INTERNASIONAL - Maya Ghazal adalah satu dari jutaan orang yang harus mengungsi dari Suriah karena perang saudara. Keluarganya mendapatkan suaka di Inggris enam tahun lalu, namun dia sempat mengalami kesulitan untuk mengenyam pendidikan.
Kini, dia memiliki ijazah sebagai pilot dan Goodwill Ambassador untuk Badan Pengungsi PBB. "Setiap kali naik pesawat, saya merasa sangat bersemangat… Saya adalah seorang pilot sekarang. Betapa gila pencapaian ini. Saya adalah orang yang dulu ditolak oleh banyak sekolah."
Maya Ghazal meninggalkan Damaskus bersama ibu dan saudara-saudaranya saat usianya 16 tahun. Mereka berangkat ke Inggris, di mana ayahnya sudah terlebih dulu berada. Enam tahun kemudian, Maya adalah pengungsi Suriah pertama yang memenuhi syarat untuk mendapatkan lisensi pilot pesawat pribadi, dan kini menjalani pelatihan untuk lisensi pilot pesawat komersial.
Namun jalan yang harus dilaluinya terjal dan berliku. Ketika pertama kali tiba di Birmingham, Maya berharap bisa melanjutkan pendidikan. Tapi ia mengaku kesulitan masuk ke sekolah. "Mungkin karena begitu mereka mengetahui bahwa saya dari Suriah, mereka pikir saya tak berpendidikan atau datang ke Inggris secara ilegal. Padahal tidak begitu," kata perempuan 22 tahun itu dirilis BBC.
Patah hati
Ketika Maya tiba di Inggris, dia tidak diwajibkan untuk menempuh pendidikan lanjut atau mendapatkan pelatihan, karena usianya sudah lebih dari 16 tahun. Dia juga telah menyelesaikan pendidikan menengah di Suriah, sehingga tak ada kewajiban bagi sekolah-sekolah di Inggris untuk menerimanya. Dia mengaku mendaftarkan diri ke empat lembaga pendidikan dan bersedia melakukan tes fisik dan matematika, namun keempat sekolah itu menolaknya.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, berkata Maya ditolak karena ijazah sekolahnya dari Suriah tak diakui di Inggris. "Tidak ada satu pun yang mau mendengarkan kisah saya dan ini membuat saya sedih. Saya patah hati setiap kali saya ditolak oleh sekolah," ujar Maya.
Lebih dari 6,6 juta warga Suriah hidup di dunia sebagai pengungsi, menurut UNHCR. Sekitar 20.000 di antaranya mendapatkan suaka di Inggris. Di puncak krisis migran enam tahun lalu, foto-foto para pengungsi yang putus asa dan mendatangi Eropa dalam jumlah besar dipublikasikan oleh berbagai media. Beberapa menyelipkan pesan-pesan kebencian. "Karena stereotip yang ada di media, beberapa orang menyangka para pengungsi datang ke negara mereka untuk mencuri," kata Maya.
"Saya tidak mau berpikir seperti itu tentang diri saya sendiri. Pengungsi bukanlah kata yang baik untuk dikaitkan dengan diri seseorang. Saat Maya masih kecil, dia bermimpi memiliki karir di bidang diplomasi, dan ingin belajar ilmu politik untuk menjadi duta besar."
Namun karena konflik berkepanjangan, dia kehilangan kepercayaan kepada negaranya sendiri dan tak lagi ingin mewakilinya. Meski begitu, Maya mengaku memiliki banyak kenangan masa kecil yang indah di Suriah, dikelilingi keluarga yang tinggal berdekatan. Ayahnya menjalankan usaha pabrik kain di pinggiran ibu kota. Ketika area tersebut kemudian dipenuhi oleh tentara, Maya berkata sang ayah tak punya pilihan selain meninggalkan negara dan mencari pekerjaan lain.
Maya, saat itu berusia belasan tahun, melanjutkan pendidikan di Suriah dan harus pindah sekolah tiga kali untuk menyelesaikan sekolah menengah. Pada 2015, keluarganya memutuskan melakukan perjalanan ke Inggris. Maya yang berharap ada masa depan baru menantinya, justru menemukan pintu-pintu tertutup di hadapannya.
Kesempatannya untuk meraih kesuksesan sangat rendah. Akses pendidikan adalah penghalang bagi 83 juta pengungsi yang ada di seluruh dunia. Saat anak-anak pengungsi beranjak dewasa, kesempatan-kesempatan untuk mereka berkurang drastis, menurut UNHCR.
Secara global, hanya 3% pengungsi mendapatkan akses ke pendidikan tinggi, jauh lebih rendah dari populasi non-pengungsi yakni sebanyak 37%. "Penolakan dan anggapan meremehkan secara terus-menerus inilah yang justru memberi saya kekuatan," ungkap Maya.
