"Sebagian kecil masyarakat Indonesia 'menolak menaati protokol kesehatan sebagian lainnya bersikap apatis lantaran tidak mendapat keteladanan dari pejabat pemerintah"
ebagian kecil masyarakat Indonesia "menolak menaati protokol kesehatan karena terpapar berita menyesatkan, namun sebagian lainnya bersikap apatis lantaran tidak mendapat keteladanan dari pejabat pemerintah" terkait penanganan Covid-19, kata pengamat.
Windhu Purnomo selaku ahli penyakit menular dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan sebagian masyarakat mempercayai informasi Covid-19 yang disampaikan pemerintah jika narasi para pejabat publik tidak saling bertentangan. Dia mencontohkan kebijakan pemerintah tentang larangan mudik Lebaran, namun di sisi tidak melarang kunjungan ke lokasi wisata. "Itu memperburuk persepsi masyarakat, 'loh berarti tidak ada apa-apa, wong piknik boleh kok'," ungkap Windhu, memberikan contoh, dirilis BBC News Indonesia, Rabu (16/06).
Sementara, pengamat kebijakan kesehatan dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra, menganggap selain kejenuhan, apatisme itu dilatari pula aspek keteladanan. "Masyarakat tidak bisa kita salahkan. Kejenuhan pasti ada, tetapi keteladanan kebijakan, penegakan hukum itu juga dilihat sebagai faktor pengabaian dan apatisme, karena sudah 15 bulan berlalu," ujarnya.
Di sisi lain, Windhu dan Hermawan tidak memungkiri bahwa ada sebagian kecil masyarakat di Indonesia yang sejak awal tidak memahami dan termakan oleh hoaks. Sampai Rabu (16/06) malam, permintaan wawancara BBC News Indonesia kepada Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, belum mendapat respons. Namun sebelumnya, seorang pejabat Satuan Tugas Penanganan Covid-19, akhir tahun lalu, pernah menyatakan masih ada sekitar 17% masyarakat Indonesia yang tidak percaya adanya wabah Covid-19.
Karena itulah, mereka membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk tokoh masyarakat, agar bekerja lebih keras lagi, terutama untuk memberikan literasi dan edukasi kepada masyarakat. Pemerintah juga melibatkan tokoh masyarakat, termasuk ulama, untuk mengampanyekan supaya masyarakat menaati protokol kesehatan. Setelah periode liburan lebaran, ada lonjakan kasus covid-19 di Indonesia, yang berkisar dari 100% hingga 2.000% di sejumlah daerah.
Pengamat kesehatan kemudian mengusulkan agar pemerintah menerapkan pembatasan lebih ketat secara lebih luas, namun pemerintah masih memprioritaskan pembatasandalam skala mikro.
"Saya tidak percaya Covid, di daerah saya tak ada yang kena," kisah dari Kota Pamekasan, Madura.
Seperti disebutkan Ahmad Zaini, berusia 55 tahun warga Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Pamekasan, pulau Madura, mengaku tidak sepenuhnya percaya adanya virus bernama Covid-19 yang sekarang menjadi pandemi. "Dikatakan percaya, ya belum percaya 100%, soalnya tidak percayanya di daerah saya itu nggak ada yang kena [virus] corona," katanya kepada wartawan di kota Pamekasan, Madura, Mustopa.
Ditanya bukankah sudah banyak yang terpapar dan meninggal, Zaini mengatakan, "Itu kan cuma berita." Dia kemudian mengaku membaca berita tentang beberapa kasus kematian karena Covid di kota Bangkalan. "Tapi kalau di daerah saya, nggak ada [yang meninggal karena corona], jadi saya nggak percaya penuh".
Saat ditemui di salah-satu sudut keramaian di kota Pamekasan, Zaini tak mengenakan masker. "Kalau di daerah saya nggak ada orang yang pakai masker. Kalau masuk ke kota [Pamekasan] itu sudah aturan negara, dipakai maskernya, takut disetop, ditilang," ungkapnya.
Dia mengaku selama menjajakan jualannya tidak pernah mengenakan masker, meskipun sudah berulangkali diminta oleh petugas agar mengenakannya. "Kalau disuruh, saya baru pakai. Sering saya diimbau di lampu merah."
