PENEMUAN beberapa situs bersejarah di dataran tinggi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, diantaranya undak-undakan peninggalan Mataram Kuno, akhir Juli lalu, menguatkan indikasi bahwa candi-candi Hindu di kawasan itu merupakan pusat ritual keagamaan.
Berbagai temuan terbaru juga diharapkan akan menguatkan indikasi awal bahwa peninggalan kompleks candi tertua di Jawa Tengah itu merupakan lokasi pendidikan di bidang keagamaan. Diperkirakan keberadaan tangga batu - yang disebut warga setempat sebagai ondo budho - terkait dengan keberadaan kompleks candi Hindu di atasnya, yang diyakini sebagai peninggalan abad tujuh dan delapan di masa Mataram Kuno.
Tangga batu itu diyakini sebagai jalur warga untuk melakukan kegiatan religi di kompleks candi tersebut, kata arkeolog. "Di Sikunang, kami menemukan Ondo Budho masih utuh, pada bagian atas memiliki 54 undakan (tangga) kemudian terputus, tetapi dan di bawah ditemukan 16 undakan," kata Koordinator Unit Dieng Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Eri Budiarto dirilis BBC Indonesia, Rabu (29/07/2020).
"Lebarnya sekitar satu meter, dan kalau panjangnya mencapai lebih dari 20 meter," ungkap Eri lagi.
Potongan jalur tangga kuno itu ditemukan di perbatasan Kabupaten Banjarnegara-Kabupaten Batang, tepatnya di kawasan perbukitan Sipandu, dan satu lagi di perbukitan curam di Desa Sikunang. Jika temuan ondo budho di perbukitan Sikunang "relatif utuh", maka potongan undak-undakan yang ditemukan di kawasan Sipandu "sebagian besar temuan lepas" dan "tersisa hanya pipi tangga", ungkap Eri.
Apa fungsi undak-undakan atau tangga kuno itu?
Keberadaan undak-undakan kuno di dua lokasi terpisah tersebut diduga kuat sebagai jalur menuju kompleks candi di dataran tinggi Dieng untuk kegiataan religi, kata otoritas terkait. "Itu akses orang-orang untuk menuju ke Dieng. Kebetulan (kompleks candi) di Dieng itu pusat keagamaan," kata petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dieng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Banjarnegara, yang juga arkeolog, Aryadi Darwanto.
Masyarakat dari kawasan sekitar, seperti Batang, Pekalongan, terutama Wonosobo, dan Banjarnegara, "lewat jalur ondo budho" untuk melakukan kegiatan keagamaan di Dieng, ungkapnya. "Dari catatan Belanda (awal abad 19), ada empat jalur menuju Dieng," ungkapnya. Namun penelitian di masa itu tidak menggambarkan bentuk dari ondo budho tersebut. Temuan dua jalur tangga kuno di perbukitan curam itu menguatkan catatan peninggalan Hindia Belanda tersebut, ujarnya.
Apa temuan terbaru lainnya di Dieng, selain tangga kuno?
Selain tangga berundak, patung atau arca Ganesha - salah-satu dewa paling populer dalam Hinduisme - ditemukan di lahan pertanian seorang warga di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, akhir tahun lalu. Penemuan arca setinggi 1,4 meter dan lebar 1,2 meter itu merupakan salah-satu dari empat temuan peninggalan arkeologi di kawasan Dieng dalam delapan bulan belakangan.
Arca tanpa kepala itu, yang terbuat dari batu andesit, ditemukan seorang petani saat menggali di lahan tanah miliknya. Temuan lainnya adalah fondasi bangunan yang diyakini sebagai candi di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, pertengahan Januari 2020 lalu. Struktur candi itu ditemukan di kedalaman dua meter oleh seorang warga setempat saat menggali tanah untuk membuat septic tank. Lokasinya tidak jauh dari Musium Kaliasa - tempat menyimpan koleksi benda-benda cagar budaya, artefak, dan film mengenai Dieng. "Secara analogi sudah terlihat bentuk candi," kata Koordinator Unit Dieng Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Eri Budiarto, kepada media, pertengahan Februari silam.
Dipastikan bangunan candi itu sudah tidak utuh, namun tim balai cagar budaya menemukan material candi di sekitarnya. Pada September 2019, Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa tengah telah mengamankan batu-batuan kuno di areal Terminal Dieng Wetan, Wonosobo, yang diduga dulunya bagian dari struktur candi.
Apa arti temuan benda-benda arkeologi di kawasan Dieng?
