan yang telah terjadi membuat upaya rehabilitasi kawasan mangrove semakin perlu dilakukan dan ditingkatkan," kata dia.
Tingginya tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di Indonesia menyebabkan semakin sulitnya pengendalian terhadap kerusakan tersebut.
Menurutnya, dalam 30 tahun terakhir Indonesia kehilangan sekitar 40% luas hutan mangrove.
Rehabilitasi telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran ekosistem kawasan mangrove sebagaimana mestinya, "sayangnya, upaya rehabilitasi yang dilakukan pada kawasan mangrove seringkali menemui berbagai kendala," ungkapnya.
Menurutnya, kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan tetapi kurang memperhatikan hal – hal jangka panjang sehingga tanaman hasil rehabilitasi banyak yang mati. Kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi mangrove antara lain:
Hutan magrove terus terjamah
1. Kendala Sosial Ekonomi
Alih fungsi lahan: Semakin meningkatnya jumlah penduduk membuat kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Banyak kendala yang dihadapi seperti semakin sempitnya kawasan mangrove karena pembangunan tambak.
Seringkali pembangunan pemukiman maupun perluasan tambak tidak memperhatikan kondisi lahan dan tata letaknya terhadap kawasan mangrove.
Hal tersebut membuat rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan menjadi gagal karena daya dukung lahan untuk kehidupan mangrove semakin berkurang.
Maka dari itu, diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian mangrove seperti pengembangan tambak-tambak dengan model silvofishery dan penguatan regulasi tentang permukiman di kawasan mangrove.
Tekanan Penduduk Terhadap Lahan: Setelah rehabilitasi mangrove dilakukan, setidaknya diperlukan beberapa tahun hingga mangrove bisa memberikan manfaat dari sumber daya di dalamnya. Adanya tekanan penduduk terhadap ekosistem mangrove terkait sumber daya mangrove yang belum waktunya dapat mengurangi keberhasilan rehabilitasi.
Hal ini seringkali diindikasikan dengan dilakukannya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) mangrove yang belum waktunya atau melebihi kemampuan ekosistem mangrove dalam menyediakan SDA tersebut. Diperlukan pembuatan regulasi yang tegas dan pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan untuk mempertahankan ekosistem mangrove.
Sumber Daya Manusia dan Partisipasi Masyarakat: Partisipasi masyarakat berperan penting dalam pelestarian hutan mangrove sebagai sarana pengurangan resiko bencana serta pelaksana kegiatan rehabilitasi.
Sumber daya manusia (SDM) dan peran masyarakat sekitar dalam upaya rehabilitasi mangrove dibutuhkan dalam rangka membangun, menjaga, dan mengelola kawasan mangrove tersebut.
Diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan sumber daya manusia dan partisipasi masyarakat.
Hal ini dilakukan mengingat proses rehabilitasi relatif lama, sehingga tersedianya SDM yang mumpuni dan partisipasi masyarakat yang aktif dapat memperbesar peluang keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan.
2. Kendala Kondisi Biofisik Lahan
Perubahan Kondisi Ekosistem Mangrove: Perubahan pada ekosistem mangrove dapat menghambat terjadinya regenerasi alami di hutan mangrove.
Perubahan kondisi ekosistem mangrove seringkali disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti tambak udang yang terlantar, lahan yang gundul karena penebangan, atau hutan mangrove yang kering akibat adanya perubahan hidrologi sebagai dampak dari pembuatan tanggul, jalan dan pembabatan hutan di hulu sungai.
Perubahan kondisi ekosistem mangrove tersebut dapat menyebabkan berbagai tekanan seperti, kurangnya air tanah, terhambatnya pertukaran air pasang/surut, tingginya kadar garam atau sulfat tanah, penggembalaan ternak, serta abrasi garis pantai dan penurunan ketinggian substrat.
Sangat penting untuk menemukan penyebab perubahan kondisi ekosistem mangrove kemudian membuat rancangan perbaikan agar dapat mengembalikan ekosistem mangrove seperti semula.
Salinitas Terlalu Tinggi: Apabila akan melakukan rehabilitasi mangrove maka harus diketahui dahulu berapa salinitas atau kadar garam dari tempat tumbuhnya.
Menurutnya di wilayah wilayah kantong mangrove pada kadar salinitas berbeda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan mangrove di wilayah tersebut.
Apabila salinitas terlalu tinggi maka pertumbuhan mangrove akan terhambat. Hal itu terjadi karena kadar garam berpengaruh dalam menentukan seberapa besar jumlah komponen biotik yang mendukung pertumbuhan mangrove dan juga keberhasilan metabolisme sel-sel makhluk hidup.
Maka dari itu, diperlukan pemilihan zona yang tepat dengan kadar salinitas tidak terlalu tinggi untuk melakukan rehabilitasi mangrove serta penggunaan spesies sesuai zonasi yang dapat mentoleransi salinitas tertentu agar upaya rehabilitasi berhasil.
Suhu Terlalu Tinggi: Rehabilitasi mangrove juga harus mempertimbangkan suhu udara dan perairan dimana mangrove tersebut akan ditanam. Suhu perairan yang terlalu tinggi juga berpengaruh sangat signifikan pada saat awal penanaman.
Suhu tinggi dapat menghambat proses fisiologis tumbuhan. Ketika suhu perairan tinggi, bibit yang ditanam kemungkinan besar tidak mampu tumbuh dengan baik. Hal itu disebabkan oleh kemampuan fotosintesis dan produksi daun menjadi menurun, pertumbuhan struktur akar yang tidak maksimal.
Ketebalan Lumpur: Meningkatnya jumlah sedimentasi di kawasan mangrove dari sungai-sungai yang telah terhambat di sekitarnya membuat habitat tersebut menjadi kurang sesuai untuk tempat tumbuh mangrove.
Kandungan oksigen terlarut di dalam lumpur akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Apabila lumpur terlalu tebal maka oksigen yang tersedia bagi perakaran mangrove akan makin berkurang. Maka, penting untuk diketahui spesies yang dapat dikembangkan pada zona dengan ketebalan lumpur tertentu.
Kedalaman dan Frekuensi Genangan: Kedalaman dan frekuensi genangan dipengaruhi oleh topografi dan kemiringan hutan mangrove. Setiap spesies tanaman mangrove memiliki kesesuaian kedalaman dan frekuensi genangan yang berbeda-beda.
Sehingga perlu dilakukan pengukuran ketinggian substrat di areal mangrove yang masih bagus kondisinya untuk menentukan spesies mangrove yang sesuai pada setiap kedalamannya.
PH Tinggi: Ketika kadar garam pada tempat tumbuh mangrove meningkat maka hal itu membuat pH tanah nya semakin meningkat. pH tanah yang terlalu tinggi membuat mangrove tidak akan tumbuh dengan baik bahkan bisa mengalami kematian.
Kadar amonia yang beracun terlarut dalam bentuk NH4 juga akan meningkat seiring meningkatnya pH, dan suhu. (*)
Tags : Yayasan Sahabat Alam Rimba, SALAMBA Sorot Mangrove Indonesia, Mangrove Riau Banyak Alami Kerusakan, Perlu Galang Gerakan Masif untuk Pemulihan Mangrove, Sorotan, riaupagi.com ,