Mantan Direktur PT Bumi Siak Pusako (BSP) Nawasir Kadir kelihatannya tak pernah surut untuk mengemukakan adanya dugaan penipuan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan pejabat di Riau terjadi ditubuh perusahaan daerah minyak dan gas (Migas) yang kini sudah menjadi BUMD PT Bumi Siak Pusako.
khir-akhir ini menyeruak isu tak sedap adanya dugaan penipuan korupsi dan pencucian uang masa itu PT Bumi Siak Pusako (BSP) masih berstatus Perusahaan Daerah Sarana Pembangunan Siak (PD SPS) yang melibatkan mantan Bupati Siak masa di jabat Arwin AS.
Usai terselenggaranya deklarasi jaringan relawan Anies Bawesdan bertempat di 'Oma Joglo Resto' dibilangan Jalan Arifin Achmad, Pekanbaru, terlihat Nawasir Kadir hadir menyaksikan deklarasi calon Presiden 2024-2029.
Nawasir Kadir ditemui kembali menegaskan soal adanya dugaan praktik penipuan korupsi dan pencucian uang Rp210 miliar terjadi yang dahulunya PD SPS Bumi Siak Pusako kini sudah berganti bendera menjadi BUMD PT Bumi Siak Pusako (PT BSP).
"Jadi gak benar lah seperti apa yang disebutkan mantan Bupati Siak Arwin AS didepan Ketua Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD I KNPI) Riau membantah adanya dugaan penipuan korupsi dan pencucian uang itu," kata Nawasir Kadir di depan Koordinator Indonesian Corruption Investigation (ICI), H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris yang ikut hadir pada Minggu (2/10/2022) tadi.
Sedangkan Koordinator ICI, H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris membenarkan terkait hal ini agenda pemberantasan korupsi tahun ini tidak mencatat banyak kemajuan.
Tetapi Nawasir Kadir kembali menekankan pengakuan dan ucapan mantan Bupati Siak Arwin AS itu dinilai bohong.
Semua dugaan penipuan korupsi dan pencucian uang ditubuh BSP melibatkan mantan Bupati Siak, menurutnya sudah jelas mengarah pada satu-satunya pelaku saat itu yaitu Arwin AS.
"Saya dikirimi artikel oleh Larshen Yunus yang mengaku ketua KNPI Riau tentang pertemuannya dengan Arwin AS."
"Sebelumnya Yunus beberapa kali menghubungi saya mau jumpa, awalnya saya setuju tetapi kemudian saya batalkan setelah saya lihat orang ini sepertinya kurang jujur, mau cari panggung atau mengail di air keruh," kata Nawasir yang sebelumnya telah dimuat pada situs media sosial facebook, Sabtu 24 September 2022 yang kembali di sharenya ke media ini.
"Di artikel itu Arwin pada pokoknya membantah pernyataan saya tentang dugaan penipuan setoran modal dasar Pemkab Siak Rp210 milyar ke PT BSP."
"Arwin hanya mengakui setoran yang tertera dalam akta sejumlah Rp5 milyar," katanya.
Tetapi yang ditanyakan Nawasir, kalau Arwin menilai (Rp210 milyar-red) dimaksud untuk pengelolaan migas 100% oleh BSP, apa maksud pernyataan Arwin itu?
Apa kaitan saham fiktif Rp210 milyar dengan pengelolaan migas blok CPP 100%?
"Tidak usah Arwin banyak berdusta, dalam Akta No. 2/2002 perubahan anggaran dasar PT BSP, jelas tercantum setoran saham Rp210 milyar Pemkab Siak. Akta tersebut diduga awal terjadinya penyimpangan, penipuan dan korupsi oleh Arwin dkk," tegas Nawasir.
Padahal menurut Nawasir, tidak ada keharusan setor Rp210 milyar untuk kelola 100% blok CPP.
