"Ditengah pandemi corona produktivitas kelapa sawit nasional terus digonjot baik melalui upaya peremajaan sawit rakyat (PSR), sayangnya sejak PSR diberlakukan tahun 2017 lalu tak pernah mencapai target"
roduktivitas kelapa sawit nasional bisa naik mencapai 6-7 ton per hektare (ha). Kementerian Pertanian berharap untuk menggenjot kenaikan produktivitas salah satunya dilakukan dengan upaya peremajaan sawit rakyat (PSR).
Direktur Jenderal Perkebunan, Kementan, Kasdi Subagyono, mengatakan, rata-rata produktivitas sawit saat ini hanya sekitar 3,6 - 4 ton per ha. Menurutnya, kenaikan mencapai 6-7 ton per ha sesuai dengan potensi yang ada. "Oleh karena itu, perlu dukungan berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan pembiayaan pada program replanting yang didanai oleh BPDPKS demi memperbaiki perkebunan rakyat," kata Kasdi dalam dalam Indonesia Palm Oil Conference 2020 dirilis Republika.co.id, Rabu (2/12).
Ia mengakui, program PSR sejak tahun 2017 tidak pernah mencapai target. Pada 2017, dari target 20.780 ha, realisasi hanya mencapai 13.206 ha. Memasuki 2018, target dinaikkan mencapai 185 ribu ha namun realisasi hanya 35.195 ha. Tahun 2019 lalu, dari target 180 ribu ha, realisasinya mencapai 88.339 ha. Adapun tahun ini, PSR ditargetkan seluas 180 ribu ha, namun realiasi hingga akhir Oktober 2020 baru mencapai 67.018 ha. Adapun dana yang dianggarkan untuk PSR tahun ini oleh BPDPKS mencapai sebesar Rp 1,8 triliun.
Kasdi mengatakan, dalam pelaksanaan program peremajaan, diharapkan perusahaan kelapa sawit bersama dengan pemerintah daerah tidak hanya memberikan bimbingan teknis dan dukungan sesuai dengan praktek pertanian yang baik kepada petani. Namun, perlu ada kelembagaan, sehingga dapat melakukan program replanting secara mandiri. Selain itu, juga perlu dicarikan solusi bagi petani kecil bila terjadi masalah, termasuk menjadi penjamin pembiayaan kredit.
Industri sawit tahan banting
Sementara Ekonom Fadhil Hasan mengakui di tengah banyaknya industri yang terpuruk akibat dampak pandemi corona (Covid-19), ternyata masih ada sejumlah industri di Tanah Air yang tahan banting. Salah satunya adalah industri kelapa sawit. Selain produknya memang dibutuhkan masyarakat, program B-30 dianggap telah menyelamatkan industri Sawit ini.
Meski mengalami sejumlah kendala, industri sawit tetap bisa beroperasi cukup baik hingga saat ini. "Selama pandemi hingga sekarang ini, kegiatan produksi on-farm dan off-farm berjalan normal. Ada pengaruhnya iya, tapi tidak terlalu signifikan," kata Fadhil Hasan dalam zoom webinar bertema "Komoditas Sawit, Melangkah dengan Komitmen Berkelanjutan" belum lama ini.
Fadhil mengakui industri kelapa sawit memang mengalami pelambatan. Namun, fenomena tersebut bukan semata karena ada pandemi Covid-19. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab sehingga perkembangan industri sawit yang hingga kini belum berjalan baik. Pertama, kekeringan yang yang cukup lama pada tahun 2019 akibat fenomena el Nino berpengaruh pada rendahnya kualitas buat sawit. "Panen akhirnya kurang baik sehingga mengurangi produktivitas sawit," jelas Fadhil yang juga Direktur Corporate Affairs Asian Agri.
Faktor kedua, menurut Fadhil Hasan, adalah harga komoditas sawit yang masih rendah pada tahun 2019. Akibat rendahnya harga, para petani atau perusahaan melakukan berbagai efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi pemupukan sekitar 30-40%. Langkah ini akhirnya berdampak pada produktifitas hasil panen sawit. "Bagi perusahaan langkah efisiensi tersebut dilakukan dalam rangka menjaga cash flow agar tetap bisa beroperasi," jelasnya. Kegiatan produksi dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat, pergerakan tenaga kerja juga dibatasi.
Dua faktor di atas, lanjut Fadhil, membuat industri sawit mengalami pelambatan. Sejak pandemi covid-19, produksi sawit tidak terganggu. Alasannya, industri minyak sawit di Indonesia termasuk dalam kategori essential economic activities. Sehingga, meski dalam masa pandemi, masih terus dibutuhkan masyarakat. Fenomena ini berbeda dengan Malaysia yang industri sawitnya terdampak Covid-19.
