INTERNASIONAL - Banyak faktor menempatkan Indonesia dalam posisi yang tepat untuk membantu menyelesaikan krisis kudeta di Myanmar, meskipun pendekatannya sempat ditentang gerakan prodemokrasi dan tak ada jaminan langkah yang ditempuh bisa berjalan efektif, menurut pengamat.
Tekad membantu Myanmar pertama kali diumumkan dalam pernyataan bersama antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin di Jakarta pada 5 Februari lalu. Peristiwa itu terjadi lebih dari sebulan sejak militer Myanmar merebut kendali dari pemerintahan sipil hasil pemilu sah dan menangkap para pejabatnya, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto dengan jabatan resmi Penasihat Negara.
Kedua pemimpin mengutus menteri luar negeri masing-masing untuk menjajaki pelaksanaan pertemuan Menlu ASEAN. Instruksi langsung dilaksanakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Ia terbang ke Brunei Darussalam, yang saat ini menyandang predikat sebagai ketua ASEAN, dilanjutkan dengan pertemuan dengan Menlu Singapura. Rencana kunjungan ke ibu kota Myanmar, Naypyitaw, diurungkan sesudah muncul penolakan keras dari gerakan demokrasi lantaran langkah itu dikhawatirkan akan memberikan legitimasi kepada penguasa baru pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Ia lantas menemui menteri luar negeri Myanmar yang diangkat militer, Wunna Maung Lwin, di Bandara Don Mueang Airport, Bangkok, bersama tuan rumah Don Pramudwinai pada Rabu 24 Februari 2021. "Indonesia memilih tidak tinggal diam. Berpangku tangan bukanlah pilihan," kata Retno Marsudi sesudah pertemuan itu dirilis BBC News Indonesia.
Di luar bingkai ASEAN, Retno Marsudi mengatakan telah pula menjalin komunikasi dengan China, Australia, India, Jepang, Inggris serta utusan khusus sekjen PBB. Brunei Darussalam selaku ketua ASEAN pada Senin (01/03) mengumumkan bahwa pertemuan informal tingkat menteri ASEAN digelar secara virtual keesokan harinya, Selasa (02/03).
Menurut para analis, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia tepat dan ada sejumlah alasan mengapa Indonesia menjadi semacam tumpuan. Faktor pertama, Indonesia mempunyai pengalaman dalam mewujudkan transisi demokrasi dari rezim otoriter hingga mampu menggelar pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah dengan sistem satu orang satu suara. "Indonesia mempunyai perjalanan yang unik di mana transisi demokrasinya, kita sering mengkritiknya di dalam negeri, tetapi negara-negara lain menyaksikan bahwa Indonesia relatif sukses melakukan proses transisi demokrasi dari pilpres langsung, pilkada dan sebagainya, dan tidak ada guncangan termasuk misalnya dari militer," kata Dr Priyambudi Sulistiyanto, dosen senior, Flinders University, Adelaide, Australia.
Di antara 10 anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara, memang Indonesia bukanlah negara tunggal yang rutin menggelar hajatan politik multipartai. Filipina mempunyai catatan sejarah rezim kediktatoran, tetapi presidennya yang sekarang kerap menimbulkan kontroversi. Penguasa Malaysia sekarang adalah hasil penelikungan dari pemerintahan terpilih dan memberlakukan keadaan darurat nasional hanya 19 hari sebelum kudeta di Myanmar pada 1 Februari.
Walaupun berbatasan langsung sepanjang 2.400 km dengan Myanmar dan menampung sekitar dua juta warga dari negara tetangga tersebut, Thailand disibukkan dengan masalah politik di dalam negeri. Adapun Brunei Darussalam selaku ketua ASEAN saat ini merupakan negara kesultanan. Faktor kedua, Indonesia menjadi apa yang oleh Priyambudi diistilahkan "jangkar" dalam lingkup Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sebab sekitar 50% penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Kedudukan Indonesia sebagai jangkar ini lebih lanjut didukung oleh doktrin kebijakan politik luar negeri bebas dan aktif.