"Saya yang memimpin Tim Negosiasi Blok CPP Riau bekerjasama dengan Tim Task Force Pertamina menyelesaikan semua agenda alih kelola dan operasional blok CPP dan dilaporkan kepada Dirjen Migas," ungkapnya.
"Tim kami juga mempersiapkan dasar hukum, kelembagaan, man-power dan inventarisasi asset yang jumlahnya ribuan diserahterimakan oleh PT Caltex Pacific Indonesia (CPI)," kata Nawasir
Sebagai dasar kerja sama dengan Pertamina serta operasionalnya, Nawasir mengaku telah menyelesaikan pembuatan Joint Management Agreement (JMA), Joint Operating Agreement (JOA) dan terbentuknya Komite Manajemen Bersama (KMB) atau JMC dan Badan Operasi Bersama PT BSP-Pertamina Hulu (BOBCPP).
"Alhamdulillah, tanggal 8 Agustus 2002 Blok CPP dapat diambil alih 100% dari PT CPI," kata dia.
Harusnya Arwin berterima kasih dan mengapresiasi bahwa dari awal blok CPP adalah buah perjuangan semua masyarakat Riau, di daerah dan di pusat (Jakarta).
Surat Dirjen Migas juga menyebutkan blok CPP pasca PT. CPI diserahkan pengelolaannya kepada Pertamina dan Pemprov Riau dengan melibatkan Kabupaten Siak.
Ini dapat diartikan Pemerintah Provinsi Riau lebih dominan dan besar kepemilikan sahamnya, sedangkan Pemkab Siak hanya dilibatkan atau lebih kecil kepemilikan sahamnya. Tetapi itu dibalik oleh Arwin, M Syafei Yusuf dan Azaly Djohan, secara menipu pula (?).
Menurutnya, lebih ngawur lagi Arwin AS mengaku memperjuangkan saya jadi Dirut PT BSP dan termasuk gaji pensiun (?)
"Hahaha..apa yang dikatakannya itu lagi-lagi bohong, saya baru tahu ini bahwa ada uang pensiunan untuk dirut. Tetapi yang terang saja saya belum pernah menerima gaji sebagai dirut dan uang pensiuan dari PT BSP," kata Nawasir.
"Arwin bukannya memperjuangkan saya, sebaliknya dia bersekongkol dengan M Syafei Yusuf dan Azaly Djohan sewenang-wenang (abuse of power) secara 'menyimpang' dari aturan (tanpa RUPS) memberhentikan saya jadi Dirut PT BSP," diakuinya.
Kemudian mengangkat Azaly Djohan sebagai direktur dan dirinya (Arwins-red) sendiri sebagai komisaris utama PT BSP dan M Syafei Yusuf sebagai komisaris.
"Tentu saya menolak diperlakukan dan diberhentikan secara dzalim. Beberapa kawan kawan bilang mungkin Arwin AS, Syafei Yusuf dan Azaly Djohan mendzalimi saya disebabkan saya adalah orang yang sulit diatur menurut kehendak mereka-mereka itu."
"Maaf ya, sebelum saya kenal dan tanpa harus ditolong Arwin, maupun Azaly dkk di Jakarta saya sudah punya kedudukan/penghasilan lumayan di perusahaan minyak Amerika yang besar," sebutnya.
"Saya ikhlas datang ke Riau tahun 2001 ketika ditunjuk menjadi wakil ketua II Tim Negosiasi Blok CPP yang ditanda tangani Gubri Saleh Djasit," diakui Nawasir.
Sebelum itu, pada tahun 2000 saya sebagai Sekjen Persatuan Keluarga Besar Masyarakat Riau Jakarta (PKBMRJ) ditugasi Ketum PKBMRJ (Pak Masfar Ismail alm) menemani Pak Saleh Djasit ke istana bertemu Marsilam Simanjuntak (Mensesneg, era presiden Gus Dur) mohon agar Gus Dur mempercayai pengelolaan blok CPP kepada Pemprop Riau.