Maya akhirnya diterima untuk menempuh pendidikan diploma di bidang teknik. Saat hendak mendaftar kuliah, Maya dan ibunya pergi ke London dan menginap di sebuah hotel yang terletak di sebelah Bandara Heathrow. Maya melihat dengan takjub bagaimana pesawat-pesawat bergantian lepas landas dan mendarat. Mimpi baru terbentuk dalam benaknya, dia memutuskan ingin menjadi pilot.
Tentu saja, banyak yang meragukan mimpinya itu. Beberapa teman dan keluarga bahkan berkata, "Kamu perempuan, mengapa ingin menjadi pilot? Siapa yang mau mempekerjakan pilot perempuan?"
Industri penerbangan komersial hingga kini masih didominasi kaum pria. Secara global hanya satu dari 20 pilot adalah perempuan, menurut data Air Line Pilots Association.
Meski begitu, tekad Maya sudah bulat. Dia kemudian diterima masuk sebuah universitas di London untuk belajar teknik penerbangan jurusan pendidikan pilot pada 2017. Dia mencari pekerjaan paruh waktu, menjadi pembicara di berbagai acara, meminjam uang, dan menabung untuk bisa masuk kokpit. "Penerbangan pertama saya sangat membuat tertekan dan saya tak menyukainya. Saya merasa sangat kewalahan dan tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya," kenang Maya.
"Telinga dan kepala saya sakit. Kami lepas landas dan saya sama sekali tidak bisa memahami apa yang dikatakan oleh radio."
Namun empat tahun setelah tiba di Inggris, Maya akhirnya berhasil terbang solo. Ketika sedang bersiap lepas landas, namanya disebutkan di radio dari ruang kontrol lalu lintas udara.
"Penerbangan pertama saya sangat cepat. Saya memutari bandara lalu mendarat lagi. Itu sangat menyenangkan, dan saya bangga pada diri sendiri."
Mimpi Maya belum berakhir. Dia masih ingin mendapatkan gelar master dan mengambil lisensi pilot untuk pesawat komersial. Untuk bisa melakukannya, dia harus mengumpulkan 150 jam terbang. Untuk setiap jam terbang, dia harus mengeluarkan uang sebesar £200 (Rp3,9 juta).
Selain melanjutkan kuliah, Maya juga terus mengkampanyekan hak-hak untuk para pengungsi. Dia berbicara di TED talk dan tahun ini ditunjuk menjadi duta persahabatan (goodwill ambassador) untuk UNHCR.
UNHCR berharap bisa mengajak Maya ke kamp-kamp pengungsian dan bertemu dengan para pengungsi setelah pembatasan perjalanan karena Covid telah diangkat. Badan PBB ini menargetkan 15% populasi pengungsi bisa melanjutkan pendidikan tinggi hingga 2030. Maya sendiri meyakini bahwa pendidikan adalah hal yang penting, seperti halnya makanan dan minuman, namun dia berkata prioritas utamanya saat ini adalah mengubah persepsi tentang pengungsi dan mendapatkan lebih banyak dukungan dari masyarakat. "Membantu pengungsi bisa dengan hal-hal mudah. Dari memberikan kebaikan kecil seperti tersenyum pada mereka, membantu mereka mengenali kota dengan lebih baik, dan membantu mereka mendapatkan keterampilan untuk mendapat pekerjaan."
Dia mengungkapkan kesuksesannya bisa menginspirasi pengungsi lain untuk melewati segala kesulitan dan meneruskan pendidikan. "Saya ingin orang tahu kalau kesuksesan tidak akan diraih dengan mudah. Saya datang dari Suriah, saya datang dari tengah-tengah konflik dan saya seorang pengungsi. Saat saya pertama kali sampai di Inggris, saya sangat membutuhkan kisah-kisah sukses dari pengungsi. Saya ingin tahu, apakah ada orang yang telah melalui hal yang sama dengan saya, dan berhasil sukses. Menurut saya, sangat penting untuk menggambarkan itu. Untuk menunjukkan kepada mereka, jangan pernah menyerah, percaya pada diri sendiri dan bekerja keraslah."
Dia juga mengatakan, saat orang-orang mendengar ceritanya, mereka terperangah — dan ini, lanjutnya, sangat membantu mengubah persepsi tentang pengungsi. "Saya distereotip karena saya pengungsi. Jangan berasumsi tentang saya, hanya karena saya seorang pengungsi, Muslim, etnis Arab, dan perempuan," kata Maya.
"Tak satupun stereotip atau label itu mengubah saya. Saya dapat mengendalikan hidup saya sekarang, sama seperti saya dapat mengendalikan pesawat". (*)
Tags : Pengungsi dan pencari suaka, Suriah,