Selain produksi berjalan relatif normal, ekspor sawit ke sejumlah pasar tradisional juga berjalan cukup baik. Fadhil mengakui terjadi penurunan permintaan sawit di beberapa negara, yakni China, India dan Pakistan. Pengurangan permintaan dari China disebabkan karena negara itu menerapkan karantina wilayah sehingga sulit mendapatkan akses pelabuhan. Sedangkan India dan Pakistan lebih disebabkan karena harga minyak sawit tidak kompetitif. "India juga menerapkan aturan impor baru yang menghambat ekspor minyak sawit," jelasnya.
Fadhil Hasan mengungkapkan sangat mengapreasiasi pemerintah terkait dukungan dan komitmennya terhadap kebijakan B-30. Saat ini, ada masalah dengan program B30 yang agak terhambat. Karena harga minyak yang jatuh dan Covid-19 menyebabkan biaya untuk menutupi selisih harga diesel dan biodiesel meningkat tajam.
Manurut Fadhil, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menyelamatkan program B-30. Yaitu dengan meningkatkan pungutan menjadi USD55 dari USD50 sebelumnya. Selain itu, pemerintah telah mengalokasikan anggaran negara sebesar Rp2,87 triliun untuk program tersebut. "Komitmen pemerintah terhadap program B30 Ini telah menyelamatkan industri sawit," ungkapnya.
Fadhil memperkirakan produksi sawit tahun 2020 sebesar 43,7 juta ton. Sedangkan ekspor minyak sawit (CPO) akan mencapai 27,5 juta ton pada tahun 2020. Angka ini menurun dibandingkan dengan produksi dan ekspor pada tahun 2019 yang masing-masing sebesar 45,5 juta ton dan 28,5 juta ton. Untuk ke depan, imbuh dia, memang diperlukan konsistensi pemerintah untuk berbagi beban dalam menjaga kelansungan industri sawit.
Senada, Direktur Sustainability & Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A Riedo mengungkapkan komitmen Asian Agri untuk menjaga keberlanjutan industri sawit. "Menjadi fokus industri sawit untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan saat ini dengan memperhatikan kebutuhan masa yang akan datang dari sudut pandang ekonomi, lingkungan dan sosial," kata Bernard.
Selaras dengan filosofi founder, Asian Agri berkomitmen untuk selalu berkontribusi terlebih dahulu terhadap kepentingan masyarakat, negara, dan lingkungan. Setelah itu, baru untuk kepentingan perusahaan. Untuk menjalankan komitmen tersebut, Asian Agri juga terus menggalakkan upaya untuk memperoleh sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Dimana, tahun 2019 Asian Agri telah mencapai 100% sertifikasi ISPO.
Petani swadaya mitra Asian Agri, hingga 2019 telah mendampingi 4 KUD di Riau dan Jambi yang berhasil meraihvsertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) bagi petani swadaya. "100% Petani Plasma mitra Asian Agri mempertahankan RSPO," tegasnya.
Asian Agri mencapai 100% traceability atau ketelusuran. "Kami bekerja sama dengan lembaga independen untuk memutakhirkan sistem ketelusuran," ujar Bernard.
Di masa pandemi ini, Asian Agri tetap beroperasional. Hanya saja, ada beberapa kebijakan baru yang diterapkan mulai koordinasi dilakukan melalui zoom meeting, remote audit, penggunaan teknologi IT untuk memantau dan melakukan verifikasi data dan laporan. Bahkan, Asian Agri tetap menjajaki pasar baru/potensial untuk produk bersertifikat yang baru. Saat ini ada sertifikat RSPO, ISCC, GMP+ dan ISPO, Khususnya di kawasan Asia.
Bernard mengungkapkan, Asian Agri telah sejak lama menerapkan protocol Covid-19 baik di kantor maupun perkebunan. Menyambut era new normal ini, Asian Agri juga sudah siap dengan berbagai protocol baru yang dilaksanakan dengan ketat. Mulai mewajibkan memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, menjaga kebersihan area kerja dan melakukan disinfektan berkala serta menjaga jarak fisik minimal 1 meter.
"Mengadopsi pola kehidupan dan bekerja normal baru, yang mana para pekebun dan karyawan pabrik menerapkan protokol pencegahan Covid-19, memastikan pengelolaan kebun berkelanjutan, tidak terkendala dan mencapai target produksi secara berkelanjutan," tegasnya. (*)
Tags : kementan, pertanian, peremajaan sawit, perkebunan rakyat, kelapa sawit,