Beberapa bulan kemudian Nawasir ke Riau dan menyempatkan ke Siak, mau bertemu bupati T. Rafian (waktu itu-red) tetapi beliau tidak berada di tempat dan saya ditemukan dengan Arwin AS yang masih sebagai Sekda, "kami mendiskusikan Blok CPP yang dominan hasil minyaknya di Siak," tegasnya.
"Saya mau ditempatkan di BOBCPP karena saya orang yang ikut memimpin pembentukan BOBCPP menyadari ditahap awal sulit mendapatkan pekerja para professional perminyakan."
"Tentu tidak bijak kalau saya tinggalkan begitu saja. Blok CPP asset strategis negara dan kebanggaan daerah Riau. Selain itu saya juga menunggu realisasi janji akan menyelesaikan secara musyawarah kekeluargaan pemberhentian saya sebagai Dirut PT BSP," kenangnya.
Bekerja di BOBCPP gaji dan remunerasi sepenuhnya masuk dalam lifting cost yang dibayar (diganti/cost recovery) oleh SKK-Migas. Tidak ada uang PT BSP atau Pertamina yang menggaji.
Yang mesti dipertanyakan adalah Arwin AS ketika menjabat Bupati Siak menjadi Komisaris Utama PT BSP, juga selama kurang lebih 7 tahun menjadi anggota JMC BOBCPP bergaji milyaran rupiah per tahun dan berbagai remunerasi.
"Itu sepenuhnya dibebankan kepada SKK-Migas (cost recovery)."
Padahal menurut UU No. 22/1999 tentang Pemda Arwin (bupati saat itu) TERLARANG turut serta dalam perusahaan/ yayasan bidang apapun dan karena itu patut diduga Arwin telah melakukan perbuatan korupsi dan pencucian uang. Aparat hukum sebenarnya tidak sulit mengusutnya.
Tahun 2003 Azaly dan Ramlan Comel dibantu Said Chaidir ketahuan menggelapkan (korupsi) dana PT BSP. Akibatnya kasus korupsi Azaly dan Ramlan yang diputus hukuman 2 tahun penjara di PN Pekanbaru.
Walau kemudian diputus bebas oleh MA, Azaly Djohan dan Ramlan Comel diberhentikan sebagai direktur PT BSP dan JMC BOBCPP. Kita tahu Ramlan Comel wafat di penjara Sukamiskin Bandung sebagai napi koruptor.
"Adanya kasus korupsi di atas, membuat Arwin (bupati Siak) dan Azaly pecah kongsi; Justru almarhum Prof Tabrani (Ongah kita) dan saya beri dukungan kepada Arwin."
"Kami berdua melakukan road show menemui para bupati daerah daerah yang diliputi blok CPP dan mengundang mereka bertemu di Dumai dan membuat kesepakatan penyertaan daerah daerah itu ke PT BSP," kata dia.
Tetapi Arwin alih-alih memperjuangkan saya, "hehe yang diangkatnya menjadi Dirut adalah Dr. Jusmady Jusuf pegawai negeri golongan tiga di Badan Geologi Bandung yang diikut sertakan sebagai staf ahli Tim Negosiasi Blok CPP Riau dengan peran nyaris nol dalam alih kelola blok CPP dan sama sekali tidak punya pengalaman dalam industri perminyakan."
"Semua dugaan penimpangan ini sudah saya ungkap di tahun 2007 dalam wawancara di radio Mandiri FM. Akibatnya saya diberhentikan dari BOBCPP oleh Jusmadi, Arwin dan Azaly Djohan," kenang Nawasir.
"Mungkin Jusmadi memang ingin saya diberhentikan karena kalau saya kembali ke PT BSP."
"Kedudukan Jusmadi terancam tergeser oleh saya (?). Padahal sejak jadi direktur PT BSP itulah dia baru bisa dan hoby golf. Kan hobi itu akan terhenti kalau dia dipulangkan ke Bandung sebagai pegawai negeri dan tak dapat pula uang pensiun PT BSP (?)," kata Nawasir sambil tertawa.
