"Pemerintah Indonesia menyiapkan tiga sanksi bagi orang-orang yang menolak vaksinasi Covid-19. Kementerian Kesehatan mengatakan, langkah ini diambil agar target kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap virus corona tercapai"
api seorang epidemiolog dan pakar kesehatan masyarakat menilai sanksi itu tidak diperlukan karena tidak menjamin semua orang bersedia diimunisasi. Yang terjadi, menurut mereka, keraguan masyarakat justru semakin menguat. Sementara itu, seorang warga di Banda Aceh berkata tetap menolak divaksin meski ada sanksi.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan penerapan sanksi bagi orang yang menolak disuntik vaksin Covid-19 dilakukan sebagai langkah antisipasi agar target mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity terlaksana. Untuk mencapai itu, pemerintah perlu menyuntikkan vaksin Covid-19 ke 181,5 juta penduduk.
Kata Nadia, jumlah penolak vaksin berdasarkan survei beberapa lembaga cukup signifikan yakni antara 16% - 40%. "Pada prinsipnya kita ingin bagaimana vaksin dilakukan secara massal dan diharapkan semua mau untuk ikut. Kalau tidak sampai 181,5 juta tervaksinasi, maka kekebalan kelompok tidak terjadi," ujar Siti Nadia Tarmizi dirilis BBC News Indonesia, Minggu (14/02).
"(Pandemi) sudah setahun, harus ada ketegasan agar bisa betul-betul mencapai kekebalan kelompok seperti yang kita inginkan. Tujuannya keluar dari pandemi bisa dilaksanakan."
Dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, soal sanksi tertuang di pasal 13a ayat 4. Di situ tertulis, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa: penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda.
Nadia menjelaskan, Perpres ini nantinya menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah (perda) tentang vaksinasi Covid-19. Sejauh ini hanya DKI Jakarta yang menerapkan sanksi berupa denda sebesar Rp5 juta bagi yang menolak divaksinasi. "Misalnya banyak di daerahnya kampanyekan anti-vaksin, ini akan menghalangi program secara keseluruhan. Jadi tidak ada ruang bagi pemda untuk membuat regulasi agar bisa memaksa kelompok ini (anti-vaksin) berkontribusi pada vaksinasi."
Kendati ada sanksi, Nadia mengklaim pemerintah akan tetap mengutamakan pendekatan edukasi ke masyarakat terutama kelompok anti-vaksin dalam menginformasikan pentingnya imunisasi Covid-19.
'Pemaksaan vaksin tidak akan berhasil'
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai adanya sanksi tersebut mengartikan pemerintah Indonesia mewajibkan warganya untuk melakukan vaksinasi Covid-19. Tapi cara seperti itu, menurut dia, tidak akan berhasil. Kajian ilmiah dan sejarah pandemi di dunia menunjukkan bahwa efektivitas vaksin dengan cara pemaksaan tidak berjalan baik bahkan cenderung gagal.
Itu mengapa negara-negara lain tidak ada yang mewajibkan warganya disuntik vaksin virus corona. Kewajiban vaksin, menurut dia, bisa diterapkan jika pandemi tersebut menyebabkan kematian tinggi atau kecacatan seperti pandemi cacar (smallpox). "Tentu saja pandemi smallpox tidak sepadan dengan Covid. Sehingga WHO pertegas bahwa vaksinasi Covid-19 tidak diwajibkan," imbuh Dicky Budiman.
Hal lain, kata Dicky, adanya sanksi justru menguatkan teori konspirasi kelompok anti-vaksin bahwa ada kepentingan perusahaan farmasi di balik pemaksaan tersebut. Yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia, imbuh Dicky, menguatkan komunikasi tentang kondisi pandemi di Indonesia dan pentingnya imunisasi. Tapi informasi itu disampaikan dengan sebenarnya alias tidak melebih-lebihkan. Sebab pejabat di Indonesia, katanya, kerap mengumbar informasi yang tidak sesuai kondisi di lapangan.
Pernyataan semacam itulah, membuat masyarakat cenderung tidak percaya pada pemerintah dan akhirnya ragu pada program vaksinasi. "Jadi komunikasi yang selama ini dibangun yang baik-baik saja, harusnya apa adanya."
'Komunikasi pemerintah harus diperbaiki'
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Hermawan Saputra, juga tak sepakat jika pemerintah memprioritaskan penjatuhan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19. Sejauh pengamatannya, kalangan penolak vaksin di Indonesia tidak dikoordinir oleh kelompok tertentu yang sistematif dan terstruktur. Mereka muncul karena kurangnya informasi.