Tidak semua warga bersikap dan berperilaku seperti Zaini. Seorang warga asal kota Sampang, Zahrotul Laily, yang berusia 24 tahun, mengaku meyakini Covid-19 itu nyata. Dia mengenakan masker saat ditemui. "Selain karena Covid-19, saya sudah biasa pakai masker untuk menghindari polusi udara," ujarnya.
Kesaksian seorang ulama Madura: 'Tidak gampang ubah sikap tidak percaya Covid-19'
Kiai Fadholi Muhammad Ruham, pengasuh Ponpes Al-Fudhola di Kota Pamekasan, Madura, mengaku dilibatkan oleh pemerintah daerah setempat untuk menyosialisasikan protokol kesehatan masyarakat. Dalam berbagai kesempatan sosialisasi, Fadholi menjelaskan bahwa Islam mengajarkan bahwa manusia harus menjaga diri dari kerusakan, baik untuk diri sendiri atau orang lain. "Peduli terhadap kepentingan orang lain itu juga ajaran Islam," ujarnya.
Namun diakuinya tidak gampang mengubah pemahaman dan perilaku anggota masyarakat yang sudah 'terpapar' informasi yang belum tentu benar di media sosial. "Penyadaran masyarakat tidak serta-merta diikuti, harus terus-menerus, sabar, ulet," ungkapnya.
Dia memberikan contoh ketika memberikan penjelasan tentang hal itu di hadapan kerumunan di pasar. "Sulit ya, saya enggak sanggup kalau memberikan penjelasan di pasar-pasar," ungkapnya.
"Penyadaran masyarakat tidak serta-merta diikuti, harus terus-menerus, sabar, ulet."
Dia menangkap kesan seolah-olah masyarakat tidak mempercayai apa yang diutarakan petugas dan tokoh-tokoh tentang penangananan Covid-19. "Justru kita malah tidak dipercaya kembali oleh masyarakat. Inilah kesulitan kami," akunya.
Apalagi, tambahnya, masyarakat saat ini mudah memperoleh informasi seputar Covid-19 di media sosial. Mereka juga membaca pernyataan sejumlah pihak seputar penanganan Covid-19, katanya.
"Sering terjadi kontradiksi antara tokoh satu dengan tokoh yang lain, dokter yang satu dengan yang lain, antara ahli kesehatan yang satu dengan yang lain, bahkan merambah di dunia internasional, yang masuk ke media sosial," kata Fadholi.
Pengamat: 'Masyarakat ingin taat protokol, tapi kebijakan tidak mengarah pembatasan aktivitas'
Pengamat kebijakan kesehatan dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia saat ini sudah mengetahui Covid-19 dan berikut penularannya, tetapi belum semua tercermin dari perilakunya terkait protokol kesehatan. Menurutnya, ada beberapa variabel yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku seperti itu, diantaranya adalah berita hoaks yang menganggap kasus Covid-19 sebagai konspirasi.
Namun demikian, terkait edukasi dan promosi perilaku, Hermawan menganggap ada yang lebih penting untuk ditekankan oleh pemerintah, yaitu terkait aspek teladan. Hermawan mengaku menemukan kasus-kasus yang memperlihatkan bahwa masyarakat ingin menaati protokol kesehatan, tetapi mereka melihat "pemerintah membuka lokasi wisata, transportasi, atau pasar hingga hajatan dibuka dan diperbolehkan". "Jadi masyarakat ingin taat protokol, tetapi kebijakan tidak mengarah pada pembatasan aktivitas," kata Hermawan Saputra.
Dengan demikian, Hermawan menganggap pemahaman dan perilaku masyarakat mengenai covid dipengaruhi banyak faktor. "Masyarakat tidak bisa disalahkan. Kejenuhan pasti ada [di masyarakat], tetapi keteladanan kebijakan, penegakan hukum itu juga dilihat sebagai faktor pengabaian dan apatisme [di masyarakat], karena sudah 15 bulan berlalu," jelasnya.
Di sinilah, menurutnya, pemerintah memiliki tiga tugas pokok, yaitu, pertama, optimalisasi opsi kebijakan. Persoalan kebijakan ini dianggapnya penting, karena pemerintah awalnya menerapkan PSBB, kemudian diubah menjadi transisi dan proporsional, dan sekarang diganti menjadi PPKM. "(Perubahan kebijakan ) itu semua dianggap masyarakat setengah-setengah," katanya.