Almarhum Prof Tabrani (Ongah kita) orang pertama yang kecewa dan marah dengan pemberhentian saya dari BOBCPP tersebut. Ongah langsung membuat laporan dugaan pidana korupsi PT BSP ke Polda Riau.
Tetapi Jusmadi membuat laporan balik dengan mengatakan Ongah Tabrani memakai kop surat PT BSP tanpa izin. Padahal tahun 2003 Ongah dalam pertemuan para bupati wilayah blok CPP di Dumai jelas diusulkan menjadi komisaris PT. BSP.
Kisah lain pemberhentian dzalim/semena-mena dan norak juga dialami seorang manajer BOBCPP oleh Jusmadi, ketahuan memakai dasi dalam acara resmi. Sementara Jusmadi yang juga hadir tidak berdasi dan dia marah-marah.
Sebelumnya ada General Manager BOBCPP berasal dari PT CPI berkualifikasi/reputasi sangat bagus disegani sesama koleganya, diberhentikan oleh Arwin hanya melalui pesan SMS.
Hal yang lebih menyedihkan dan merusak adalah dugaan PT BSP sarang KKN (nepotisme) keluarga/kerabat Arwin, Azaly, Jusmadi dan Syamsuar.
Jadi ini terpulang pada Pemprop, Pemkab/ Pemkot dan masyarakat Riau apakah mau ada perbaikan dan reformasi di tubuh PT BSP itu, saran Nawasir.
Mantan Bupati Siak Arwin AS membantahnya
Tetapi sebelumnya, Mantan Bupati Siak Arwin AS dalam bincang-bincangnya dengan Ketua DPD I KNPI Riau Larshen Yunus di restoran Kongji Jalan Arifin Achmad Pekanbaru, Minggu 18 September 2022 sore telah membantahya.
Arwin AS yang datang ke restorand Kongji sore itu dengan mengendarai mobil laxus berwarna putih menyikapi santai atas tudingan yang dialamatkan padanya.
"Itu tidaklah benar," kata Arwin singkat mengawali pembicaraan.
Adanya mantan Direktur PT Bumi Siak Pusako (BSP), Nawasir Kadir telah mengeluarkan pernyataannya yang dimuat media tanggal 9 September 2022 menyatakan, banyak kerentanan di badan PD SPS BSP yang tidak terungkap seperti adanya dugaan praktik penipuan korupsi dan pencucian uang yang berujung pada aksi penjabat Bupati Siak Arwin AS bersama PD yang dipimpin M Syafei Yusuf.
Menyikapi ini Larshen Yunus berkesimpulan persoalan adanya dugaan praktik penipuan korupsi dan pencucian uang di tubuh PD SPS BSP harus ada pembuktian.
Larshen juga sebelumnya telah menghubungi Nawasir Kadir melalui ponselnya, kalau keduanya akan bertemu untuk menunjukkan beberapa data dan pembuktian dalam persoalan ditubuh bendera PD SPS BSP.
Ia berpendapat permasalahan ini tidak mudah untuk dapat dipercaya begitu saja, "harus ada pembuktian dan data," kata Larshen yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP KNPI Bidang Minyak dan Gas Bumi ini.
Sebelumnya, Nawasir menceritakan yang telah dimuat oleh beberapa media online belakangan ini, bahwa ketika blok CPP setelah kontrak PT CPI 2002 dijanjikan oleh pemerintah melalui Dirjen Migas RI akan diberikan kepada Pertamina dan Pemerintah Provinsi Riau dengan melibatkan Kabupaten Siak.
Masa Gubernur Riau dijabat H Saleh Djasit membentuk Tim Negosiasi Blok CPP Riau, yang antara lain terdiri dari Azaly Djohan sebagai ketua, Nawasir Kadir sebagai wakil ketua II dan Ramlan Comel sebagai sekretaris.
"Pada saat itu, saya adalah satu-satunya anggota grup dengan latar belakang perminyakan," cerita Nawasir.