Dari temuan-temuan itu, Eri Budiarto mengharapkan akan menambah data untuk mengungkap "budaya masa lalu di kawasan Dieng". "Karena memang banyak misteri yang belum terungkap," kata Eri. Selama ini ada anggapan bahwa keberadaan candi-candi dan struktur lainnya di Dieng hanya sebatas untuk kegiatan keagamaan. Namun Eri menduga ada kegiatan lain yang bisa dilacak lebih lanjut di kawasan Dieng. "Jadi aktivitasnya tidak hanya ritual atau pemujaan keagamaan, mungkin juga di situ ada aktivitas kehidupan lain. Itu jejak yang masih belum ketemu," jelasnya.
Mengapa di masa lalu dataran tinggi Dieng disebut lokasi ritual keagamaan?
Kemungkinan bahwa keberadaan candi-candi di dataran tinggi Dieng merupakan lokasi ritual keagamaan, memang sudah disepakati para ahli. Staf pengajar arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Djaliati Sri Nugrahani, meyakini kompleks candi Dieng kemungkinan merupakan pusat kegiatan keagamaan umat Hindu, dan bukan pusat kerajaan. Dia merujuk pada prasasti Kapunuhan yang dibuat pada tahun 878, yang menyebut Dieng adalah Kailasa. "Kailasa merupakan puncak gunung suci di Himalaya, tempat tinggal Syiwa. Dieng adalah Kailasa, sehingga Dieng merupakan tempat surganya atau tempat tinggalnya Syiwa.
"Tampaknya memang Dieng merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Syiwa," jelas Djaliati kepada wartawan Lilik Darmawan.
Djaliati adalah salah seorang arkeolog yang terlibat secara intensif dalam penelitian terkait komplek candi Dieng.
Kapan kompleks candi di Dieng mulai dibangun? Kompleks candi peninggalan peradaban Hindu beraliran Syiwa di dataran tinggi Dieng diungkap pertama kali di masa kolonial Belanda diawal abad 19. Catatan awal di masa kolonial Hindia Belanda menyebutkan ada sekitar 400 bangunan candi dan situs bersejarah lainnya, namun kini yang ada setidaknya ada sembilan bangunan candi. "Pada zaman [kolonial] Belanda, luasnya [komplek candi Dieng] mencapai 110 hektar (ha) dengan 400 situs yang ada," kata Aryadi.
"Tetapi sekarang luasannya juga menyusut hingga belasan hektar saja dan situsnya tinggal beberapa. Sudah banyak yang tidak ditemukan lagi," tambahnya.
Terbagi dalam beberapa kelompok, candi-candi itu diberi nama sesuai tokoh pewayangan, yang kebanyakan diambil dari epos Mahabharata. "Kalau dari catatan Belanda, jumlah candi lebih banyak daripada sekarang," kata Djaliati Sri Nugrahani.
Diperkirakan bangunan candi itu rusak atau hilang, akibat perbuatan manusia atau faktor alam. "Sebagian (batunya) dimanfaatkan oleh masyarakat," ungkapnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari 22 prasasti, komplek candi Dieng kemungkinan dibangun antara abad ketujuh hingga 13 pada masa Mataram Kuno. "Ini mengindikasikan bahwa peradaban Dieng cukup panjang."
Mengapa seni bangunan candi-candi Dieng dipengaruhi India?
Secara kronologis peradaban Dieng disebut "cukup tua" dan awal pengaruh India dapat dilihat dari seni bangunan di wilayah itu, kata Djaliati. "Kami menggambarkan seni bangunannya, bahwa dekat dengan India," ujarnya.
Artinya, para arsitek di kawasan Dieng belum memiliki kebebasan untuk membangun candi-candi sesuai pengetahuan tentang seni bangunan mereka sendiri. Hal ini berbeda dari struktur bangunan candi lain di luar Dieng yang dibangun belakangan, yang disebut Djaliati, para arsitekturnya sudah mampu "mengelaborasi bangunan". "Tapi kalau di Dieng masih sangat dekat dengan India," ungkapnya.
Menurut Koordinator Unit Dieng Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Eri Budiarto, salah-satu candi di kawasan Dieng yang mirip dengan arsitektur India adalah candi Bima. "Sehingga ada indikasi pemuka agama Hindu dari India datang ke Dieng," katanya.
Apa bukti yang menguatkan indikasi Dieng juga pusat pendidikan keagamaan?