Tugas kedua yang tidak kalah penting, menurutnya, adalah pengujian (testing), penelurusan kontak (tracing) dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien (treatment). "Dan Indonesia masih sangat lemah dalam hal ini," ujarnya.
Adapun tugas ketiga yang harus dilakukan pemerintah adalah "rekayasa perilaku", yaitu mengefektifikan kampanye atau promosi ketaatan pada protokol kesehatan secara ideal.
'Ada hoaks, ada macam-macam teori konspirasi: Covid itu 'akal-akalan WHO'
Ahli penyakit menular dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengatakan, sebagian masyarakat menerima 'informasi tandingan' di media sosial yang disebutnya menyesatkan. "Ada hoaks, ada macam-macam teori konspirasi bahwa Covid itu 'akal-akalan WHO' atau 'akal-akalan imperialis'," kata Windhu.
Diakui Windhu tidak gampang untuk menghadapi membanjirnya informasi seperti itu di 'zaman media sosial' seperti sekarang. Windhu mengatakan, masyarakat mau menerima dan mempercayai informasi yang benar terkait Covid-19 yang disampaikan oleh pemerintah, salah-satunya, jika narasi yang disampaikan pejabat publik tidak saling bertentangan.
Dia mencontohkan kebijakan pemerintah tentang larangan mudik, namun di sisi tidak melarang kunjungan ke lokasi wisata. "Itu memperburuk persepsi masyarakat, 'loh berarti tidak ada apa-apa, wong piknik boleh kok'," ungkap Windhu, memberikan contoh.
Dari sinilah, menurutnya, timbul persepsi dari masyarakat bahwa seolah-olah tidak ada pandemi corona. Dia kemudian mengungkapkan contoh lainnya, yaitu sikap sebagian pejabat publik yang memunculkan narasi personal bahwa seolah-olah 'kasus Covid-19 sudah menurun' atau 'kita sudah bisa mengendalikan pandemi'. "Padahal itu narasi-narasi yang tidak sesuai kenyataan. Ini yang juga membuat masyarakat merasa 'oh, sudah aman 'kan?' Lalu mereka melepas masker dll," tambahnya.
Demikian pula soal apa yang disebutnya sebagai keteladanan dari para pejabat publik, penegakan hukum yang 'pandang buluh'. Dihadapkan kenyataan seperti itu, Windhu menganggap, masyarakat makin abai terhadap isu protokol kesehatan. Windhu kemudian menyimpulkan, memang ada masyarakat yang sejak awal tidak memahami mengenai pandemi Covid-19, namun ada pula yang termakan 'informasi sesat' alias hoaks. "Tapi ada juga yang karena ulah, baik pemerintah, maupun tokoh masyarakat atau publik," katanya.
Karena itulah, dia mengharapkan agar pemerintah memperbaikinya. "Jangan ada narasi-narasi yang meninabobokan masyarakat. Kita harus jujur terhadap apa yang terjadi," katanya. "Kalau kondisinya jelek, katakan jelek."
Windhu juga meminta agar para pejabat pemerintah memberikan keteladanan dan tidak memandang bulu dalam penegakan hukum terkait pelanggaran protokol kesehatan. Dia juga meminta pemerintah memperbaiki komunikasi publik. "Jangan kalah dengan hoaks." Dalam konteks inilah, kehadiran tokoh masyarakat, misalnya ulama, harus dilibatkan.
Windhu menekankan hal itu karena di daerah tertentu ada sebagian tokoh masyarakat yang dijadikan panutan, lantaran mereka mempercayai informasi hoaks. "Di negara yang masyarakatnya paternalistik seperti Indonesia, mereka percaya pada tokohnya daripada percaya kepada pemerintah," katanya.
Untuk itulah, pemerintah harus terus melibatkan para ulama dan tokoh masyarakat untuk terlibat mengampanyekan protokol kesehatan. Namun Windhu mengakui hal itu bukanlah persoalan gampang. (*)
Tags : Covid-19, Wabah Virus Corona, Masyarakat Apatisme dengan corona, Masyarakat Belum Percaya 100% dengan Covid-19,