"Saya diminta memimpin Tim blok CPP Riau untuk berkoordinasi dengan task force Pertamina untuk melakukan negosiasi dengan PT CPI dan mempersiapkan serah terima pengelolaan blok CPP. Kemudian Tim merekomendasikan agar Pemprov Riau menyiapkan/membentuk perusahaan / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan mengelola blok CPP,” jelas Nawasir.
Merespon rekomendasi tim tersebut Pemkab Siak diwakili Arwin AS (Bupati Siak saat itu) dan PD Sarana Pembangunan Siak (PD SPS) diwakili oleh Syafei Yusuf, bertemu dengan Notaris Asman Yunus di Pekanbaru untuk mendirikan PT Bumi Siak Pusako (PT BSP/BUMD), dengan modal dasar Rp 5 miliar, dimana Nawasir Kadir ditunjuk sebagai Dirut, Ramlan Comel (Direktur Umum), A Kadir Saleh (Direktur Eksplorasi dan Produksi) dan Azaly Djohan (Komisaris). Dengan Nomor Akta Pendirian PT BSP No. 41 tanggal 17 Oktober 2001.
Namun pada tanggal 1 April 2002, Arwin AS dan M.Syafei Yusuf kembali menemui Notaris Asman Yunus untuk mengubah anggaran dasar perseroan hanya berdasarkan risalah rapat dibawah tangan bukan berdasarkan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagaimana seharusnya menurut aturan yang berlaku dalam Akta Pendirian PT BSP No.41/2001 dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang perseroan terbatas yang berlaku saat itu.
Perubahan/revisi anggaran dasar perseroan tersebut dibuat di dalam Akta Nomor 2 /2022 dengan Notaris Asman Yunus.
"Dari sinilah dugaan berbagai penyimpangan, penipuan dan korupsi dimulai,” katanya.
“Modal dasar dinaikkan menjadi Rp.300 miliar dan Pemkab Siak disebutkan telah menyetor 70% nya atau Rp. 210 miliar."
"Ini mengejutkan saya karena sebagai direktur utama saat itu tidak tahu bahwa ada setoran dari Pemda kepada PT BSP. Jika memang setoran itu ada, mana bukti setornya dan disetor kemana? Saya cek dalam APBD Kabupaten Siak tahun 2001-2005 juga tidak ditemukan adanya dana Rp. 210 milyar yang dianggarkan untuk penyertaan modal/saham Pemda Siak ke PT BSP," diakui Nawasir.
Tetapi Arwin AS dalam kesempatan bertemu dengan Ketua DPD I KNPI Riau sore tadi mengaku, dana Rp210 miliar itu sebenarnya tidak ada.
"Dana Rp210 miliar itu tidak ada, ini dimaksud untuk mengejar pengelolaan migas 100 persen oleh BSP," kata Arwin.
"Kalau yang Rp5 miliar untuk sebagai penyertaan modal memang benar sudah dilakukan pada akta notaris," diakui Arwin.
Hanya saja Arwin menyesalkan sikap Nawazir yang mengemukakan persoalan ini ke publik, "pada hal Ia (Nawazir) sudah kita perjuangkan duduk sebagai direktur utama bahkan sampai dana pensiunnya," sebutnya.
"Saya sebenarnya tak menjadi masalah hal ini di ungkap, karena tak ada indikasi korupsi atau pencucian uang seperti Ia (Nawasir) sangkakan," kata Arwin menyikapi.
Tetapi Nawasir kembali menduga setoran Rp210 milyar yang dimaksud fiktif yang ditengarai sengaja dilakukan oleh Arwin AS dan Syafei Yusuf untuk menyulitkan Pemprov Riau dan Pemkab/Pemko di Riau lainnya untuk ikut masuk/memiliki saham di PT BSP, karena besarnya dana yang harus disetor.
Sisa 30 % saham atau modal dasar 90 miliar kemudian dibagi-bagi kepada pemerintah daerah lainnya di Provinsi Riau tetapi diminta harus menyetor dana secara riil.
