AGAMA - Mulai dari Turki hingga Bangladesh serta dari Yordania hingga Malaysia, rangkaian demonstrasi besar menyerukan agar umat Muslim memboikot produk Prancis.
Sejumlah supermarket telah mengosongkan semua rak yang biasanya terisi produk-produk berlabel 'Made in France' atau 'Buatan Prancis'. Tagar seperti BoycottFrenchProducts tercatat dicuitkan lebih dari 100.000 kali dan menjadi topik yang sedang tren di media sosial selama sepekan terakhir. Reaksi tersebut merupakan respons dari komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron, setelah pemenggalan terhadap seorang guru Prancis yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya di kelas, sebagai bagian dari pelajaran mengenai kebebasan berekspresi.
Macron mengatakan Prancis "tidak akan melepaskan kartun kami".
Macron merujuk pada kartun bergambar Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh majalah satire Charlie Hebdo pada 2006, yang memicu kemarahan umat Muslim di seluruh dunia. Mereka menganggap penggambaran Nabi Muhammad sebagai serangan terhadap agama mereka. Presiden Macron selama ini dipuji karena membela sekularisme dan kebebasan berekspresi di negaranya sendiri.
Namun ketegangan semakin memuncak setelah pembunuhan tiga orang pada Kamis (29/10) di sebuah gereja di kota Nice dalam peristiwa yang disebut Presiden Macron sebagai "serangan teroris Islam". Tetapi Macron telah menjadi sosok yang dibenci di negara-negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh. Pada Rabu (28/10), puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menyerukan boikot barang-barang buatan Prancis. Seperti dirilis BBC News tiga orang yang mengatakan bahwa hal ini membuat mereka memutuskan untuk tidak lagi membeli produk Prancis:
Lancôme, Garnier, dan BIC adalah produk-produk Prancis yang saya pakai sehari-hari, tapi setelah apa yang terjadi saya tidak mau membelinya lagi. Saya memboikot produk Prancis karena saya ingin menyatakan bahwa kami tidak bisa menerima ini lagi. Saya ingin membalas Islamofobia Prancis. Sangat penting bagi kami umat Muslim untuk angkat bicara karena kami sudah terlalu lama berdiam diri. Boikot produk adalah satu-satunya cara yang bisa kami lakukan sekarang.
Charlie Hebdo telah menerbitkan karikatur menyinggung lainnya, yaitu Presiden kami Recep Tayyip Erdogan mengenakan kaos tanpa celana panjang, minum sekaleng bir dan mengangkat rok seorang perempuan Muslim yang mengenakan jilbab. Sebagai seseorang yang memakai hijab, sangat menyakitkan melihat seorang perempuan Muslim [diperlakukan] dengan cara seperti ini. Perempuan Muslim seperti saya berjuang setiap hari untuk mewakili Islam secara positif dan untuk menciptakan posisi dalam masyarakat di mana kita setara dan dianggap serius.
Namun kartun ini memberi kami perasaan bahwa ini semua tak ada artinya dan bahwa Eropa tidak pernah melihat kami setara dengan perempuan non-Muslim dan ini sangat menyakitkan. Kartun dan satire semestinya memancing pemikiran kritis dan debat, sebaliknya Eropa menggunakan penggambaran stereotipe tentang Muslim. Dengan menggambar kartun seperti ini setiap kali menambahkan lebih banyak bahan bakar ke api dan saya bertanya-tanya apakah ini yang kita inginkan: dunia di mana kita saling menyinggung dan membenci atas nama kebebasan berekspresi?
Saya turut serta dalam unjuk rasa di Nouakchott bersama dengan keluarga dan teman-teman saya untuk mengutuk apa yang terjadi di Prancis. Kami memboikot semua produk Prancis supaya ekonomi Prancis hancur dan Macron meminta maaf kepada dua miliar umat Muslim yang tersinggung dengan ujaran kebenciannya. Ketimbang mengonsumsi keju The Laughing Cow - salah satu merk keju buatan Prancis - kami mengonsumi produk Turki.
Saya punya parfum Prancis seperti Lacoste, tapi ketika parfum itu nanti habis, saya tidak mau membelinya lagi.
Saya telah menulis surat kepada Presiden Macron untuk menuntut permintaan maaf.
Di surat itu, saya bertanya kepadanya apakah guru itu layak dihormati, bagaimana dengan nabi kami, yang juga guru?
Yang paling membuat kami marah adalah pidatonya tentang Islamofobia yang mengaitkan Islam dengan barbarisme. Ini adalah ketidakadilan dan provokasi yang tidak bisa kami toleransi. Fakta bahwa seorang presiden negara seperti Prancis menggunakan gambar yang menghina kelompok tertentu dan memberikan propaganda dan liputan yang tidak semestinya bukan lagi kebebasan berbicara, melainkan serangan terhadap kelompok agama tertentu.
Itu cara yang murah untuk meningkatkan poin apa pun yang dia rencanakan dan raih dalam persaingan politik. Saya masih terlalu muda untuk mengingat kapan kartun Nabi Muhammad pertama kali diterbitkan oleh Charlie Hebdo, tetapi saya ingat serangan di kantor majalah itu. Semua orang mengubah foto profil mereka di media sosial menjadi 'Je suis Charlie'.
Saya menghindari melihat kartun itu sepanjang waktu, tetapi saya melihatnya ketika saya menggulir Twitter beberapa hari yang lalu. Saya merasa terhina dan tidak dihargai. Mengapa Islam tidak bisa dihormati seperti Yudaisme atau Kristen? (*)
Tags : Muslim, Boikot Produk Prancis,