Sejarah kejayaan Kesultanan Siak terungkap dimana wilayah kekuasaan ingin di data ulang.
PEKANBARU - Siak atau Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah kerajaan Islam yang pernah berdiri antara tahun 1723-1945.
Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR], H Darmawi Werdana Zalik Aris SE, kembali bercerita tentang puncak kejayaan peninggalan kerajaan Siak malam Rabu (10/11) dikediamannya Jalan Suntai Nomor 58, Kelurahan Labuh Barat, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru.
Darmawi yang semula baru tiba di Pekanbaru dari Jakarta malam itu, kembali mengenang tentang pendiri kerajaan Siak ini. Adalah Raja Kecil atau Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah, putra Sultan Mahmud Syah dari Kesultanan Johor, kata Darmawi membuka cerita malam itu.
Kerajaan Siak terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, dengan pusat pemerintahan berada di Buantan, memulai pembicaraannya.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada abad ke-19, ketika di bawah pemerintahan Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908), kata Darmawi menceritakan alkisah tersohornya kerajaan Siak ini yang menyisakan bangunan gedung kerajaan di Kabupaten Siak yang terus masih terawat.
Ketika berkuasa, Sultan Syarif Hasyim membangun Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak dan kemajuan pesat kerajaannya dapat dilihat pada bidang ekonomi.
"Itulah sampai sekarang bangunan kerajaan sebagai bukti masa kejayaannya," ungkap Darmawi.
Menjelang abad ke-20, Kerajaan Siak mulai mengalami kemunduran setelah diganggu oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II, menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Sejarah berdirinya kerajaan Siak sebelum kerajaan Siak berdiri, daerahnya adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor. Penguasa wilayah ini juga ditunjuk langsung oleh Sultan Johor.
Ketika Kesultanan Johor runtuh, di wilayah Siak terjadi kekosongan kekuasaan selama hampir 100 tahun. Raja Kecik, yang pernah terlibat perang saudara di Johor kemudian menetap di Bintan, dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan, anak Sungai Siak [Sungai Jantan].
Negeri baru yang berpusat di Buantan ini dinamai Kerajaan Siak. "Pusat kerajaan sempat beberapa kali mengalami pemindahan. Barulah pada masa pemerintahan Sultan Ismail (1827-1864), pusat kerajaan akhirnya menetap di Kota Siak Sri Indrapura sampai akhir pemerintahannya," kata Darmawi, putera kelahiran Bengkalis ini menceritakan, dimana susunan masa kepemimpinan kerajaan antara lain:
Puncak kejayaan kerajaan Siak setelah mendirikan kerajaan Siak, Sultan Abdul Jalil atau Raja Kecik mulai melakukan perluasan wilayah dan membangun pertahanan armada laut.
Tetapi dalam perkembangannya, Siak terus menunjukkan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukkan Mempawah di Kalimantan Barat.
"Kerajaan ini juga menjadi salah satu pusat penyebaran dakwah Islam."
"Pada masa sultan Siak ke-11, yaitu Sultan Syarif Hasyim, dibangunlah istana megah yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak," katanya.
Menurutnya, puncak kejayaan Kerajaan Siak juga berlangsung pada pemerintahan Sultan Syarif Hasyim.
"Kebesaran kerajaan ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan ekonomi kerajaan. Selain itu, Sultan Syarif Hakim bahkan berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa, yaitu Jerman dan Belanda."
Tetapi keruntuhan kerajaan Siak, menurut Darmawi, diawali dengan ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera [Agresi II].
"Ini salah satu akibat dari ekspansi Belanda yang melihat wilayah kedaulatan Siak menjadi semakin sempit."
Pada 1840, Sultan Siak dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan Inggris, yang menyebabkan wilayahnya menjadi semakin sempit lagi.
Kemudian pada 1858, Kesultanan Siak benar-benar kehilangan kedaulatannya setelah menandatangani perjanjian dengan Belanda.
"Perubahan ini juga membuat pengaruh hegemoni Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya lenyap," kata dia.
Kendati demikian, Kesultanan Siak masih mampu bertahan sampai masa kemerdekaan Indonesia, sebutnya.
Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II kerajaan Siak bergabung dengan Republik Indonesia.
Peninggalan kerajaan Siak Sri Indrapura Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak Patung Sultan Syarif Hasyim, Masjid Raya Syahabuddin, Mahkota kerajaan dan Meriam Buntung masih menjadi saksi.
Tetapi dengan bergabungnya Sultan Siak ke NKRI dalam memperjuangkan kemerdekaan, Sultan Syarif Qasin menyerahkan harta kekayaannya sejumlah 13 juta Gulden Belanda.
"itu merupakan bukti perjuangan Sultan ke NKRI atas jasanya negara menobatkan Sultan sebagai pahlawan nasional, tetapi tentang wilayah kekuasaan [termasuk lahan] yang terbentang hingga ke pulau Sumatera tak bisa di intervensi."
"Yang kita sayangkan tersebar isu bahwa Lembaga Adat Melayu Riau [LAMR] mengeluarkan surat tugas ditujukan ke pengurus LAMR 12 kabupaten/kota untuk mendata tanah wilayat kesultanan," kata Darmawi.
"Saya melihat terjadi riak-riak kecil ditengah masyarakat yang 'diintimidasi' oleh oknum yang ditunjuk LAMR mengakibatkan keresahan masyarakat memuncak karena lahannya dianggap bermasalah oleh oknum petugas yang ditunjuk LAMR," terang Darmawi.
"Lahan yang kini 'dimiliki' masyarakat terbentang dari pesisir Sumatera hingga ke langkat Sumatera Utara dianggap punya kepemilikan Sultan."
"Ini sebagai bukti disampaikan oleh oknum yang ditugaskan LAMR jadi keluhan masyarakat," kata Darmawi.
"Terang saja membuat keresahan di kalangan masyarakat, semestinya LAMR tidak bisa melakukan intervensi soal wilayah kekuasaan Sultan pada dahulu yang kini sudah diserahkan ke negara, 'diduduki' masyarakat maupun perusahaan," terang Darmawi.
Menurut Darmawi, Sultan Syarif Qasim sudah menyerahkan kedaulatannya ke Republik Indonesia melalui bergabungnya kerajaan Siak Sri Indrapura sejak dicetuskannya Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Masalah adanya tindakan oknum LAMR ini, Darmawi Werdana Zalik Aris akan melaporkan perihal ini kepada Presiden RI dan Mabes Polri atas timbulnya keresahan ditengah masyarakat Riau, akibat surat pengunjukkan pada oknum LAMR yang ditugasi mendata lahan yang terdampak.
Ketua Harian LAMR Syahril Abubakar dikonfirmasi lewat Whats App [WA] nya, malam Rabu (10/11) tadi menjawab singkat bahwa dirinya tak ada mengeluarkan surat penugasan kepada pengurus cabang LAMR yang ada di 12 kabupaten/kota di Riau itu.
"Belum ada," kata Syaril singkat.
Surat yang dikeluarkan Lembaga Adat Melayu [LAM] Riau.
Tetapi surat pengunjukkan yang beredar dan ditandatangani oleh Ketua LAMR Syahril Abubakar ditujukan kepada oknum yang diunjuk didapati oleh Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] Pusat Jakarta ini kian menjadi hangat diperbincangkan. (*)
Tags : Mengenang Puncak Kejayaan dan Peninggalan Kerajaan Siak, Sultan Syarif Qasim, Pekanbaru, Riau, Kekuasaan Wilayah Sultan Tak Bisa di Interfensi,