Kabarnya Pemprov Riau dapat saham 15 % dengan menyetor Rp. 45 milliar, Pemkab Kampar dapat saham 3% dengan menyetor Rp.15 milliar.
"Bahkan ada Pemkab yang hanya dapat saham 1 - 2 % dengan menyetor dana yang lebih kecil. Ini sungguh penipuan oleh Arwin AS dengan keuntungan yang sangat besar. Selain itu juga tanpa RUPS tetapi sengaja 'menyimpang' dari peraturan yang berlaku susunan pengurus perseroan dirubah," cerita Nawasir.
Azaly Johan ditunjuk sebagai direktur ( satu - satunya direksi ). Arwin AS ( Bupati Siak) sebagai komisaris utama dan M. Syafii Yusuf sebagai komisaris.
"Nama saya (Nawasir) sebagai direktur utama dan direksi lainnya diberhentikan dari susunan pengurus perseroan," kata dia.
Menurutnya, ini bertentangan dengan anggaran dasar yang tercantum dalam Akta No.41 pendirian PT. BSP dan juga bertentangan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995 yang berlaku saat itu, yang pada intinya mengharuskan RUPS (rapat umum pemegang saham) untuk pengangkatan dan pemberhentian direksi (pasal 80 ) serta pengangkatan komisaris (pasal - 95),” ujarnya.
Susunan pengurus yang baru tersebut yang menunjuk Arwin AS, (Bupati Siak) saat itu sebagai komisaris utama juga bertentangan dengan aturan dalam Undang Undang No. 22 tentang pemerintahan daerah yang pada pokoknya menyebutkan kepala daerah tidak boleh ikut serta dalam perusahaan swasta/BUMD atau yayasan bidang apapun
"Saya beranggapan penunjukan Azaly Djohan menjadi direktur tersebut hanya tambahan anggota direksi PT BSP sedangkan direktur utama tetap pada saya, jadi saya tetap fokus pada tugas memimpin tim untuk negosiasi dan persiapan alih kelola blok CPP," kata Nawasir.
"Tetapi kemudian saya kehilangan kendali terhadap PT BSP yang beralih sepenuhnya dikendalikan Arwin AS, Syafei Yusuf dan Azaly Djohan."
"Saya sadar sudah diberhentikan sebagai direktur utama PT BSP. Saya langsung menolak pemberhentian saya sebagai direktur utama PT BSP tersebut. Sebagai bentuk protes saya membuat surat pengunduran diri dari tim negosiasi blok CPP Riau," sebutnya.
Tetapi Azaly Djohan, Arwin AS dan M Syafei Yusuf seperti panik dan ketakutan dengan kemunduran saya dari Tim Negosiasi.
Mereka takut alih kelola blok CPP gagal.
"Mereka membujuk saya untuk tidak mundur serta menjanjikan akan menyelesaikan segala persoalan saya dengan PT BSP secara musyawarah/kekeluargaan. Mereka ingin jangan sampai diketahui pihak luar apalagi pers, " ungkap Nawasir.
Arwin pada masa itu juga menjabat sebagai Komut PT BSP dan anggota Komite Manejmen Bersama (JMC) di Badan Operasi Bersama PT BSP-Pertamina Hulu hingga tahun 2009 dengan menerima gaji milliaran pertahunnya dan berbagai fasilitas lain yang melekat di jabatan tersebut.
Semua itu termasuk biaya-biaya yang ditanggung SKK Migas (Cost recovery). "Ini diduga bagian dari korupsi uang negara."
Lalu mengapa setelah 20 tahun baru diungkap?
"Saya mengetahui Arwin dkk (pemkab Siak) diduga menipu yang merugikan masyarakat Riau dan korupsi merugikan keuangan negara (SKK Migas)," jawab Nawasir.