Sehingga cara untuk mengatasi masalah ini, cukup dengan menggencarkan komunikasi. Kata dia, masih adanya masyarakat yang percaya pada hoaks vaksin Covid-19 menunjukkan komunikasi pemerintah "belum membawa dampak signifikan". "Sebetulnya perlahan sudah teratasi dengan BPOM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jadi kekhawatiran keamanan dan kemanjuran teratasi. Tapi ada orang yang menganggap vaksin karena konspirasi atau termakan hoaks. Nah keyakinan itu kan tidak sistematis. Jadi tidak perlu berlebihan adanya kampanye sanksi. Dan pemerintah jangan overclaim, sering kan lihat vaksin seolah-olah siap sedia, solusi satu-satunya. Padahal vaksin bukan solusi pandemi. Tapi perilaku di hulu yang menjadi persoalan."
Apa tanggapan warga?
Lembaga Populi Center pada pertengahan Desember tahun 2020 mengungkap hasil survei vaksin Covid-19, yang mana 40% warga menyatakan tidak bersedia diberikan vaksin oleh pemerintah. Survei itu dilakukan terhadap 1.000 responden di 100 kabupaten/kota yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi. Alasan penolakan karena tidak percaya vaksin menyembuhkan dan terkait kehalalan.
Adapun Survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menyebut Aceh dan Sumatera Barat menjadi provinsi dengan tingkat penolakan vaksin tertinggi. Yulzi Muammar, seorang warga di Banca Aceh, mengaku tidak bersedia divaksin Covid-19 karena takut akan ada efek samping yang muncul sesudah diimunisasi. "Saya takut jarum suntik dan takut timbul penyakit baru."
Meskipun ada sanksi tak membuat Yulzi berubah pikiran, kecuali sanksi yang dijatuhkan sangat berat. Ia juga tidak peduli apakah dirinya sudah terdaftar dalam penerima vaksin atau belum. Catatan Kementerian Kesehatan jika merujuk pada Undang-Undang tentang Wabah Penyakit Menular, barang siapa sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam pidana satu tahun dan denda setinggi-tinggi Rp1 juta.
IDI: Warga Tak Bisa Dipaksa
Ketua Satgas Covid-19 Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksakan seluruh warga untuk disuntik vaksin covid-19. Zubairi menyebut, program vaksinasi harus dengan persetujuan warga atau pasien. Menurutnya warga harus konsen saat disuntik vaksin. "Biasanya di kedokteran ada istilah konfidensialitas dan konsen. Konsen artinya setelah diberi penjelasan, maka pasien boleh memilih, mau disuntik atau tidak, mau disuntik atau tidak mau obat ini atau tidak," kata Zubairi dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (19/12).
Menurut Dicky, pemerintah perlu memetakan warga yang mau diberi vaksin, dan mana yang tidak. Dicky juga menyatakan bahwa pemerintah perlu menyiapkan strategi komunikasi yang efektif sebelum memulai program vaksin. Terlebih, di Indonesia masih banyak warga yang menolak vaksin karena lebih mempercayai dengan teori konspirasi. Tidak hanya itu, yang terpenting adalah pemerintah harus memastikan keamanan vaksin sebelum memulai program vaksinasi. "Untuk menentukan, memulai program vaksin, sangat utama dan mendasar adalah memastikan vaksin aman dan efektif," kata Dicky.
Presiden Joko Widodo sebelumnya juga berharap masyarakat tidak menolak untuk disuntik vaksin Covid-19. Pasalnya, Jokowi menyebut, vaksin Covid merupakan salah satu upaya agar Indonesia terbebas dari pandemi. Menurut Jokowi, sekitar 70 persen atau sekitar 182 juta masyarakat Indonesia akan diberi vaksin. Ini dilakukan untuk menciptakan kekebalan komunal atau herd immunity.
Jokowi juga menegaskan, dirinya akan menjadi orang yang pertama divaksin di Indonesia. Ini agar masyarakat meyakini jika vaksin yang diberikan aman. Selain itu, Jokowi juga meminta agar masyarakat tak perlu khawatir soal kehalalan vaksin ini. Sebab, Kementerian Agama sampai dengan MUI juga turut terlibat dalam proses vaksin ini. Indonesia saat ini sudah punya 1,2 juta dosis vaksin corona merek sinovac asal China. 1,8 juta dosis akan menyusul kemudian. Namun vaksin belum bisa dipakai karena hasil efikasi belum keluar. Setelah hasil efikasi keluar, vaksin harus mendapat izin pakai darutat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dewan tak setuju pemaksaan
Seperti disebutkan H Fatullah SH MH, anggota DPRD Kota Pekanbaru dari Fraksi Gerindra menyatakan tidak kesetujuannya tentang Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru akan membuat Perda, pemberian sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. menegaskan, dirinya tidak setuju warga yang mengurus administrasi, wajib lampiran bukti sudah vaksin.