Berbagai temuan terbaru di kawasan Dieng diharapkan akan menguatkan indikasi awal bahwa peninggalan kompleks candi tertua di Jawa Tengah itu juga merupakan lokasi pendidikan di bidang keagamaan. Indikasi ini didasarkan analisa terhadap keberadaan situs fondasi struktur bangunan yang disebut dharmasala. Sejumlah catatan menyebutkan fondasi bangunan dharmasala ditemukan tersebar di sekitar kawasan candi Dieng. Para peneliti meyakini, bangunan dharmasala ini dulu berupa bangunan bertiang kayu tanpa dinding alias terbuka. "Dharmasala ini diperkirakan memiliki bentuk rumah panggung dan untuk tempat menginap, sebelum melakukan ritual atau sebagai tempat singgah sementara sebelum upacara keagamaan," kata Koordinator Unit Dieng Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Eri Budiarto.
"Tetapi karena data-data tertulis belum ada, maka kita masih menduga-duga fungsinya," tambahnya.
Luas dharmasala, menurutnya, lebarnya sekitar antara delapan hingga 10 meter dan panjangnya mencapai 40 meter. "Bangunan dharmasala [di Dieng] kita rekonstruksi dengan mengacu relief di Candi Borobudur,"ujar Eri.
Hasil rekonstruksi tim arkeologi, menurut Djaliati Sri Nugrahani, menyebutkan bahwa dharmasala merupakan tempat "kegiatan para siswa untuk menyiapkan ritual keagamaan di bangunan candi". Selain itu, menurutnya, di kawasan Dieng juga ada lokasi pertapaan dan pusat-pusat kajian, terutama tempat pemujan terhadap Dewa Syiwa. "Ada tempat-tempat sekolah keagamaan. Jadi ada resi yang tinggal di situ, dan punya murid-murid," katanya.
Prasasti berangka tahun 809, yaitu prasasti Kuti yang ditemukan di dekat Candi Arjuna, juga menyebutkan bahwa Dieng sebagai pusat kegiatan religius, juga didukung komunitas yang tinggal di desa perdikan. "Di sekitar [tempat suci], ada komunitas yang mendukungnya... Jadi di situ ada penduduknya, yang sebagian aktivitasnya digunakan untuk mendukung bangunan suci," papar Djaliati.
Adapun Aryadi Darwanto menganalisa, selain pusat pendidikan agama, keberadaan kompleks candi Dieng, kemungkinan sebagai tempat belajar arsitektur. "Saat sekarang, seluruh candi tidak ada arsitektur yang sama. Bahkan, dari sembilan candi yang ada dan menjadi 10 (Candi Kunthi, yang baru ditemukan), bentuknya tidak sama. "Ini ada indikasi sebagai pusat belajar arsitektur," katanya, menganalisa.
Bagaimana upaya perlindungan situs bersejarah Dieng?
Di hadapkan perubahan tata lahan di sekitar di kawasan situs bersejarah Dieng, seperti perluasan ladang kentang serta turisme, Djaliati Sri Nugrahani mengharapkan agar hal itu tidak merusak situs Dieng. "Tidak berarti kami menempatkan bangunan candi ataupun heritage itu dalam 'lemari kaca', kita juga harus mengakomodasi kepentingan masyarakat," katanya.
"Tapi mbok monggo, baik masyarakat atau pemerintah, untuk melihat fungsi dan perananan Dieng itu seperti apa," tambah Djaliati.
"Tentu saja, kami tidak melarang masyarakat berperan aktif dalam kegiatan budaya yang ada di Dieng, tetapi mari kita pilih-pilih kegiatan budaya di situs Dieng."
"Sehingga kalau steril, maka masuk ke kompleks candi sebagai tempat pemujaan akan merasakan auranya, sejuk, tenteram, damai," katanya.
Sementara, petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dieng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Banjarnegara, yang juga arkeolog, Aryadi Darwanto, mengaku masih memiliki keinginan untuk terus meneliti masa lalu Dieng. "Tapi karena keterbatasan tenaga dan dana dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng, saya kira tidak mungkin untuk mengungkap secara keseluruhan Dieng," ungkapnya.
Adapun, sebagai pelestari, Koordinator Unit Dieng BPCB Jawa Tengah, Eri Budiarto, mengaku bersyukur atas apresiasi masyarakat yang terus membaik terhadap upaya pelestarian Cagar Budaya Dieng. "Alhamdulillah, semakin ke sini, masyarakat pengertian, apresiasi tinggi bagi warga. Sebab, kalau ada penemuan langsung melaporkan," katanya. (*)
Tags : Situs Bersejarah, Kompleks Candi Kuno, Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah,