JAKARTA - Meski kerap dianggap kontroversial, namun produk kelapa sawit Indonesia menguasai pasar dunia. Dari 59,6 juta ton produksi minyak sawit dunia pada 2014, sekitar 31,3 juta ton atau 52% dihasilkan dari Indonesia.
Tahun lalu, Gabungan Asosiasi Pengusahan Kelapa Sawit Indonesia GAPKI mencatat, nilai ekspor minyak sawit sepanjang 2015 mencapai US$18,64 miliar atau sekitar Rp250 triliun lebih. India, negara-negara Uni Eropa, serta Cina masih merupakan pengimpor terbesar minyak sawit dari Indonesia.
Jelas, di satu sisi ada keuntungan ekonomi yang direguk oleh Indonesia, namun di sisi lain muncul kekhawatiran terhadap seberapa ramah lingkungan sebenarnya produk bisnis ini.
Kekhawatiran inilah yang coba dijawab oleh sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil, ISPO dan Roundtable Sustainable Palm Oil, RSPO.
Pasar kelapa sawit Eropa dan Amerika Serikat terutama, meminta agar produk kelapa sawit asal Indonesia yang akan dijual di sana memiliki sertifikasi RSPO.
Sertifikasi ini memastikan agar kelapa sawit yang dijual tak berasal dari lahan yang membuka hutan lindung atau lahan konservasi dan tak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam produksinya, sehingga konsumen merasa aman dalam menggunakan produk tersebut.
Namun, sejak 2011, Indonesia mewajibkan agar setiap perusahaan memiliki sertifikasi ISPO. Masalahnya, sertifikasi ISPO yang merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pertanian, tak diakui oleh banyak negara sehingga pengusaha kelapa sawit merasa mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk melakukan dua proses sertifikasi berbeda.
“Bagi kita kan, kalau sistem sertifikasinya banyak, kan cost yang harus kita keluarkan semakin banyak. Concern kita gimana dua sistem sertifikasi itu, bukan digabung, tapi minimal saling merekognisi dan ada join audit, dan cukup sekali, jadi cost-nya lebih murah,” kata Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI dirilis BBC News Indonesia.
Pada 2011 lalu, GAPKI sebagai asosiasi mengundurkan diri dari keanggotaan RSPO karena akan mendukung ISPO. Namun kini Fadhil mengatakan bahwa “untuk ikut atau keluar dari RSPO itu tergantung masing-masing anggota”.
“Terserah perusahaan saja, kalau mereka nyaman, dapat benefit, silakan ikut,” ujarnya.
Meski begitu, dia menegaskan, bahwa pasar Eropa, walaupun hanya 20% dari penjualan produk kelapa sawit Indonesia, tetap merupakan pasar penting yang dituju sehingga sertifikasi RSPO penting dimiliki oleh pengusaha kelapa sawit di Indonesia.
Oleh dunia, RSPO dilihat sebagai satu-satunya mekanisme global untuk mengerem dampak lingkungan bisnis kelapa sawit. Tetapi menurut Fadhil, kedua sistem sertifikasi tersebut “hanyalah alat”, karena yang terpenting, ia ingin agar ISPO juga dilihat sebagai bentuk komitmen pemerintah dan industri serta pelaku usaha mengelola kelapa sawit secara berkelanjutan.
“Komitmen itu harus diakui oleh negara-negara lain. Sekarang kita sudah menjalankan (standar) ISPO, tapi tools (ukuran) keberlanjutannya belum diakui, masalahnya di situ,” ujar Fadhil lagi.
Sementara itu Herdradjat Natawidjaja, Kepala Sekretariat Komisi ISPO, menyatakan bahwa pasar Eropa memang mensyaratkan agar produk kelapa sawit yang masuk ke sana harus sesuai standar lingkungan, namun syarat pemenuhan standar tersebut “tidak ada 'harus RSPO', tidak ada 'harus ISPO', nah Indonesia ini punya standar sustainability ya ISPO itu.”
Herdradjat mengakui bahwa program sertifikasi kelapa sawit inisiatif pemerintah Indonesia ini belum diakui dunia internasional, maka kini pihaknya tengah bekerja dengan pusat keberlanjutan dan sertifikasi karbon yang berpusat di Jerman agar nantinya program sertifikasi ini bisa dibandingkan dengan program sertifikasi negara lain, termasuk RSPO.
Ketika ditanya bagaimana sertifikasi yang dikeluarkan pemerintah bisa lebih baik atau mendekati standar yang diterapkan RSPO dari segi perlindungan lingkungan.
“Tentu kalau kita berkeyakinan semua perusahaan kelapa sawit bisa menerapkan kriteria ISPO, berarti dia tunduk pada aturan di republik, aturan di republik itu mencegah deforestasi, memperbaiki kondisi lingkungan, mengurangi emisi rumah kaca, dan memastikan soal-soal kesejahteraan (masyarakat), itu kita angkat,” kata Herdradjat.
Sejak 2011 sampai sekarang, Herdradjat mencatat, sudah ada 149 perusahaan yang mendapat sertifikasi ISPO, tetapi dia menyebut mungkin ada 1000an perusahaan kelapa sawit di Indonesia sehingga jumlah perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi ramah lingkungan tersebut cukup rendah.
Sementara itu, Tiur Rumondang, Direktur RSPO menyatakan, ada sedikit perbedaan antara kedua sertifikasi ini, jika ISPO menurutnya lebih kuat menjawab soal status legalitas perusahaan dan praktik lingkungan, sementara RSPO memberi keyakinan pada pasar akan kelapa sawit yang ramah lingkungan.
“Ini kayak orang punya ijazah sekolah, SMP, SMA, universitas. Apakah Anda akan langsung mendapatkan gaji tinggi? Belum tentu. Ini (RSPO) adalah satu bargain power, perusahaan buat menaikkan tawaran bisnisnya, sama kayak ijazah, sehingga kita masuk dunia kerja, kita bisa bargain, mau gaji berapa. Tapi kalau kita nggak punya, sebuah lembaga yang menyatakan bahwa (produk) kita sesuatu yang baik, maka kita nggak punya bargain position,” ujar Tiur.
Namun, seorang pelaku usaha, Hasbie Hasbillah, kepala unit sustainability dari Asian Agri menyatakan bahwa meski pemerintah mewajibkan agar perusahaan kelapa sawit wajib memiliki ISPO, namun sertifikasi ini, selain tak diterima di luar negeri, juga tak punya arti di dalam negeri.
"Di dalam negeri saja, kan belum ada persyaratan, (bahwa) industri margarin membeli CPO (crude palm oil) harus (dari perusahaan yang memiliki) ISPO, belum. Karena mereka butuh itu (CPO) untuk bahan baku margarin. Di dalam negeri saja belum. ISPO-nya sendiri belum mempersyaratkan produk sabun atau margarin memakai CPO yang memenuhi ISPO," kata Hasbie.
Sementara sertifikasi RSPO, meski sifatnya sukarela, tapi menjadi wajib buat perusahaan yang ingin memasuki pasar Eropa. Akhirnya, buat dia, tetap saja pengusaha terbebani oleh dua sistem sertifikasi berbeda, meski hanya satu yang menghasilkan kepastian jelas dari sisi permintaan pasar.
Namun, seperti kata Hasbie, hal ini akan sangat merugikan bagi konsumen produk kelapa sawit di dalam negeri -- yaitu hampir semua orang yang membeli sabun dan margarin untuk kebutuhan bulanan. "Seolah-olah, bahasa kasarnya, orang dalam negeri nggak apa-apa pakai produk yang tidak 'halal', yang penting keluar (negeri) saja yang 'halal'". (*)
Tags : Bisnis Kelapa Sawit, Kontroversial, Bisnis Kelapa Sawit Indonesia, Bisnis Kelapa Sawit Ramah Lingkungan, Bisnis,