Traveling   2022/08/01 15:11 WIB

Masa Terburuk Pandemi Telah Berlalu, 'Tapi Mau Liburan Naik Pesawat, Pilotnya Tidak Ada’

Masa Terburuk Pandemi Telah Berlalu, 'Tapi Mau Liburan Naik Pesawat, Pilotnya Tidak Ada’

SETELAH dua tahun pandemi Covid-19, sepertinya masa terburuk telah berlalu. Pesawat-pesawat di seluruh dunia kembali beroperasi musim panas ini, mengangkut jutaan orang yang hendak berlibur ke beragam destinasi.

Maskapai-maskapai penerbangan, salah satu jenis usaha yang paling terdampak akibat lockdown terkait Covid sehingga harus mengandangkan pesawat dan merumahkan banyak karyawan, bangkit dari keterpurukan. Bahkan, beberapa maskapai mencatat profit untuk pertama kalinya sejak 2019.

Akan tetapi, krisis baru sedang mengintai.

Seiring datangnya musim panas, jumlah pesawat tidak bisa menandingi volume penumpang sehingga banyak maskapai harus membatalkan penerbangan. Ribuan pelancong terlantar di bandara selama beberapa hari dan sebagian tidak menerima bagasi selama berminggu-minggu.

Di tengah raibnya koper-koper dan keterbatasan jumlah pesawat, keadaan diperparah oleh kekurangan pilot. Sedemikian parah krisis ini, sampai-sampai sejumlah bandara di dunia, termasuk Heathrow di London, meminta maskapai mengurangi jumlah penerbangan.

Ada istilah untuk kondisi ini, yaitu ‘kiamat perjalanan’. 

Ancaman terbesar

Bagi banyak analis dan pelaku industri penerbangan, ini adalah tantangan paling serius. Bayangkan ketika seseorang hendak berlibur dan sudah memesan tiket pesawat, tapi penerbangan dibatalkan karena tidak ada pilot.

“Kekurangan pilot adalah ancaman terbesar bagi industri penerbangan sejauh ini sejak kejadian 9/11 (11 September 2001),” kata Jonathan Ornstein selaku CEO Mesa Air Group di hadapan para anggota Kongres AS baru-baru ini.

Meski kekurangan pilot dirasakan banyak maskapai di seluruh dunia, Amerika Serikat adalah yang paling terdampak.

Maskapai-maskapai besar di AS telah mengumumkan rencana untuk merekrut antara 12.000 sampai 13.000 pilot tahun ini dan 2023, kemudian tambahan 8.000 pilot pada 2024.

Sejumlah maskapai bahkan harus memodifikasi kriteria perekrutan pilot atau bahkan mencari pilot di negara lain, seperti Frontier Airlines yang membuka lowongan pilot di Australia.

Tapi apa yang menyebabkan kondisi ini?

Krisis panjang

Stuart Fox , selaku direktur operasi teknis dan penerbangan dari Asosiasi Transportasi Udara Internasional  (IATA), menjelaskan kepada BBC Mundo.

Menurutnya, kekurangan pilot saat ini sejatinya telah menunjukkan gejala sebelum pandemi.

“Defisit pilot sudah diprediksi dari jauh hari, mengingat peningkatan jumlah penumpang dan kemungkinan peningkatan pilot yang pensiun di masa mendatang,” paparnya.

Pada 2016, Boeing mengestimasi bahwa industri penerbangan dunia akan memerlukan 679.000 pilot baru pada 2035 mendatang. Adapun Airbus memprediksi bahwa setengah juta pilot akan diperlukan pada periode yang sama.

Tapi, menurut Fox, pandemi Covid-19 mempercepat krisis itu.

“Jelas penyebab krisis saat ini adalah pandemi dan, akibat peningkatan permintaan, semakin banyak pilot diperlukan,” tutur Fox, yang menilai situasi sekarang adalah masalah “jangka pendek”.

“Mengingat pandemi penuh ketidakpastian, maskapai-maskapai harus menerapkan sejumlah program seperti menawarkan pensiun dini kepada pilot-pilot atau pengurangan personel. Itu menyebabkan permintaan jangka pendek yang kita saksikan sekarang. Pada dasarnya ini disebabkan krisis Covid,” papar Fox.

Meskipun situasi ini utamanya terjadi di AS, banyak negara mengalami keadaan serupa.

Sebagai gambaran, data Federasi Pilot Udara Australia memperlihatkan sekitar 23% anggotanya dirumahkan selama pandemi.

Persaingan mahal

Selama bertahun-tahun, maskapai-maskapai besar di dunia, terutama di Timur Tengah dan Asia, mengembangkan persaingan sengit dalam merekrut pilot. Maskapai-maskapai tersebut menawarkan insentif menggiurkan agar pilot-pilot mau bergabung dengan mereka.

Maskapai besar juga merekrut pilot dari maskapai kecil sehingga banyak maskapai yang beroperasi di ranah domestik terdampak paling keras.

Terlepas dari pandemi, untuk bisa menerbangkan pesawat di sebagian negara sangat rumit dan juga sangat mahal. Pelatihan pilot selama kurang dari setahun demi mendapatkan izin dasar bisa menghabiskan lebih dari US$90.000. Itulah yang membuat hanya sedikit orang bisa menjalani profesi pilot.

Di beberapa negara, seperti AS, sumber perekrutan pilot bisa dibilang mengering. Pilot militer, misalnya, semakin sedikit karena penggunaan drone menyebabkan jumlah personel yang mendapat pelatihan sebagai pilot menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir, menurut data resmi.

Kondisi ini membuat jumlah pilot yang direkrut sulit menandingi jumlah pilot yang pensiun. Di AS saja, lebih dari 13% pilot akan mencapai usia pensiun dalam lima tahun, berdasarkan data Asosiasi Pilot Regional.

Langkah drastis

Di seluruh dunia, maskapai-maskapai berusaha mencari cara untuk menangani situasi ini.

“Maskapai-maskapai telah berusaha menangani dalam banyak cara, termasuk menciptakan program pelatihan pilot baru, meningkatkan upaya perekrutan, memperluas perekrutan untuk meningkatkan keberagaman gender dan ras, serta menerapkan program untuk menangani kendala keuangan,” kata Hannah Walden, dari Airlines for America yang mewakili maskapai-maskapai di Amerika Utara, kepada BBC Mundo.

Cara lainnya, sejumlah anggota parlemen berupaya mengubah aturan federal yang membatasi usia pensiun atau jam terbang pilot.

Di beberapa negara, seperti India, beberapa maskapai berupaya merekrut pensiunan pilot. 

Beberapa serikat pekerja mengecam langkah-langkah itu karena bisa membuat pilot- pilot terlalu banyak lembur dan mengalami stress.

“Setiap hari benar-benar perjuangan. Taraf keletihan kami mencerminkannya,” ujar Casey Murray, presiden Asosiasi Pilot Southwest Airlines kepada media AS.

Dalam lima bulan pertama 2022, serikat tersebut mengklaim telah menerima laporan keletihan pilot tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.

Seorang juru bicara Airline Pilots Alliance (ALPA), serikat pilot terbesar di AS, menegaskan kepada BBC Mundo bahwa situasi ini ditambah permintaan mengurangi ketentuan jam terbang bagi pilot pemula untuk bergabung maskapai tertentu atau meningkatkan batas usia pensiun pilot, bisa mempengaruhi keselamatan penerbangan.

“Kami sepakat kami bisa berbuat lebih banyak agar profesi pilot bisa diakses semua kalangan, tapi ALPA menolak upaya menurunkan keselamatan seperti meningkatkan batas usia pensiun pilot dan upaya menggunakan narasi palsu demi memangkas keselamatan,” tegasnya.

Stuart Fox , selaku direktur operasi teknis dan penerbangan dari Asosiasi Transportasi Udara Internasional  (IATA), mengatakan masih terlalu dini untuk mengeluarkan perkiraan kapan masalah kekurangan pilot bisa diselesaikan atau apakah problem tersebut akan bertambah buruk pada tahun-tahun mendatang.

Tapi pimpinan sejumlah maskapai besar memperkirakan situasi ini bisa berlangsung lebih dari lima tahun.

“Kekurangan pilot adalah masalah nyata bagi industri penerbangan dan sebagian besar maskapai tidak bisa memenuhi rencana penambahan kapasitas karena sederhananya jumlah pilot tidak cukup, setidaknya untuk lima tahun ke depan atau lebih,” ucap Scott Kirby, CEO United Airlines.

Bagaimana dengan di Indonesia?

PT Garuda Indonesia mengeklaim hingga saat ini masih memiliki jumlah kru kabin yang memadai di tengah peningkatan permintaan penerbangan.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputr, mengatakan hingga kini jumlah pilot dan kru belum menjadi persoalan krusial di tubuh Garuda.

Menurutnya, justru, yang saat ini masih diupayakan oleh perseroan adalah penambahan jumlah kapasitas pesawat.

"Kalau kru masih cukup untuk ketersediaan pesawat saat ini. Bahkan saat kapasitasnya nanti ditambah juga masih akan mencukupi," ujarnya kepada Bisnis.com, 20 Juli 2022.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan, menyadari penambahan penerbangan tidak akan bisa berlangsung dengan cepat.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Misalnya karena para kru maskapai membutuhkan waktu untuk pelatihan kembali dan prosedur lainnya setelah sempat dirumahkan.

"Kita bilang oke tambahin, tapi pelan-pelan. Karena menambah tidak bisa cepat, di luar negeri sama saja. Karena krunya banyak yang sudah kerja yang lain. Dan kalau dia masuk, training lagi. Cabin crew juga begitu," jelasnya. (*)

Tags : Pesawat, Bisnis, Ekonomi, Amerika Serikat, Transportasi, Virus Corona, Pekerjaan,