"Peristiwa ini sebenarnya sudah sejak lama ingin saya buka bahwa ada dugaan pidana tersebut. Diantaranya pada tahun 2007 dalam wawancara dengan salah satu radio swasta (Mandiri FM) saya beberkan dugaan penipuan dan korupsi Arwin dkk (pemkab Siak )," ungkapnya.
"Akibatnya saya diberhentikan oleh Arwin dan Azaly (JMC BOB) dan Jusmadi Jusuf (direktur pt bsp) dari BOB CPP. Sampai sekarang saya gugat di PN perbuatan melawan hukum Arwin dkk yang ada dalam Akta No.2/2002 Perubahan anggaran dasar PT. BSP di atas," sebut Nawasir.
Jadi ditubuh PT BSP yang baru saja dipercaya mengelola blok minyak CPP secara penuh oleh pemerintah pusat ini menurut Nawazir ada hal yang negatif yang mesti diungkap, namun versi Arwin AS menyikapinya sore tadi bahwa semua harus ada pembuktian.
"Masa itu pengelolaan dan pendirian perusahaan daerah (BSP) dalam hal minyak dan gas (Migas) untuk mandiri sangat sulit. Hasilnya, pengelolaan migas dilakukan oleh Badan Operasi Bersama (BOB-PT BSP Pertamina Hulu). Kita harus berjuang untuk kepentingan dan pemasukan pendapatan daerah yang lebih memadai. Bahkan sumber daya manusia kita khususnya dibidang migas untuk dapat mengelola hasil bumi sendiri juga masih kendala," tutupnya.
'Pemberantasan korupsi mengendur'
Menyikpai ini Koordinator Investigation Corruption Indonesian (ICI) . Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris menilai agenda pemberantasan korupsi tahun ini tidak mencatat banyak kemajuan.
Hari Anti-Korupsi Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Desember, ICI bersama sejumlah LSM anti-korupsi lainnya masih menilai masih terjadi topeng wajah sejumlah koruptor tetapi untuk membangun kesadaran publik dan mengajak masyarakat bersama-sama melawan korupsi sepertinya masih sangat riskan.
"Korupsi di Indonesia sudah dari A sampai Z, karena para koruptor juga dari berasal dari latar belakang yang beragam. Ada penegak hukumnya, ada pengusaha, ada politisi dan seterusnya. Itu mencerminkan betapa beragamnya pelaku korupsi di Indonesia dan ini yang harus kita lawan," jelas Darmawi.
Ia tetap mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi yang serius di tubuh aparat penegak hukum dan membersihkan lembaga politik yang kotor sehingga pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan baik.
"Agenda pemberantasan korupsi pada tahun ini tidak banyak mengalami perubahan. Ini disebabkan pemerintah hanya lebih banyak menyampaikan pernyataan mengenai pemberantasan korupsi daripada aksi-aksi yang nyata," kata dia.
Tetapi menurutnya, justru lebih banyak upaya pemberantasan korupsi setahun yang lalu. "Kalau diukur sekarang seperti pencitraan saja. Jadi, inilah yang berbahaya, korupsi dijadikan pencitraan," kata Darmawi.
Menurutnya penindakan yang dilakukan KPK terhadap mereka yang diduga melakukan korupsi masih kurang. Seperti apa yang disampaikan Nawasir Kadir; adanya dugaan penipuan korupsi dan pencucian uang masa itu PT Bumi Siak Pusako (BSP) masih berstatus Perusahaan Daerah Sarana Pembangunan Siak (PD SPS).
"Kalau pemberantasan kita bicara soal koruptor aktual, pencegahan adalah koruptor potensial, dia mencegah koruptor yang akan datang. Makanya dua-duanya harus dilakukan," ungkapnya.
Jadi lembaganya masih bersikap bahwa keadaan sekarang menunjukan kepercayaan publik atas komitmen pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian masih jauh menurun dari angka 83 persen menjadi 34 persen. (*)
Tags : Dugaan Korupsi dan Pencucian Uang, PT BumiSiak Pusako, BSP Disorot, Upaya Pemberantasan Korupsi Sudah Mengendur,