Yang ketiga, Indonesia adalah natural leader, kata Direktur Eksekutif Institut Perdamaian dan Demokrasi (IPD), Universitas Udayana, I Ketut Putra Erawan. Ini antara lain dibuktikan dengan gerak cepat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan shuttle diplomacy ke Brunei, Singapura, dan terbaru ke Thailand untuk menggalang diplomasi ASEAN sesudah kudeta Myanmar pada 1 Februari. "Indonesia dari dulu sudah menginginkan Myanmar demokratis. Indonesia lah yang mempertahankan Myamar ketika masuk ASEAN dengan wajah tidak demokratisnya dan banyak sekali negara yang mencibir 'kok ada negara seperti ini dibolehkan masuk?'
"Tapi Indonesia percaya bahwa keadaan itu bisa diubah dengan memberinya ruang. Ketika Myanmar masuk ke ASEAN Indonesia memastikan Myanmar ini diterima dan kemudian berubah menjadi demokratis," jelas I Ketut Putra Erawan.
Dalam proses menuju demokratisasi itu, lembaganya, IPD, turut dilibatkan memberikan pelatihan kepada kader-kader dari Myanmar baik dari partai oposisi maupun partai berkuasa.
Faktor keempat, persahabatan Indonesia-Myanmar bukanlah seumur jagung, bahkan negara yang dulu dikenal dengan nama Burma tersebut tercatat sebagai salah satu yang mengulurkan tangan usai proklamasi kemerdekaan. Negara itu menyediakan landasannya bagi pesawat pertama Indonesia dari India ketika landasan-landasan lain ditutup karena diduduki Belanda. Yang ketiga, Indonesia adalah natural leader, kata Direktur Eksekutif Institut Perdamaian dan Demokrasi (IPD), Universitas Udayana, I Ketut Putra Erawan.
Ini antara lain dibuktikan dengan gerak cepat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan shuttle diplomacy ke Brunei, Singapura, dan terbaru ke Thailand untuk menggalang diplomasi ASEAN sesudah kudeta Myanmar pada 1 Februari. "Indonesia dari dulu sudah menginginkan Myanmar demokratis. Indonesia lah yang mempertahankan Myamar ketika masuk ASEAN dengan wajah tidak demokratisnya dan banyak sekali negara yang mencibir 'kok ada negara seperti ini dibolehkan masuk?' "Tapi Indonesia percaya bahwa keadaan itu bisa diubah dengan memberinya ruang. Ketika Myanmar masuk ke ASEAN Indonesia memastikan Myanmar ini diterima dan kemudian berubah menjadi demokratis," jelas I Ketut Putra Erawan.
Dalam proses menuju demokratisasi itu, lembaganya, IPD, turut dilibatkan memberikan pelatihan kepada kader-kader dari Myanmar baik dari partai oposisi maupun partai berkuasa. Faktor keempat, persahabatan Indonesia-Myanmar bukanlah seumur jagung, bahkan negara yang dulu dikenal dengan nama Burma tersebut tercatat sebagai salah satu yang mengulurkan tangan usai proklamasi kemerdekaan. Hubungan kedua negara tak seberapa lekat sesudah kudeta militer pertama di Myanmar pada 1962. Namun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Myanmar melirik Indonesia sebagai contoh. "Pada saat pemerintahan U Thein Sein, yang kebetulan berasal dari militer, beliau sangat dekat dengan kami dan beliau juga ingin belajar bagaimana proses demokratisasi dilakukan di Indonesia di mana presidennya dari militer. Dalam hal ini Pak SBY," kata Ito Sumardi, mantan duta besar RI untuk Myanmar pada periode 2013-2018.
Thein Sein, yang namanya dalam kultur masyarakat Myanmar lazim diberi awalan U sebagai sebutan kehormatan untuk laki-laki, menduduki kursi presiden untuk periode 2011-2016 ketika Myanmar menjalani masa transisi menuju demokrasi. "Pada waktu itu Presiden U Then Sein adalah sahabat Pak SBY. Untuk menyelesaikan masalah Rohingya saja, mereka mengirimkan satu mayor jenderal ke Ambon untuk mempelajari Pela Gandong. Saya fasilitasi. Kemudian mereka juga mengirimkan tim ke Aceh. Kebetulan saya berdinas tiga kali di Aceh sampai dengan AMM," imbuh mantan Kabareskrim Polri itu.
AMM merujuk pada Aceh Monitoring Mission, tim pemantau dari Uni Eropa dan ASEAN yang bertugas memantau pelaksanaan perjanjian damai di Aceh tahun 2005. Ketika itu Brigjen Ito Sumardi ditugaskan sebagai Komandan Satuan Tugas Pengamanan AMM. Adapun pela gandong adalah kearifan lokal Maluku yang mengedepankan ikatan persatuan dan saling mengangkat saudara.
Dalam keterangan di Bangkok seusai pertemuan dengan Menlu baru Mynmar, Wunna Maung Lwin, dan Deputi Perdana Menteri merangkap Menlu Thailand, Don Pramudwinai, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan apa yang menjadi inti dari sikap Indonesia. "Indonesia concern terhadap perkembangan situasi di Myanmar. Kemudian safety and well being of the people (keselamatan dan kesejahteraan rakyat) menjadi prioritas nomor satu," katanya.
Ditegaskan pula bahwa Indonesia akan bersama dengan rakyat Myanmar. Sikap ini jelas berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya, yang langsung menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta. Tiga analis yang kami wawancara; I Ketut Putra Erawan, Dr Priyambudi Sulistiyanto dan mantan Duta Besar Ito Sumardi satu kata bahwa pendekatan yang dilakukan Indonesia sudah tepat dengan pesan tegas Menlu Retno. Kendati demikian muncul pertanyaan apakah langkah itu efektif dan bisa diterima junta militer maupun CRPH - Komite Wakil Pyidaungsu Hluttaw (parlemen) sebagai representasi dari pemenang pemilu November 2020 lalu.
Menurut Ito Sumardi yang bertugas di Myanmar di masa pemerintahan junta dan pemerintahan demokratis, pendekatan dan pemecahan yang ditawarkan Indonesia bisa manjur. "Sebetulnya intinya adalah bagaimana cara kita berdiplomasi, yaitu kita menempatkan diri kita tidak melakukan intervensi atau kita tidak menggurui tetapi kita menawarkan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai sahabat negara ASEAN untuk membantu Myanmar," ujarnya.
"Di sini pendekatannya sebetulnya kita harus bisa menempatkan diri sebagai sahabat, bukan sebagai orang yang ingin campur urusan karena dalam pakta integritas ASEAN kita tidak boleh ikut campur," tambahnya.
Akan tetapi menurut pengamat politik Myanmar dan penulis buku Thailand, Indonesia and Burma in Comparative Perspective, Dr Priyambudi Sulistiyanto, langkah Indonesia belum tentu membuahkan hasil. "Apakah akan efektif? Belum tentu juga. Ini agak rumit." Ia mencontohkan rumor soal usulan Indonesia untuk menggelar pemilu baru sontak menimbulkan keresahan di kalangan gerakan pembangkangan nasional. "Pendukung prodemokrasi yang di jalanan yang melakukan mogok nasional mengatakan itu tidak bisa diterima, tapi harus menghormati hasil pemilu yang baru dilakukan."
Dalam pemilu pada 8 November, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dinahkodai Aung San Suu Kyi menang untuk kedua kalinya, mengalahkan Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP). USDP adalah bekas partai berkuasa bentukan militer sebelum secara resmi menyerahkan kekuasaan pada tahun 2011 ketika Myanmar dalam masa transisi menuju negara demokrasi. Seperti diutarakan Dr Priyambudi tadi, gerakan mogok nasional menentang upaya negara lain melibatkan pihak militer yang berkuasa di Myanmar karena langkah itu dimaknai sebagai pengakuan terhadap legitimasinya. "Peran ASEAN, khususnya Indonesia amat penting untuk tidak menerima junta militer sebagai pemerintah. Mereka bukan pemerintah. Kami ingin ASEAN, Indonesia menghormati suara kami dan hasil pemilihan umum 2020, mendengarkan suara dan kepentingan rakyat Myanmar," tegas seorang aktivis hak-hak perempuan, Khin Lay di Yangon, Jumat (26/02).
Rezim militer yang saat ini berkuasa menganggap hasil pemilu tidak sahih dengan dalih diwarnai kecurangan sehingga mereka melakukan kudeta, walaupun Komisi Pemilihan Umum setempat menyatakan pesta demokrasi itu berlangsung jurdil. Penguasa di bawah komando Panglima Angkatan Bersenjata Min Aung Hlaing menjanjikan pemilu baru dalam tempo satu tahun. Hal ini, menurut Ito Sumardi, dapat dijadikan pintu masuk bagi Indonesia untuk menawarkan sebuah opsi. "Kalau memang pemilu ulang akan dilaksanakan, sebetulnya masyarakat Myanmar, menurut pendapat saya, kalau ada pengamat independen internasional termasuk negara ASEAN, sebagaimana diinisiasi oleh ibu menteri luar negeri Indonesia dan negara-negara ASEAN, maka menutup celah adanya kecurangan-kecurangan."
Jika pemungutan suara benar-benar dilaksanakan secara jurdil, Ito memperkirakan suara pendukung pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi dengan kendaraan politiknya NLD akan menang lagi. Akan tetapi orang-orang NLD dan masyarakat yang melakukan pembangkangan nasional khawatir penguasa akan melakukan segala rekayasa agar menang pemilu. Mereka juga tidak percaya pada janji bahwa siapapun pemenang hasil pemilu yang akan datang akan diterima. "Sekarang yang berkuasa siapa? Yang berkuasa adalah pemerintahan militer. Tentunya kita masuknya juga harus kepada pemilihan militer ini. Mungkin dengan kemampuan diplomasi ibu menteri luar negeri kita yang sudah sangat hafal dengan sterotip masyarakat Myanmar atau negara Myanmar, kita bisa mendapatkan win win solution, mempengaruhi agar mereka betul-betul mengedepankan proses demokratisasi," Ito Sumardi membeberkan.
Dosen senior dari Flinders University, Adelaide, Australia, Dr Priyambudi Sulistiyanto, berpendapat Indonesia sebagai jangkar ASEAN mesti membuka komunikasi dengan representasi berbagai kalangan dalam masalah pelik di Myanmar. "Bagaimanapun juga ini pertanyaan soal legitimasi". "Dan dengan ribuan bahkan sampai mogok nasional besar-besaran itu menunjukkan bahwa pemerintahan junta militer ini tidak punya legitimasi di mata banyak sekali pendukung yang ketika itu saya kira mencoblos NLD. Jadi ini persoalan lama yang dulu pernah terjadi juga."
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sendiri sudah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen menjalin komunikasi dengan semua pihak di Myanmar, "Saya ulangi, dengan semua pihak termasuk militer dan CRPH (Komite Wakil Pyidaungsu Hluttaw). "Komunikasi dengan CRPH dilakukan secara intens," tegasnya.
Mungkin untuk membantu menemukan titik temu, Indonesia tidak hanya mengandalkan diplomasi resmi, melainkan menempuh tiga jalur sekaligus. "Jadi negara bergerak, masyarakat bergerak, kemudian yang bersifat kombinasi," kata Direktur Eksekutif Institut Perdamaian dan Demokrasi, I Ketut Putra Erawan.
Sebagaimana diutarakan para narasumber, peran konkret Indonesia diharapkan dapat membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar sebelum kondisi memburuk, korban berjatuhan dan eksesnya meluap ke negara-negara tetangga. (*)
Tags : Krisis Politik di Myanmar, Kudeta Myanmar, Indonesia Diharapkan Membantu Myanmar ,