"Akibat itu masyarakat dibuat resah dengan munculnya pengumuman bahwa masyarakat harus memberikan bukti vaksin jika ingin melakukan pelayanan administrasi, Ini sebuah pemaksaan, tidak elok seperti itu. Karena tidak ada hubungannya vaksin dengan surat menyurat. Pakai logika jika ingin membuat pengumuman, kalau seperti ini kan mengada-ngada namanya," kata Fathullah.
Sebelumnya Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pekanbaru, Muhammad Jamil pada Kamis 10 Juni 2021 telah menyampaikan, vaksinasi Covid-19 massal merupakan arahan langsung dari pemerintah pusat. Dimana daerah memiliki kebijakan tersendiri agar warga mendapatkan vaksin, sesuai dengan peraturan presiden yang mewajibkannya. “Pemerintah daerah juga punya kebijakan sendiri. Kalau masyarakat belum divaksin tentu kita pertanyakan mengapa belum divaksin,” kata Muhammad Jamil.
Menurut Muhammad Jamil pengenaan sanksi kepada warga yang enggan di vaksin, salah satunya adalah dengan tidak dilayani saat mengurus dokumen administrasi. Seperti yang terjadi di Kecamatan Payung Sekaki. Vaksinasi massal sangat diharapkan dapat meningkatkan sistem imumln masyarakat untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Oleh karenanya, ia berharap warga Kota Pekanbaru dapat sepenuhnya menjalani vaksinasi. “Nanti akan kita keluarkan lagi aturan, seperti Perwako. Setelah kita lakukan perbaikan Perda, di Perda akan dibunyikan bagi masyarakat yang tidak mau divaksin akan diberikan sanksi seperti layanan tidak diberikan,” jelasnya.
Namun H Fatullah SH MH, menilai munculnya syarat bukti telah melakukan vaksinasi sebagai syarat untuk mendapatkan pelayanan di instansi pelayanan publik seperti di Kantor Camat Payung Sekaki membuat kalangan legislatif di DPRD Kota Pekanbaru melontarkan ketidaksetujuannya. Ia setuju program vaksinasi nasional, wajib disukseskan. Berbagai langkah yang dilakukan Pemko Pekanbaru melalui OPD terkait, untuk menyukseskan program ini, patut diapresiasi. "Tapi itu sudah tidak sesuai jalur lagi, wakil rakyat melihat kebijakan itu sangat tidak pro-rakyat."
"Masyarakat boleh memilih, karena ini merupakan hak asasi manusia. Mau atau tidak seseorang divaksin, tidak boleh dipaksa. Sebab, jika terjadi sesuatu, seperti meninggal dunia setelah divaksin, siapa yang mau bertanggung jawab. Jadi, saya tidak sepakat vaksin dihubung-hubungkan dengan urusan administrasi di kantor pemerintahan. Cabut pengumuman itu," katanya.
"Kalau urusan vaksin, ya vaksin saja. Ayo sama-sama kita sukseskan. RT, RW Lurah dan Camat, mari ajak warganya secara persuasif. Makanya, pemerintah itu tidak boleh berdagang dengan rakyatnya, begini lah jadinya," kesal Fathullah.
Untuk itu Fatullah meminta, agar Walikota Pekanbaru Firdaus MT, memerintahkan bawahannya untuk menghapus syarat vaksin untuk pengurusan administrasi tersebut. "Saya kira Pak Walikota Firdaus sangat bijak melihat persoalan ini. Karena ini mungkin bawahannya saja yang kebablasan dan terobosannya tidak sesuai," sebutnya.
Camat Payung Sekaki, Pekanbaru, Fauzan membenarkan pengumuman yang ditempelkan di kantornya itu. Sebab ini dilakukan, karena berdasarkan keputusan presiden, yang tidak memberikan fasilitas pengurusan administrasi pemerintahan jika belum divaksinasi. "Kita pertama kali menjalankan program pemerintah ini. Tujuannya, agar masyarakat lebih antusias lagi untuk melaksanakan vaksin. Itu sifatnya masih imbauan. Bagi mereka yang belum vaksin kan hasil screeningnya kan ada. Tinggal melampirkan hasilnya. Tidak masalah. Artinya kita sangat selektif soal itu," aku Fauzan.
Sebelumnya sempat beredar di masyarakat adanya pengumuman di Polresta Pekanbaru yang mana bagi tamu atau masyarakat yang ingin melakukan pengurusan SKCK/Dumas/Laporan kehilangan barang di Polresta Pekanbaru wajib melampirkan bukti vaksin Covid-19 atau bukti sudah mendaftar. Namun belakangan diketahui informasi tersebut telah dicabut kembali karena kebijakan yang dibuat oleh Ka SPKT Polresta Pekanbaru tanpa koordinasi. Untuk saat ini pelayanan tetap dilakukan seperti biasa. (*)
Tags : Menolak Vaksin Kena Sanksi, Epidemiolog Nilai Pemaksaan Vaksin Covid-19 Tidak Akan Berhasil,